Selasa, 18 Maret 2008
by: Kristianus Atok
A. HASIL- HASIL TEMUAN STUDI
1.STUDI KEKERASAN ETNIK DAN PERDAMAIAN ETNIK DI KALBAR
(Iqbal Jayadi, Dosen Pasca Sarjana UI jakarta dan Mahasiswa S3 Universitas Nitmengen Belanda). Beliau meneliti lebih dari 3 tahun di Kalbar untuk menyelesaikan program Doktornya, di Universitas di Negeri Belanda.
Cuplikan penelitian beliau yang penulis anggap penting untuk diketahui bahwa : Ada 3 insiden kekerasan etnik di Kalbar. Pertama, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu terjadi Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik waktu dimana rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu melakukan etnic cleansing terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Sambas terjadi dari Februari hingga Maret 1999, satu titik waktu dimana Orde Reformasi baru mulai berdiri.
Selanjutnya Jayadi (2004: 17) menemukan bahwa ada berbagai situasi, wacana publik, dan mekanisme sosial yang menyebabkan Kalbar di satu saat mengalami kekerasan etnik, namun di saat lain justru perdamaian etnik
Situasi yang dimaksudkannya merujuk kepada faktor eksternal yang memaksa para aktor untuk memperhitungkannya, namun secara inheren tidak berhubungan dengan kekerasan atau perdamaian etnik secara langsung. Ada sejumlah situasi yang membuat kekerasan etnik terjadi di masa lalu berubah menjadi perdamaian etnik dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertama, situasi teritori inter-etnik. Di masa lalu, Dayak dan Melayu memiliki semacam kesepakatan lisan bahwa masing-masing menempati wilayah teritori tersendiri. Dayak di bagian pedalaman (bagian darat), Melayu di pesisir (bagian laut). Namun perkembangan sistem pemerintahan dan proses invansi-sukseksi kelompok etnik lainnya membawa ancaman terhadap kesepakatan itu. Kedatangan Cina dan Madura yang merembes masuk ke bagian pedalaman membuat masalahnya menjadi kompleks dan akut. Teritori Dayak menjadi semakin mengecil. Baik Cina maupun Madura cenderung membuat kantung-kantung (enclave) yang merujuk kepada teritori etnik masing-masing. Lebih khusus, kehadiran Madura yang notabene Islam juga berimplikasi pada meluasnya teritori Melayu dalam suatu wilayah yang secara normatif merupakan teritori Dayak. Situasi yang lain adalah perubahan dari bipolarisasi menjadi multipolarisasi. Kekerasan etnik di masa lampau terjadi dalam situasi bipolar. Ada satu kelompok etnik yang secara internal solid, dan pada saat yang sama berhasil membuat kelompok etnik lainnya memberikan dukungan kepada pihaknya, langsung atau tidak, untuk melawan satu kelompok etnik lainnya. Namun situasi ini sekarang berubah menjadi multipolar. Secara internal, Dayak dan Melayu mengalami proses fragmentasi; dan secara eksternal keduanya memiliki kekuatan yang relatif setara. Kemenangan hanya dapat dicapai dengan melakukan dengan aliansi dengan kelompok etnik etnik lain. Sayangnya, baik Cina maupun Madura sebagai kelompok yang paling potensial juga berada dalam posisi diametral dengan keduanya.
Wacana merujuk kepada persepsi dan sikap para aktor terhadap situasi yang berkembang di lingkungannya. Seperti situasi, wacana tidak berhubungan langsung dengan kekerasan etnik atau perdamaian etnik. Ada 4 jenis wacana yang berkembang sebelum dan sesudah kekerasan etnik. Pertama, bertalian dengan konsepsi etnik. Sebelum terjadinya kekerasan etnik, masing-masing kelompok etnik melihat kelompok lainnya seakan seragam dan hanya memiliki karakter negatif yang sama, namun sesudah insiden yang memakan banyak korban itu terjadi, mereka melihat variasi dan karakter positif. Hal itu paling jelas terlihat pada pada konsepsi Madura. Sebelumnya, Madura dianggap secara umum sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan kriminal yang tinggi, namun sekarang ini, kelompok etnik lain melihat adanya perbedaan antara mereka yang sudah tinggal lama dan baru datang, antara yang berasal dari pantai Barat dan Timur, antara pesisir dan pedalaman, dan sebagainya. Perubahan yang dramatik juga terjadi antara Dayak dan Melayu. Dulu Dayak selalu mengklaim bahwa hanya dirinya merupakan penduduk asli, mayoritas, Kristen, berbeda secara kontras sedemikian sehingga hanya Dayak yang memiliki monopoli dalam segala bidang kehidupan. Sekarang mereka mau mengakui bahwa sebenarnya Melayu juga merupakan saudara mereka sendiri yang beralih agama dan karena itu juga merupakan penduduk asli, merupakan mayoritas dan memiliki hak yang sama. Dulu Melayu mengganggap Dayak sebagai pihak yang cenderung memaksakan kehendak dan memeluk agama Kristen. Sekarang Melayu mengakui penderitaan Dayak di masa lalu yang mendorong mereka untuk mengkompensasi hal itu, bersedia berbagi kekuasaan dengan mereka, dan mengakui bahwa Dayak tidak perlu kehilangan identitasnya ketika mereka beralih ke agama Islam. Dan yang paling menarik, muncul wacana publik yang menyatakan bahwa yang merupakan penduduk asli Kalbar adalah Dayak, Melayu dan Cina.
Mekanisme sosial merujuk kepada tindakan para aktor yang secara sadar memang ditujukan untuk mencegah kekerasan etnik sejak dini; yakni dengan mengendalikan tindak pidana inter-etnik yang merupakan pemicu terjadinya kekerasan etnik. Ada 4 mekanisme. Mekanisme pertama, penerapan sanksi internal. Di masa lalu, praktek yang berlaku adalah kelompok etnik yang menjadi korban bertindak sebagai pihak yang mengeksekusi hukuman kepada seluruh anggota kelompok etniknya. Ini paling jelas terlihat di kalangan Dayak, dan hingga batas tertentu, Melayu. Dengan kata lain, penerapan sanksi bersifat eksternal. Namun ada kecenderungan setelah dua insiden terakhir, penerapan sanksi menjadi internal. Hal ini paling jelas terlihat pada Madura. Sebelum Dayak dan Melayu mengambil tindakan secara kolektif, Madura mengambil tindakan lebih dulu dengan berusaha menekan atau menangkap anggotanya yang diduga telah melakukan tindak pidana inter-etnik kepada Dayak atau Melayu. Mekanisme kedua adalah penerapan hukum adat. Di masa lalu, kelompok etnik lain biasanya menghindarkan diterapkannya hukum adat kepada anggotanya yang dianggap bersalah melakukan tindak pidana inter-etnik. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, kelompok-kelompok etnik lain di luar Dayak, terutama Madura, bersedia untuk menerima keberlakuan hukum adat dikenakan pada diri anggota mereka yang melanggar. Mekanisme ketiga adalah komunikasi antara pemimpin melalui berbagai kelompok etnik masing-masing. Di masa lalu para pemimpin cenderung mengadakan pertemuan internal di antara kelompok etniknya sendiri. Kalaupun ada pertemuan inter-etnik, pemerintahlah yang bisanya mengambil inisiatif tersebut. Pemerintah dan aparat keamanan mengumpulkan berbagai orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok etnik, dan melalui suatu upacara seremonial, mereka memaksa setiap pemimpin untuk menandatangani kesepakatan damai inter-etnik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan pemimpin kelompok etnik sendiri berusaha untuk mengambil inisiatif sejak awal untuk saling berhubungan, dan mencegah para angotanya untuk bertindak main hakim sendiri.
Jayadi juga menemukan bahwa dampak dari perubahan peran aparat keamanan. Di masa lalu, kekerasan etnik terjadi ketika militer dalam posisi yang dominan, tidak profesional dan polisi merupakan bagian yang integral dalam militer. Dalam kapasitasnya yang semacam itu, militer cenderung menyelesaikan permasalahan dengan mengadu satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Hal itu terlihat paling jelas dalam Insiden 1967. Kendati perannya sudah banyak berkurang pada 1990-an, namun karena polisi masih merupakan bagian dari militer, menyebabkan penanganan aparat keamanan terhadap tidak pidana inter-etnik tidak berjalan secara efektif. Sebagai akibatnya, masalah kriminal individual telah berkembang menjadi kriminal kelompok etnik. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya insiden 1997 dan 1999.
2.STUDI RELASI ETNIK YPB
Yulianus dan Atok (penulis sendiri) menemukan bahwa kehidupan bersama antara orang Dayak dan Madura berlangsung baik di Desa Retok, Kecamatan Kuala mandor B, Kabupaten Pontianak, karena Adaptasi orang Madura yang demikian baik dengan penduduk lokal, berfungsinya mekanisme lokal adat Dayak dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial di Desa tersebut dan didukung oleh kuatnya kharisma pemimpin lokal orang Dayak di desa tersebut.
Bagus Suratmoko menemukan interaksi harmonis antara kelompok Dayak Salako dan kelompok Melayu di kampung Sasak Sambas. Dua kelompok itu memang secara bersama-sama membentuk Kampung Sasak. Namun, kultur dan religi yang berbeda, jumlah populasi dalam kelompok yang tidak seimbang dan latar belakang sejarah maupun situasi politik kabupaten maupun propinsi—yang paling tidak dipersepsikan—tidak seimbang merupakan titik-titik sensitif dalam hubungan relasional kedua kelompok tersebut. Namun dua komponen komunitas Kampung Sasak ini hingga sekarang dapat menjaga hubungan yang harmonis yang jauh dari upaya rekayasa supaya “nampak baik” oleh orang luar. Kemampuan komunitas Sasak dalam menjaga relasi ini terletak pada kreativitas mereka dalam menjaga “otonomi” dalam kepemimpinan masing-masing kelompok. Relasi yang lain adalah antara institusi adat dan institusi desa. Institusi desa merepresentasikan negara sedangkan institusi adat merupakan bagian dari kesejarahan dan organisasi rakyat yang masih hidup. Institusi desa merupakan bagian kecil dari badan yang lebih besar. Simbol-simbol yang dibawanya sangat jelas, dari kepala desa, camat, bupati hingga presiden. Alat-alat penegak kekuasaan dan aturan sangat kuat: polisi, tentara, jaksa, hakim. Aturan mainnya merupakan sesuatu yang tersistem dengan baik. Di lain pihak institusi adat merupakan entitas yang relatif sangat kecil. Secara geo-sosial, kewilayahannya hanya sampai ke batas binua. Dalam hal masyarakat Dayak Salako di daerah ini, teritori ini hanya kira-kira mencakup empat perlima wilayah geografis kecamatan. “Kepemimpinan” tertinggi dipegang oleh orang biasa yang berkedudukan di kampung. Tidak ada alat penegak kekuasaan yang kasat mata. Alat kekuasaan ini lebih bersifat moral spiritual yaitu pada keyakinan pada hubungan-hubungan yang seimbang antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dan hubungan yang seimbang antara manusia dengan penciptanya. Bahkan di samping semua hal tersebut, hubungan relasi yang tidak seimbang telah tercipta yaitu dengan tidak terakomodasikannya institusi adat ini di dalam institusi desa dan tidak diakuinya secara formal institusi ini dalam sistem hukum negara. Namun bahkan dalam situasi seperti ini, institusi ini tetap menampakkan kearifannya. Ini dinampakkan dari cara institusi ini menempatkan dirinya. Konsistensi institusi adat yang menempatkan dirinya pada ranah moral spiritual menyebabkan institusi ini masih hidup di komunitas ini. Kepemimpinan dalam institusi ini yang hingga kini “tidak bercacat” dalam menjaga moral tidak hanya mempertahankan kepercayaan orang banyak, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri institusi ini. Kreativitas institusi ini dalam membaca situasi politik tidak terlepas dari sejarah. Terciptanya jabatan tuha laut pada jaman Belanda, yang mempunyai fungsi sebagai penghubung komunitas dengan “entitas politik eksternal” yang pada saat sekarang ditransformasikan pada jabatan kepala desa, merupakan bentuk kreativitas dalam menempatkan jabatan spiritual sebagai “lebih tinggi” daripada jabatan politis dan dengan demikian menjaga hubungan relasional yang seimbang dan harmonis.
3. STUDI TENTANG PETA KONFLIK PADA ARAS LOKAL DI 3 KECAMATAN (Menjalin, Mempawah Hulu dan Sebangki) (oleh Kristianus Atok, dkk)
Dari delapan aspek peta yang diteliti, disimpulkan bahwa pada aras makro konflik-kekerasan antar etnik yang sering terjadi di daerah ini karena adanya (1) pertarungan politik identitas antar berbagai etnik yang dominan,(2) pengaruh sejarah sejak masa kolonial hingga pemerintahan represif Orde Baru yang selalu membenturkan etnik asli berdasarkan agama atau SARA (3) dijalankannya politik diskriminatif yang memarginalkan Dayak sebagai penduduk asli dan memberi peluang yang besar kepada etnik Melayu dan etnik pendatang lainya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selama Orde baru berkuasa. Sedangkan pada aras mikro, konflik-kekerasan pada level komunitas dapat dijelaskan sebagai berikut : ditemukan 79 jenis kasus konflik sepanjang tahun 1999 s/d Juli 2004 (5 tahun) di tiga kecamatan tersebut. Dari total 79 kasus konflik, tercatat setidaknya 44,30% dari total kasus konflik atau setara dengan 35 kasus, adalah kasus konflik yang bersifat kolektive dengan proporsi distribusi pada masing-masing kecamatan sebagai berikut, Kecamatan Mempawah Hulu 33 kasus, Kecamatan Sebangki 21 kasus dan Kecamatan Menjalin 25 kasus. Dari 35 kasus konflik kolektive 8 kasus diantaranya adalah kasus konflik dengan karakteristik konflik kolektive antar anggota komunitas etnik, 13 kasus konflik kolektive inter anggota komunitas etnik dan sisanya bersifat campuran.
Keseluruhan kasus konflik tersebut dipicu oleh 22 faktor, dengan proporsi konstribusi dalam kategori lima besar adalah sebagai berikut (1) Perebutan akses sumber daya alam memberikan konstribusi sebesar 20% dari seluruh kasus, (2) Minuman keras (miras) sebesar 15%, (3) Miras disertai judi dan dendam memberikan konstribusi yang sama yaitu sebesar 9 %, (4) Dendam dan masalah politik, keduanya menjadi pemicu konflik sebesar 6% dari 79 kasus dan kategori lima besar terakhir adalah masalah judi, sebesar 5%. Dari lima besar pemicu konflik tampak bahwa miras dan judi. Menarik untuk dicermati “penyakit miras dan judi”, secara terpisah ternyata adalah faktor pemicu yang perlu mendapat perhatian lebih terlebih jika 2 penyakit sosial ini “beriringan” maka akan tampak bahwa kedua hal ini akan menjadi faktor pemicu utama dari kasus-kasus konflik Ditinjau dari pengaruh kebiasaan masyarakat berdasarkan kalender musiman kami menemukan bahwa, tiga kecamatan ini mempunyai kesamaan pada waktu (bulan) terjadinya kasus. Tercatat bahwa ada bulan-bulan tertentu jumlah terjadinya kasus konflik relatif tinggi. Bulan-bulan yang dimaksud adalah bulan Februari, Maret, Mei, dan Agustus. Tercatat bahwa pada bulan Maret terjadi kasus paling banyak yaitu sebesar 25 %, dari total kasus, disusul kemudian bulan Agustus sebesar 14%, Mei 12% dan Februari sebesar 11%. Mengapa kasus konflik banyak terjadi pada bulan-bulan ini, berdasarkan hasil telahaan dalam studi ini kami menemukan bahwa pada bulan ini masyarakat mempunyai kebiasaan untuk mengadakan berbagai aktivitas yang sifatnya mengundang kehadiran kerumunan massa pada satu “titik” tertentu. Aktivitas dimaksud adalah aktivitas seperti penyelenggaraan pesta yang disertai dengan hiburan-hiburan (kesenian tradisional atau music-music moderen/dangdutan) dan berbagai bentuk pertandingan khususnya dalam menyambut perayaan HUT RI.. Dengan kata lain pada momentum inilah berkumpul berbagai manusia dengan berbagai kepentingan, sifat dan karakter pada satu titik yang sama. Pada saat inipula tercipta sebuah peluang bisnis baru dadakan termasuk diantaranya adalah bisnis minuman keras dan judi. Dua kata terakhir, judi dan miras, berdasarkan telaahan dari studi ini, ternyata adalah salah satu pemicu terbesar dari konflik-konflik yang pernah terjadi.
Dalam perspektif etnisitas pelaku dan korban pada seluruh kasus, tercatat bahwa komunitas anggota komunitas sub etnik Dayak adalah pelaku sekaligus korban terbesar dari 79 kasus konflik sepanjang tahun 1999 sampai Juli 2004, dengan presentase sebesar 44 % dan 51% (lebih dari separuhnya korban kasus). Setelah anggota komunitas sub etnik Dayak, pelaku dan juga korban terbesar kedua adalah Anggota Komuitas Etnik Melayu, dengan presentase sebesar 27 dan 24%. Menarik untuk dicermati komunitas ini lebih cenderung menjadi pelaku ketimbang menjadi korban. Meski sama-sama menempati posisi kedua, tetapi jika dilihat dari proporsi jumlah pelaku cenderung lebih tinggi ketimbang jumlah korban. Sama halnya dengan komunitas sub etnik Dayak, komunitas etnik Madura, juga cenderung lebih banyak menjuadi korban ketimbang menjadi pelaku. Data ini setidaknya sedikit menepis streotype terhadap etnik ini, yang cenderung diwartakan sebagai pelaku dibanyak kasus konflik kekerasan, setidaknya untuk tiga kecamatan ini. Secara umum kecenderungan sebuah komunitas etnik dalam posisi sebagai pelaku maupun korban, sejalan dengan proporsi penyebaran penduduk pada tiga kecamatan ini. Tercatat ditiga kecamatan ini komunitas sub etnik Dayak (Dayak Kanayatn) adalah etnik yang paling mendominasi, disusul etnik Melayu, Jawa dan Madura.
Sedangkan siapa yang menjadi pelaku pada setiap kasus yang terjadi berdasarkan status pekerjaan, tingkat pendidikan dan usia. Tercatat bahwa dari 85 pelaku kasus konflik 32%nya berusia antara 15-25 Th, dan secara berturut-turut disusul oleh pelaku yang berusia 26-35 Th dan 46 th ke atas. Dengan kata lain, bahwa sebagian besar pelaku kasus konflik berasal dari kalangan anak muda. Mengapa kalangan anak muda yang paling banyak terlibat konflik ?, kami meyakini salah satu faktor tersebut berasal dari faktor psikologis, dimana pada tataran usia disebut diatas temperamental emosional relatif tinggi.
Berdasarkan tingkat pendidikan, pelaku kasus terbanyak berasal dari kalangan orang yang berpendidikan setingkat SLTA, tercatat 32% nya dari 85 pelaku rata-rata berpendidikan SLTA, disusul kemudian orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, sebanyak 21%, SLTP sebanyak 18% dan SD 13%. Pelaku dengan pendidikan relatif tinggi cenderung memberikan konstribusi yang kecil untuk menjadi pelaku. Dari telaahan di atas ternyata pendidikan tanggung dan tidak berpendidikan sama sekali, sama-sama “berbahaya”, dalam membentuk karaketer seseorang dalam mengelola konflik. Sedangkan berdasarkan status pekerjaan, tercatat bahwa pelajar dan petani adalah pelaku kasus terbanyak dengan presentase yang sama yaitu sebesar 28%. Banyaknya jumlah petani yang menjadi pelaku konflik berbanding lurus dengan pekerjaan mayoritas penduduk di tiga kecamatan ini, yang pada umumnya adalah petani, tetapi yang menarik adalah kalangan pelajar. Tentunya jika diperbandingkan antara jumlah petani dengan jumlah pelajar di kecamatan ini, akan lebih banyak petaninya ketimbang pelajar. Artinya meskipun mereka (pelajar) adalah kelompok kecil, tetapi konstribusinya sebagai pelaku kasus sangat tinggi.
Pada bagian terakhir analisis ini, ditemukan bahwa intensitas terjadinya kasus dari tahun ke tahun, cenderung mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Data peningkatan kuantitas kasus ditunjukan dengan grafik halaman 93 pada tulisan ini. Grafik yang terus meningkat memberikan “early warning”, kepada kita bahwa perlu adanya penanganan yang cukup serius, khususnya dalam membantu masyarakat untuk mengelola konflik ditataran komunitasnya masing-masing, agar kasus-kasus konflik tersebut tidak terus menerus meningkat dan kemudian terakumulasi menjadi konflik kekerasan
4.PENELITIAN AKADEMIK LAINNYA
Giring (Mahasiswa S2 Universitas Gajahmada) dalam penelitiannya di Desa Salatiga, Kabupaten Pontianak, menemukan bahwa interaksi Etnik Madura dan etnik Dayak di desa ini dilandasi oleh pencitraan yang tidak terlepas dari sistem makna dan sistem nilai yang dipegang oleh orang Dayak Kanayatn dalam menanggapi orang Madura di Desa tersebut. Orang Madura yang biasa melakukan carok berulang kali di Desa ini telah membenarkan pemaknaan yang ada pada diri orang Dayak bahwa orang Madura menghalalkan kekerasan dan pembunuhan dalam menyelesaikan masalah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Shonhadji (2001:244-247) (Mahasiswa S2 Universitas Indonesia) Sekarang Dosen di Universitas Tanjungpura Pontianak di Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang menemukan bahwa interaksi sosial antar warga berbagai suku bangsa di desa ini berlangsung baik karena berlakunya pranata-pranata sosial umum lokal dalam mengatur interaksi sosial dan proses perjalanan sejarah yang ditopang oleh faktor kepemimpinan lokal. Peneliti-peneliti lainnya juga telah berhasil menemukan sejumlah hal tentang penyebab konflik selama ini. Uraian berikutnya lihat tabel 1 berikut :
Tabel 1
Pendapat para pakar/pemerhati sosial/Peneliti tentang konflik Dayak-Madura
di Kalimantan Barat.
Pakar/ pemerhati social Sumber Hasil Penelitian/ temuan
Prof. DR Hendro Suroyo Sudagung D& R 22/XXI/III/18 Januari 97, atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 132-8 Berbagai konflik Dayak-Madura disebabkan oleh adanya stereotip negatif diantara orang Dayak dan orang Madura.
H.Sulaeman FORUM KEADILAN, no. 21, th. V, 27 Januari 1997, atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 172. Semangat rumah Panjang yang membuat masalah kecil menjadi besar. Satu orang Dayak dilukai, berarti melukai dan mengancam seluruh masyarakat Dayak. Dalam hal konflik, persoalan pribadi hendaklah diselesaikan secara pribadi.
Prof. DR Syarif. I. Alqadrie, MSc FORUM KEADILAN, no. 21, th. V, 27 Januari 1997, atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 162-63; TIRAS, No.8/Thn.III/20 Maret 1997, atau di buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 383-4 Dari segi budaya, perkelahian antar masyarakat itu tak bisa dilepas dari perbedaan karakter, tradisi dan adat. ”orang pendatang umumnya keras, mudah tersinggung, dan punya kebiasaan membawa senjata tajam. Sedangkan sifat orang Dayak umumnya introvert dan lebih banyak mengalah. Namun, bila harga diri mereka terusik, seluruh komunitas Dayak akan lansung terlibat. Jika sudah begitu, beredarlah “mangkok merah” di kalangan masyarakat Dayak, sebagai pertanda dimulainya perang antar suku. Sesuai adat, setiap laki-laki Dayak usia dewasa wajib ikut perang. Yang juga membuat orang Dayak berubah menjadi militan adalah karena setiap kali mau perang, mereka selalu melakukan upacara magis, memanggil roh nenek moyang dan dewa-dewa. Tak heran bila mereka berperang seperti kerasukan (trance). Namun, yang lebih bisa menjelaskan hal ini adalah persoalan ekonomi; juga persoalan kesenjangan sosial, karena warga tansmigran 1980-an diberi tanah dua hektar, alat bertani, bibit tanaman, pupuk dan jaminan hidup. Sementara itu, orang Dayak hanya gigit jari melihat pemberian hak istimewa itu”, katanya. Kejengkelan orang Dayak dialihkan kepada orang Madura.
J. F. Layang,SH FORUM KEADILAN, no. 21, th. V, 27 Januari 1997, atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 172. Upacara perdamaian untuk kedua belah pihak sudah tidak efektif lagi, karena satu pihak tidak merasa terikat dalam adat itu. Oleh karena itu, cara tersebut perlu diubah, misalnya masing-masing pihak berjanji kepada negara untuk menciptakan suasana aman.
Drs Paulus Florus D& R 22/XXI/III/18 Januari 97, atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 155-58 Orang Dayak dan Madura telah menjadi korban dari stereotip diantara keduanya. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian tentang stereotip Dayak menurut orang Madura, Cina, Melayu, Jawa dan Bugis. Hal itu dilakukan jika memamang dikehendaki penyelesaian kasus secara permanen jangka panjang. Perbedaan-perbedaan budaya kedua belah pihak tidak pernah didialogkan, sehingga menimbulkan konflik.
Drs Stepanus Djuweng FORUM KEADILAN, no. 21, th. V, 27 Januari 1997, atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 171-2; THE JAKARTA POST, 2 Maret 1997 atau buku Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 200 Selanjutnya dikatakan bahwa law enforcement is necessary but not enough to solve the probem in the long run. It is time for all of those involved to reflect and evaluate the problem and its roots.
Fr.Yeremias THE JAKARTA POST, 2 Maret 1997, dalam Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: 194-5. The Madurese are now scapegoats of pentup Dayak anger. He explains that the Dayak, decile for many decades, are reacting to years of political, economic, and social marginalization. “The Dayak are so gentle and generous, but they are also easily manipulated and used. This frustration is exploding now, and manifesting in their conflict with the M”, he said. “The structures of their village are being transformed. Their traditional leaders are coopted into becoming civil servants”.
Tim peneliti P3PK UGM-Depag RI Laporan Kemajuan Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, 1997. Konflik Dayak-Madura 1997 disebut sebagai peristiwa Sanggau Ledo, Kalbar babak II. Proses marjinalisasi politik terhadap orang-orang Dayak yang dianggap “kiri” pada masa Orba diikuti oleh proses peminggiran di bidang ekonomi dengan datanggnya warga transmigran, migran Madura, negara dan kekuatan kapitalisme (pemodal nasional/internasional) merupakan agen transformasi ekonomi, politik Orba yang telah meminggirkan masyarakat Dayak. Orang Madura sesungguhnya merupakan “simbolisasi” kekuatan luar yang dianggap menggusur orang-orang Dayak. Negara/Pemerintah (telah) gagal mengelola potensi-potensi konflik antar-berbagai kelompok masyarakat.
DR Hari Poerwanto Catatan Kuliah Dinamika hubungan Antar suku bangsa Mungkin ada perbedaan pemaknaan terhadap sumber daya alam yaitu tanah/lahan diantara orang Dayak dan orang Madura sehingga membedakan orientasi hubungan kedua suku ini terhadap tanah/lahan.
Drs John Bamba Sisi Gelap Kalimantan Barat : Perseteruan Etnis Dayak-Madura 1997. ISAI & IDRD 1999: vii-x. Ada tiga penyebab utama konflik, yaitu: (1) kesenjangan Ekonomi dan kecemburuan Sosial; (2) Perbedaan Budaya antar kedua Etnis; dan (3) ketidakmampuan pendatang dalam menyesuaikan diri dengan budaya setempat.
Yasser Arafat ,Msi Tesis S-2 UGM yang berjudul Konflik dan Dinamika Etnis Dayak-madura di Kalimantan Barat. Kajian melalui Perspektif Komunikasi Antaretnis, Prasangka Sosial dan Kepentingan Politik pada Kerusuhan Antara Etnis Dayak dan Etnis Madura di Kalimantan Barat”, 1999. (1). Saluran dan intensitas interaksi antar suku Dayak dan Suku Madura merupakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan saluran dan intensitas interaksi soaial mereka dengan suku lainnya. (2). Stereotip suku yang berkembang di dalam masing-masing kelompokj suku cenderung bersifat negatif. (3). Jarak sosial antara suku Dayak dan suku Madura cukup tinggi atau cenderung berkembang melebar. (4). Sikap diskriminasi antara suku Dayak dan suku Madura juga cenderung negatif. (5) Kedua suku pada umumnya sepakat behwa terdapat hubungan antara konflik yang terjadi pada awal tahun 1997 yang lalu dengan konflik yang pernah terjadi sebelumnya.
Sumber : Giring, 2004 : 170-173.
Daftar Konflik Kekerasan di Kalbar
1990-2003
No Tgl/bln/th Lokasi Korban Keterangan
Meninggal Harta Benda
1 30 des 1996-24 Jan 1997 Sanggau Ledo Kab. Sambas 200-500 27.000 pengungsi
2.562 rumah hancur
58 kendaraan Dayak-madura
2 29 maret 1996 Samalantan Kab. Sambas 2 rumah
6 kendaraan Massa Dayak menyerang PT Monterado Mas Mining
3 29 Sept 1998 Sei Raya Kab. Pontianak 4 12 kendaraan
1 bangunan TNI dengan Brimob
4 19-21 januari 1999 Jawai, Kab. Sambas 3 2 kendaraan
2.700 pengungsi Melayu VS Madura
5 Feb-maret 1999 Kab. Sambas 200 35.000 pengungsi
3000 rumah Melayu VS Madura
6 5 April 1999 Singkawang 18 rumah
1 bangunan lain Melayu VS Madura
7 7 April 1999 Singkawang 11 60 rumah
17 kendaraan Melayu VS Madura
8 18 April 1999 Sei Raya Kab. Sambas/Karimunting 4 30 rumah dibakar Melayu VS Madura
9 18 Desember 1999 UNTAN Pontianak 6 kendaraan
2 luka-luka Polisi VS Mahasiswa
10 5 Februari 1999 Mempawah 1 gedung Pembakaran gedung DPRD oleh massa
11 4 juni 1999 Pontianak 11-19 kendaraan Massa Golkar VS PDIP
12 25-28 oktober 2000 Pontianak 17 10 rumah
19 kendaraan Melayu VS Madura
13 24 juni 2001 Pontianak 1 100 rumah Pengungsi Madura mengamuk di GOR
14 18 desember 2001 Tebas Kab. Sambas 1 kendaraan Tense in Tebas
15 1 feb 2001 Pontianak 2 21 kendaraan Polisi VS madura pengungsi Sambas
16 7 des 2001 Pontianak 5 kendaraan
6 bangunan TNI Vs kelompok Massa
17 Maret 2001 Sejangkang, Kab. Sambas 6 bangunan Pembakaran kantor PT. BEJ
18 Juni 1999 Gg Landak Pontianak 1 6 luka-luka
2 cedera seumur hidup Kelompok pemuda Melayu VS Dayak/Mahasiswa
19 Nopember 1999 Gg Tanjung Harapan Pontianak - - Kelompok pemuda Melayu VS Dayak. Dilakukan sweeping terhadap oplet-oplet dan mobil mencari orang Dayak
20 September 2000 Jl. Nusa Indah Pontianak 5 luka-luka Perkelahian kelompok pemuda melayu VS Dayak
21 Juli 2001 Gg Mendawai Pontianak 1 korban luka Pemuda melayu menyerang kost mahasiswa dayak
22 Januari 2002 Sintang 10-21 orang luka-luka Kelompok pemuda melayu dengan Dayak
23 Agustus 2002 Pasar Flamboyan Pontianak 1 Penganiayaan karyawan orang Dayak oleh kelompok pemuda melayu
24 Desember 2002 Nanga Pinoh, Melawi - - Ketegangan selama 2 hari antara kelompok pemuda melayu VS dayak
25 Juni 2003 Senakin, kab. landak 1 mobil disandra Pemicunya seorang wanita dayak dibunuh oleh pemuda melayu. Ada aksi sweeping dayak terhadap melayu
26 Juni 2003 Gg Salak Pontianak 1 Seorang mahasiswa dayak dibunuh 5 preman melayu (proses hukum formal sedang berjalan, tetapi tuntutan hukum adat yang diminta keluarga korban tidak disetujui, bahkan MABM Kota Pontianak mengeluarkan pernyataan sikap menentang dan tidka memperbolehkan pemberlakukan hukum adat dayak di Kota Pontianak dan kini selebaran pernyataan itu sudah beredar luas diseluruh wilayah Kalbar)
27 Juli 2003 Pemangkat Kab. Sambas - - Penghancuran tempayan Pamabakng orang dayak yang dipasang diempat penjuru kota pemangkat oleh pemuda melayu.
Sumber : 1. Majalah Duta, Januari 2004
2. Laporan UNSFIR 2002
B. KESIMPULAN DARI STUDI STUDI DIATAS
1. Interaksi Sosial Etnik Dayak dengan Etnik Madura selama ini dilandasi oleh pencitraan yang tidak terlepas dari sistem makna dan sistem nilai yang dipegang oleh orang Dayak Kanayatn dalam menanggapi orang Madura di Desa Desa di Kalimantan Barat. Orang Madura yang biasa melakukan tindakan kekerasan berulang kali di daerah ini ini telah membenarkan pemaknaan yang ada pada diri orang Dayak bahwa orang Madura menghalalkan kekerasan dan pembunuhan dalam menyelesaikan masalah. Untuk itu penulis merekomendasikan agar secara internal orang Madura perlu upaya bersungguh-sungguh untuk mengurangi kadar stereotif seperti ini. Kepada orang Dayak dan Melayu penulis merekomendasikan agar komunikasi dan interaksi dengan orang Madura perlu terus ditingkatkan.
2. Ada 3 insiden kekerasan etnik di Kalbar yang terjadinya persis diantara waktu peralihan Rezim pemerintahan nasional sedang berganti. Pertama, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu terjadi Oktober hingga November 1967, satu titik waktu dimana rezim Orde Lama beralih ke Orde Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik waktu dimana rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu melakukan etnic cleansing terhadap sekelompok Madura yang tinggal di Sambas terjadi dari Februari hingga Maret 1999, satu titik waktu dimana Orde Reformasi baru mulai berdiri. Dari temuan ini, seluruh Etnik yang tinggal di Kalbar, hendaknya tidak mudah di provokasi untuk melakukan tindakan konflik-kekerasan, karena bisa jadi provokasi-provokasi yang ada adalah tanda-tanda untuk terjadinya peralihan rezim di tingkat Nasional. Yang rugi dari setiap kekerasan yang terjadi di daerah ini adalah rakyat Kalbar sendiri.
3. Kehidupan bersama antara orang Dayak dan Madura berlangsung baik di banyak Desa Kecamatan Kuala mandor B, Kec. Ambawang, Kec. Sebangki karena Adaptasi orang Madura yang demikian baik dengan penduduk lokal, berfungsinya mekanisme lokal adat Dayak dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial di Desa- desa tersebut dan didukung oleh kuatnya kharisma pemimpin lokal orang Dayak maupun orang madura di desa-desa tersebut. Hal ini menyiratkan bahwa Semua etnik di Kalbar sesungguhnya dapat hidup berdampingan, yang diperlukan sekarang adalah upaya untuk memperkuat modal sosial yang mempererat tali silaturahmi tersebut. Penulis merekomendasikan kepada pemerintah daerah agar mendukung kegiatan-kegiatan rakyat di daerah-daerah seperti ini supaya mereka dapat hidup lebih baik lagi sambil terus mempertahankan kehidupan harmonis yang sudah terjalin. Pemerintah daerah dituntut untuk membuat kebijakan yang adil untuk semua etnik (kebijakan sensitif etnik). Penulis tidak merekomendasikan kebijakan berupa relokasi yang tersegregasi dengan etnik lain, karena hal ini secara jelas mencitrakan bahwa antar etnik tidak dapat hidup berdampingan.
0 Comments:
Post a Comment