Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

AGROFORESTRY DAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KOMUNITAS

Senin, 31 Maret 2008


Dasar-dasar Agroforestry dan pengelolaan hutan berbasis komunitas termasuk praktik-praktik yang berhasil dalam pengelolaan hutan berbasis komunitas dan ancaman terhadap system ini di Kalimantan Barat.
Oleh : Kristianus Atok

Abstrak
Agroforestry sebagai bentuk usaha menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dalam sistem yang memperhatikan keberkelanjutannya secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana agroforestry adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. Agroforestry merupakan salah satu bentuk kearifan tradisional orang Dayak yang dapat dijadikan model pengelolaan hutan berbasis komunitas . Hutan bagi orang dayak adalah darah kehidupan penghubung kehidupan masa lalu, kini dan masa depan. Membuka hutan bagi orang Dayak adalah ibarat memasuki sebuah dunia baru. Diperlukan bekal pengetahuan dan kepercayaan serta berbagai persiapan lain ketika seseorang,sebuah keluarga atau sekelompok komunitas memutuskan untuk ”masuk hutan” maka yang pertama dilakukan adalah meminta izin kepada penguasa hutan. Sakralitas lingkungan hutan telah dipandang sebagai bagian dari budaya. Itulah sebabnya ketika akan mengelola hutan maka perdamaian dengan mahluk halus penguasa hutan (lewat ritus nyangahat) harus dilakukan pertama kali . Ladang- Kabon- Kompokng/ panamukng /Timawakng adalah contohnya di Kalimantan Barat. Dengan memahami makna yang terkandung dalam sistem ini, maka kita tidak terjebak dalam pemahaman yang sesat bahwa hutan adalah kumpulan pohon semata. Berbicara hutan adalah berbicara hidup dan kehidupan orang-orang yang ada disekitarnya , terlepas dari tidak atau belum diakuinya hak orang-orang ini oleh Negara. Dengan memahami secara baik sistem agroforestry maka ancaman dari HPH dan Perkebunan kelapa sawit yang dari waktu kewaktu semakin besar terhadap kebelanjutan sistem ini dapat ditanggulangi secara bersama-sama oleh masyarakat.

1. Pengantar

Sistem pertanian yang umum kita kenal adalah pertanian lahan basah (umumnya disebut sawah) dan pertanian lahan kering (umumnya disebut ladang). Di Kalimantan Barat Areal persawahan pada umumnya hanya terdapat didaerah dekat aliran sungai dan diselokan bukit(karena sistem irigasinya masih sederhana, dan biasanya disebut sawah tadah hujan). Sedangkan ladang umumnya dilakukan pada Keadaan alam dengan ciri topografi yang didominasi pebukitan dan areal berhutan. Pada orang Dayak di Kecamatan Sebangki pertanian lahan kering (ladang), setelah ditanami tanaman semusim seperti padi, akan ditanami tanaman keras seperti karet maka namanya berubah menjadi Kebun (kabon). Apabila Tanaman keras tersebut telah tua, terutama tanaman buah-buahan, maka akan dinamai kompokng atau panamukng. Sedangkan apabila pada kawasan tersebut dulunya pernah ada rumah penduduk, maka akan dinamai timawakng. Jadi Ladang- Kabon- Kompokng/Timawakng dapatlah disebut model agroforestry di Kalimantan Barat.

1.1. Pertanian lahan kering

Hutan sebagai hamparan tanah yang ditumbuhi pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lain yang bukan hasil budidaya mereka namakan udas. Arti harfiahnya adalah hutan alam. Ketika sentuhan tangan manusia telah hadir dalam aktivitas budidaya diatas tanah tersebut,ia berubah kategori menjadi balubutatn. Artinya ia bukan lagi sebuah fenomena alamiah,melainkan sudah merupakan bahagian dari rekayasa manusia. Bagaimana sebidang lahan hutan selanjutnya direkayasa akan menentukan perumusan label lain baginya. Dalam kaitan ini istilah balubutatn sekaligus mengasosiasikan satu paparan lahan yang sudah diusahakan manusia,dan istilah itu juga merupakan antonim dari lahan basah.
Berdasarkan pola pengelolaan dan jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan dilahan kering,orang Dayak membedakan lahan atas beberapa kategori yaitu balubutatn (areal perladangan),kabon,dan kompokng/panamukng. Balubutan dalam pengertian khusus mengacu kepada lahan tempat dilaksanakan kegiatan berladang. Ciri utamanya adalah pada jenis tanaman yang dibudidayakan ,yakni tanaman subsistensiseperti padi dan palawija. Kebun (kabon) dalam terminologi orang Dayak adalah lahan pertanian yang diatasnya ditanami satu jenis tanaman dominan berupa tanaman perdagangan berusia muda. Sedangkan kabon hampir sepadan dengan istilah Kebun (kabon) campuran,yaitu lahan pertanian yang diatasnya tumbuh beranekaragam jenis tanaman umumnya terdiri dari tanaman keras. Kompokng adalah hamparan kabon berusia tua yang memiliki cirri ekosistem khusus (mirip hutan lebat). Karena tanaman yang tumbuh diatasnya dominan pepohonan dan struktur vegetasinya hampir menyerupai hutan alam,kabon dan kompokg bisa dipadankan dengan istilah wanatani atau agroforest.
Uraian pada bagian-bagian berikut ini akan memberikan gambaran diakronis bagaimana orang Dayak mengelola sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Komunitas

Sulit untuk menentukan sejak kapan orang Dayak mengenal aktivitas budidaya dengan membuka lahan hutan. Tapi sejauh data yang bisa didapatkan di lapangan maupun dari penelusuran bahan-bahan sekunder, tampaknya tipologi perkembangan pemanpaatan sumberdaya hutan yang bersifat evolusionis dan linier tidak relevan untuk konteks Dayak. Didaerah orang Dayak, apa yang disebut kegiatan meramu hasil hutan, berladang, berkebun (kabon) dan aktivitas budidaya lainnya tampaknya bisa berjalan secara bersamaan atau simultan,. Bahkan kegiatan meramu hasil hutan yang mereka lakukan sejak beberapa abad lalu pada kenyataannya tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan subsistensi sebagaimana umumnya diasumsikan berlaku dikalangan kelompok pemburu dan peramu.
Pertalian masyarakat kesukuan atau masyarakat tradisional dengan ekonomi pasar yang kapitalistis sesungguhnya bukanlah suatu pengecualian atau penyimpangan,tapi lebih sebagai sebuah keniscayaan dalam sejarah peradapan manusia (Dove 1994:383). Penelitian di berbagai penjuru dunia telah banyak menyajikan bukti-bukti kaitan sistemik antara ekonomi masyarakat pemburu-peramu,peladang,petani menetap dan kelompok masyarakat dengan sistem produksi lainya (Keesing 1989:117-119). Seperti halnya dibanyak kawasan hutan hujan tropik, keterlibatan penduduk lokal (baca:forest-dweller) di Asia Tenggara dalam ekonomi pasar tadi secara historis berfokus pada perdagangan produk-produk hutan non-kayu (Dove 1994),dan orang Dayak di Kalimantan sejak beberapa abad terakhir ini telah menjadi saksi sejarah mengenai hal itu.

Kegiatan Mengumpulkan hasil Hutan

Kawasan hutan tropik seperti yang dipraktekan orang Dayak menyediakan beraneka ragam sumberdaya yang siap dimanfaatkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak dahulu kala mereka telah memanfaatkan hutan dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Dilihat dari sudut orientasinya, sedikitnya ada dua bentuk kegiatan mengumpulkan hasil hutan yang banyak dipraktikkan oleh orang Dayak sejak dahulu dan sebagian dintaranya masih bertahan hingga sekarang. Pertama,kegiatan mengumpulkan hasil hutan untuk memenuhi dan menunjang kebutuhan subsistensi. Kedua, kegiatan mengumpulkan hasil hutan untuk tujuan mendapatkan uang tunai.
Bentuk kegiatan mengumpulkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan, khususnya ibu-ibu rumah tangga, yang pergi kehutan untuk mencari sayur-sayuran dan buah-buahan dari berbagai jenis tumbuhan liar yang hidup dihutan. Kegiatan mengumpulkan hasil hutan seperti ini oleh penduduk setempat dinamakan bagago jukut ka abut-abut( ngago angkayu’, ngago ui, naremang, ngago solekng, dll) dan biasanya tidak dilakukan secara khusus. Pekerjaan tersebut dilakukan secara sambilan disela-sela kesibukan pokok mengurus ladang atau ketika mereka masuk hutan untuk mencari kayu bakar.
Mencari kayu bakar (ngago kayu) adalah kegiatan mengumpul hasil hutan yang bertujuan untuk mendukung kebutuhan subsistensi rumah tangga. Dalam kategori ini juga termasuk kegiatan kaum lelaki yang pergi kehutan mencari kayu untuk bahan bangunan rumah,mengumpul bambu,rotan,dan tumbuh-tumbuhan lainya untuk bermacam-macam keperluan domestik.
Kegiatan mengumpulkan hasil hutan dalam bentuk kedua terutama dilakukan oleh kaum lelaki. Dimasa lalu,produk hutan yang dikumpulkan untuk tujuan perdagangan antara lain adalah jenis aren (enau). Ada satu jenis komoditi yang cukup menonjol untuk kategori ini,yaitu gula aren, disamping ijuk dan kayunya. komoditi ini sangat penting secara ekonomis bagi penduduk Dayak di daerah ini sampai sekarang karena hasil penjualannya merupakan salah satu pendapatan tunai yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga .
Air Enau diambil dari penakikan beberapa jenis pohon enau. Karena keragaman jenis dan kualitas pohon enau liar yang ada dan teknik penakikan yang masih sederhana,sehingga volume produksi gula enau yang diperoleh masih rendah.
Tapi perlu ditegaskan disini bahwa berkembangnya aktivitas budidaya (domestikasi) pohon enau tersebut bukanlah akhir dari kegiatan peramuan hasil hutan non-kayu didaerah Dayak; atau sebaliknya juga bukan sekaligus berarti sebagai awal dari kegiatan budidaya tanaman perdagangan. Angka-angka tahun dalam lembaran sejarah Kalbar pada umumnya memperlihatkan bahwa damar (shorea spp) justru sudah dikenal didaerah ini jauh sebelum pohon enau dikelola untuk dijadikan gula. Damar dipakai penduduk masa lalu untuk membuat penerangan di rumah panjang dan semacam bahan bakar minyak mereka.
Untuk menutup uraian dalam sesi ini dapat dikemukakan juga bahwa selain mengumpulkan getah damar dan air enau, masih ada kegiatan lain yang termasuk kategori meramu hasil hutan,diantaranya kegiatan mengumpulkan rotan, dan kayu gaharu. Keempat produk hutan tersebut,menurut keterangan sejumlah imforman,termasuk beberapa jenis produk hutan yang juga banyak dicari dan dikumpulkan orang Dayak tempo dulu. Bahkan kegiatan meramu rotan masih berlangsung hingga sekitar 10 tahun lalu sebelum hutan-hutan dibabat habis untuk HPH dan Perkebunan kelapa sawit.

Membuka Hutan Untuk Lahan Pertanian

Riwayat perpindahan leluhur orang Dayak dari dataran tinggi sekitar 3 abad lalu konon didorong oleh semangat mencari lahan pertanian. Jika benar demikian,bisa diperkirakan bahwa kegiatan membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian, khususnya dilahan darat,paling tidak sudah berlangsung didaerah Dayak sejak tiga ratus tahun yang lalu.
Mudah dipercaya bahwa kegiatan pembukaan hutan yang dilakukan oleh generasi-generasi pertama penduduk Dayak bertujuan untuk membuat ladang yang didalamnya dibudidayakan tanaman-tanaman subsistensi seperti padi dan beraneka ragam sayur-sayuran. Tapi anggapan bahwa tujuan utama dari pembukaan lahan hutan semata-mata untuk mendapatkan hasil padi guna mencukupi kebutuhan subsistensi rumah tangga,seperti yang pernah diungkapkan oleh Mary & Michon (1987:42) menurut hemat saya merupakan suatu kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan. Dove (1994) juga termasuk salah seorang penulis yang meragukan argumentasi mereka. Tapi baiklah argumentasi mengenai hal itu akan diulas lebih jauh pada dua bab berikut.
Tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan oleh orang Dayak memang jelas menunjukan bahwa kegiatan kultivasi pertama dilahan yang baru dibuka adalah penanaman padi gogo dan sayur-sayuran. Namun demikian mereka bukan tipe peladang berpindah yang membuka plot demi plot hutan untuk ditanami padi dan kemudian diberakan lagi selama beberapa tahun. Orang Dayak membuka hutan alam (hutan primer atau sekunder),kemudian mengelolanya menjadi lahan pertanian mengikuti sebuah proses panjang,hingga pada akhirnya terbangun kembali sebidang ”hutan” dalam corak lain. Yang dimaksud adalah hutan buatan berupa kompokng .

Aspek pengetahuan dan kepercayaan

Membuka hutan bagi orang Dayak adalah ibarat memasuki sebuah dunia baru. Diperlukan bekal pengetahuan dan kepercayaan serta serta berbagai persiapan lain ketika seseorang,sebuah keluarga atau sekelompok rumah tangga memutuskan untuk ”masuk hutan”. Kehadiran mereka disana bukan untuk satu periode yang singkat,misalnya sebatas satu atau dua tahun ketika hasil tanaman ladang sudah selesai dipanen;tapi bisa belasan atau puluhan tahun jika lahan tersebut telah menjadi hutan buatan kompokng/ panamukng . Hutan tidak hanya disikapi sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan dan semak dan didalamnya hidup aneka macam binatang;lebih dari itu hutan juga dipercaya sebagai tempat hunian makhluk-makhluk halus. Karena itu,selain pengetahuan mengenai berbagai hal menyangkut aspek fisik hutan dan fenomena alam yang terkait dengannya orang Dayak juga masih memperhitungkan beberapa aspek kepercayaan dan ritual dalam tahap-tahap pengelolaan hutan.
Pertama,akan kita bicarakan mengenai aspek pengetahuan. Pengetahuan mengenai kualitas atau kesuburan tanah hutan yang akan dibuka dan pengetahuan mengenai siklus musim adalah dua hal penting yang harus dimiliki seorang calon pekebun (kabon) di masyarakat Dayak. Untuk mengetahui kesuburan tanah yang akan dibuka, orang Dayak biasanya mengunakan gabungan beberapa teknik pengujian,yaitu (a) melihat warna dan kegemburan tanah; (b) melihat jenis vegetasi dominan yang tumbuh dan kehadiran beberapa jenis tumbuhan penanda kesuburan; (c) melihat perakaran tumbuhan semak dan tingkat kepadatan/kekerasan penampang kayu; dan (d) melihat topografi lahan.
Secara umum disebutkan bahwa tanah yang berwarna hitam dan gembur (tanah alluvial) adalah kualifikasi tanah paling baik dan cocok untuk semua jenis tanaman. Tanah yang berkualitas sedang dicirikan oleh warnanya yang kemerah merahan,gembur dan agak berpasir. Meskipun tanah dengan kategori ini bisa cocok untuk semua jenis tanaman,tapi ia memberikan hasil yang lebih sedikit dan umur tanaman relatif lebih pendek. Tanah berkualitas jelek ditandai oleh warnanya yang merah,tidak berpasir dan liat. Lebih rinci orang Dayak mengenal adanya enam tipe tanah seperti diringkas dalam tabel dibawah ini :




Tabel Tipologi Tanah

No SUBUR

1 Tanah itapm
(tanah hitam gembur)
2 Tanah Kalabu gambur
(tanah kelabu gembur)
3 Tanah cokalat-kuning
(tanah merah gembur)
4 Tanah bapasir
(tanah kelabu berpasir)
5 Tanah putih
(tanah kapur)
6 Tanah merah berpasir
Tanah merah liat

TIDAK SUBUR

Sumber. Wawancara

Selain melihat warna dan kegemburan tanah,tanda-tanda yang perlu diperhatikan adalah jenis vegetasi yang tumbuh diatasnya. Secara umum suatu bidang tanah tergolong subur apabila diatasnya hidup tumbuh-tumbuhan yang berdaun sangat hijau. Tanda-tanda yang lebih khusus adalah apabila disekitar terdapat banyak tumbuhan pisang hutan atau angkulukng kara’,juga banyak tumbuhan melilit atau liana (ui). Tanah yang subur juga ditandai dengan gampangnya akar tumbuhan semak dicabut; hal ini menandakan bahwa tanah tersebut cukup gembur dan agak lembab (memiliki kandungan air yang memadai untuk menghidupi tanaman). Jika kemudian didukung oleh kenyataan lembut,empuk atau lunaknya kayu atau penampang pepohonan kecil ketika ditebang,hal itu lebih mempertegas penilaian bahwa tanah disekitar itu cukup subur untuk ditanami.

Tabel Rentang Kesuburan Tanah Menurut Ciri Vegetasi

SUBUR
Ditumbuhi pohon-pohon besar,tegakan jarang,batang lunak,
Tidak mudah tumpul (lunak- rorah)
Tanah yang ditumbuhi banyak pohon beringin (kayuara)
Banyak tumbuhan liana (akar)
Banyak tumbuhan berpohon rindang
Banyak tumbuhan rotan (ui saga)
Banyak tumbuh rotan hijau dan rotan gelang
Banyak tumbuh paku resam (taboyo)
Tumbuh-tumbuhan kayu kerdil,tegakan rapat,penambang keras,banyak kayu bernas dan
Kayu berpasir.
TIDAK SUBUR

Sumber : Wawancara

Tanah yang subur,menurut konsepsi petani,adalah tanah yang terdapat pada bidang-bidang yang relatif datar,agak landai dan tidak terjal. Jika suatu lahan didominasikan oleh bidang yang sudut kemiringannya cukup besar,maka bagian yang tersubur biasanya terdapat dibagian bawah atau dikaki bukit.
Pengetahuan lain yang juga diperlukan ialah berkaitan dengan siklus musim. Petani Dayak biasanya memulai kegitan pembukaan hutan pada musim kemarau, dan kegiatan penanaman pertama pada awal musim penghujan. Perputaran musim yang lazim selama ini berdasarkan pengalaman mereka memberikan patokan bulan Juni sampai Agustus setiap tahun sebagai bulan yang diisi dengan hari-hari panas (kemarau); sehingga pada periode inilah mereka masuk hutan untuk memulai tahap awal pembukaan ladang. Ada beberapa tahap pekerjaan yang di laku kan selama masa –masa kemarau itu, dan mengenai hal ini akan diuraikan pada seksi berikut. Berkaitan degan pengetahuan mengenai peralihan- peralihan musim ini, satu hal yang penting mereka ketahui dan pahami adalah penentuan awal kegiatan menanam; suatu fenomena yang mereka hubungkan dengan tibanya musim hujan yaitu sekitar akhir September atau awal Oktober.
Menurut kebiasaan mereka sejak dahulu, pengetahuan mengenai hari yang paling cocok untuk memulai kegiatan penanaman dirujuk kepada pengetahuan astronomi dengan melihat apa yang mereka sebut patahunan (tahutn sobat ). Patahunan itu berkaitan dengan posisi bintang (bintang tiga serangkai yang membentuk formasi seperti alat bajak luku ) di langit yang menurut konsepsi petani akan muncul tepat di atas ubun-ubun pada sekitar awal bulan Oktober.Untuk memastikan kemunculannya, bintang tiga serangkai tersebut harus diamati setiap malam menjelang fajar , karena pada waktu-waktu itu lah saat yang di anggap tepat dan valid untuk menentukan patahunan. Tiga bintang tersebut menurut pengalaman petani memancarkan sinar dengan intensitas cahaya yang berbeda; dan hal ini kemudian akan berpengaruh kepada manajemen ritus yang akan mereka buat saat memulai menanam perdana nanti.
Yang kedua berkenaan dengan aspek kepercayaan. Seperti telah di singgung diatas, orang Dayak percaya bahwa hutan adalah tempat hunian bagi mahluk-mahluk halus (panunggu tanah ). Membuka hutan pada dasarnya dipercaya sebagai perbuatan yang akan menganggu wilayah tempat hunian atau teritori para mahluk halus tersebut. Karena itu, kegiatan membuka hutan harus di dahului oleh adanya suatu komitmen untuk hidup berdampingan secara damai dengan penghuni lain (para mahluk halus ) yang menempati ruang teritorial dan sumberdaya yang sama. Komitmen itu di tegaskan melalui pelaksanaan ritus ngawah sebagai instrumen komunikasi dan negoisasi yang pada lazimnya diselenggarakan di awal pembukaan hutan (ngaranto).
Tingkat sakralitas lingkungan hutan atau kepercayaan tentang perlunya melakukan perdamaian dengan mahluk halus penguasa hutan (lewat ritus nyangahat) bergantung kepada jenis hutan yang akan di buka dan sejauh mana petani telah mengakrabi lingkungan hutan tersebut sebelumnya. Kebutuhan untuk melakukan ritus tadi lebih menonjol apabila yang akan di buka adalah hutan primer (udas pararoatn ). Hutan sekunder (balubutatn ) seringkali tidak lagi dilihat sebagai lingkungan yang masih di kuasai secara kukuh oleh mahluk halus, karena kategori sekunder itu bagi orang Dayak sudah menandakan telah hadirnya intervensi manusia sebelumnya,dan kehadiran pertama itu tentu saja juga sudah didahului oleh pelaksanaan ritus yang sama. Tapi bagi orang yang belum mengakrabi lingkungan hutan yang di kategorikan hutan sekunder tadi, misalnya mereka yang datang dari desa –desa lain yang letak nya jauh, melaksanakan ritus ngawah tetap merupakan pilihan untuk mendapat kan rasa aman dan tentram dalam proses panjang pengelolaan hutan di sana.
Kepercayaan terhadap mahluk halus penghuni hutan tidak selalu di letakkan dalam konotasi yang negatif, dalam arti mereka berpotensi mengganggu manusia yang mengelola hutan. Orang Dayak juga percaya bahwa mahluk bisa memberikan pertolongan dan mendukung keberhasilan usaha mereka di ladang. Pelaksanaan ritus ngawah, misalnya, tidak di maksudkan untuk mengusir mahluk-mahluk itu dari tempat kediaman mereka, karena ada kepercayaan bahwa kalau mereka meninggalkan hutan yang akan diusahakan maka hasil pertanian yang diperoleh bisa berkurang . Konsepsi demikian tercermin dalam banyak praktek yang berkaitan dengan cara-cara penanaman, pemeliharaan dan pemanenan hasil tanaman yang dibudidayakan di ladang dan Kebun (kabon). Sebagian kepercayaan itu mengacu kepada kepercayaan pribumi yang berbau Hindu.

Menyiapkan lahan

Lahan hutan primer (udas pararoatn ) biasanya menjadi pilihan utama ketika seseorang, satu keluarga atau kelompok rumah tangga akan membuka lahan hutan untuk memulai perladangan. Mereka berasumsi bahwa tanah hutan primer relatif lebih subur dari pada tanah lain semisal hutan sekunder (balubutatn) atau belukar muda (bawas). Namun demikian perkembangan pada dekade 1990-an menunjukkan bahwa hutan sekunder maupun belukar muda sudah banyak yang dibuka dan dikelola kembali menjadi lahan pertanian.
Ada beberapa tahap pekerjaan baku yang biasanya dilakukan oleh petani Dayak untuk mengubah hutan menjadi lahan siap tanam; yaitu ngawah, ngaranto, nabas, nabankng, ngarangke raba’, nunu, nugal, ngarumput, nyaga padi, bahanyi. Secara berturut pekerjaan itu adalah menebas,menebang pohon,memotong ranting kayu,membakar,dan membersihkan sisa bakaran. Lima tahap pekerjaan tersebut bisa makan waktu selama 2 hingga 3 bulan,karena sangat berkaitan dengan faktor teknologi yang digunakan dan keadaan cuaca. Hingga sekarang aktivitas pembukaan hutan yang dilakukan oleh petani Dayak masih tetap mengandalkan tenaga manusia dengan dukungan peralatan sederhana seperti kampak dan parang.
Yang pertama dilakukan adalah menebas rerumputan dan semak yang tumbuh di lapisan bawah hutan (nabas). Pada umumnya pekerjaan ini dimulai setelah beberapa waktu sebelumnya diselenggarakan ritus ngawah. Setelah dibiarkan beberapa hari agar rerumputan dan semak mengering,pekerjaan kemudian dilanjutkan dengan nabakng kayu,yaitu menebang pohon-pohon kayu besar yang tumbuh disana. Seterusnya dilakukan kegiatan ngaradah, yaitu menebang dan memotong-motong dahan dan ranting kayu yang sudah ditebang agar lebih mudah dibakar. Sampai pada tahap siap bakar lahan tersebut dinamakan ngarangke raba’. Diperlukan waktu relatif panjang dan cuaca panas agar kegiatan pembakaran (nunu) bisa dilakukan. Itulah sebabnya proses pembukaan hutan amat bergantung kepada siklus musim. Kadang kala musim hujan keburu tiba sebelum pembakaran dilakukan,sehingga pekerjaan membersihkan lahan menjadi lebih sulit atau mungkin berakibat ditundanya pembukaan ladang untuk tahun itu. Lahan demikian,yang segara menjadi belukar kembali dinamakan bawas manta’; kalau terus dibiarkan hingga mencapai 5 tahun berubah kategori menjadi balubutatn tuha. Kalau lahan ini ditebas ulang ia dinamakan bauma. Lahan yang sudah dibakar (ditunu) dan dibersihkan (dirantak) akan berubah menjadi lahan siap tanam. Pada saat itulah lahan tersebut mulai dinamakan uma patahunan.
Hampir semua tahapan pekerjaan tadi dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki. Meraka bisa bekerja sendiri –sendiri,atau secara kelompok bersama-sama peladang satu atar dengan sistem gotong-royong (balale’) ,tapi ada juga yang membayar tenaga upahan untuk menyelesaikan bidang pekerjaan tertentu. Pada umumnya perempuan sudah terlibat dalam kegiatan diladang (balubutatn) dan makin intensif pada tahap penanaman tiba atau bahkan jauh sesudahnya sampai pondok (dango) selesai didirikan. Pekerjaan-pekerjaan menebang pohon dianggap masih merupakan dominan laki-laki,karena membutuhkan curahan tenaga fisik yang cukup besar dan rawan resiko (misalnya tertimpa pohon).


Fase-fase Produktif Dalam Pengelolaan Lahan Hutan

Dalam proses pengelolaan lahan hutan,orang Dayak tidak berhenti hanya sebatas tahap penanaman tanaman subsistensi, lalu pindah lagi mencari lahan baru. Sebaliknya,berakhirnya secara alamiah . Proses penanaman tanaman pangan merupakan awal bagi tahapan produktif berikutnya dalam bentuk yang lain. Dalam kaitan ini,orang Dayak sebenarnya mengenal paling tidak tiga fase produktif dalam pengelolaan lahan hutan,yang berlangsung secara simultan dan berkesinambungan hingga puluhan tahun: yaitu fase bauma, Kebun (kabon) dan kompokng.

3.2.3.1 Fase Bauma

Tahap menyiapkan lahan mulai dari menebas hingga selesai dibakar biasanya sudah tuntas ketika awal musim hujan tiba. Di daerah Dayak, pengalaman petani selama ini mengajarkan mereka bahwa musim hujan akan datang sekitar pertengahan september atau awal oktober setiap tahun; dan penanaman perdana segera di mulai setelah itu. Lahan yang siap menerima tanaman pertama itulah yang oleh petani Dayak dinamakan bauma dalam arti yang khusus: ladang. Selain dengan sebutan bauma, fase awal ini juga dinamakan ngudas, kedua konsep tersebut berkaitan dengan padi yang menjadi tanaman dominan pada fese bauma. Jika lahan itu baru untuk pertama kalinya ditanami padi, ia dinamakan bauma kaudas pararoatn(ngudas); tapi kalau lahan dimaksud sudah pernah menghasilkan panen padi, atau dengan kata lain sedang ditanami pada tahun kedua, maka lahan yang sama dinamakan bawas.
Dua lebel tadi, yaitu ngudas dan bawas menegaskan bahwa pada fase bauma tanaman padi adalah yang terpenting. Sejumlah informan generasi tua mengungkapkan kepentingan menanam padi sebagai tanaman pembuka, bukan hanya untuk mendapatkan gabah yang bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tetapi dibalik itu terkandung suatu kepercayaan bahwa ini menjadi semacam prasarat untuk bisa memperoleh kesuksesan pada tahapan-tahapan berikutnya. Keterangan tersebut agaknya paralel dengan penjelasan informan lain yang menyebutkan bahwa sampai batas-batas tertentu kualitas dan hasil tanaman padi perdana itu bisa memberikan indikasi mengenai prospek keberhasilan tanaman-tanaman berikutnya yang akan dibudidayakan pada fase Kebun (kabon).
Kegiatan menanam padi perdana diladang disebut nugal. Kegiatan ini serentak dilakukan oleh semua peladang Dayak tiap bulan Oktober. Pilihan bulan ini merupakan penyederhanaan dari teknik kalender musim.
Bagi kebanyakan petani Dayak permulaan menugal dan menabur bibit padi diladang memiliki keistimewaan dan disikapi sebagai yang semi-sakral. Penyelelengaraan ritus sambayang lubakng tugal merupakan cerminan untuk itu. Ada beberapa aturan khusus yang harus diikuti dalam penyelengaraannya pertama,yang menugal dan mengisi benih padinya harus orang tua atau kepala keluarga (laki-laki).
Kedua,beberapa lobang tugalan pertama yang dijadikan pamulaan (arti harfiahnya yang paling dahulu) lazimnya dibuat kira-kira persis ditengah ladang; jumlahnya cukup tiga atau tujuh.
Ketiga,analog dengan akad perkawinan manusia,penaburan benih padi perdana harus disertai dengan ucapan akad perkawinan antara bibit padi (banih) dengan tanah (tanah bumi). Keempat,penanaman pamulaan harus dilakukan pagi hari,dan tempat disekitarnya harus bebas dari benda-benda dan hal-hal yang dianggap kotor. Selanjutnya kegiatan penanaman padi akan berlangsung secara profan,bisa dilakukan oleh siapa saja dan pada sembarang waktu.
Tanaman yang dibudidayakan pada fase bauma didominasi oleh tanaman pangan, khususnya pagi gogo dan sayur-sayuran. Petani Dayak mengenal beberapa jenis varietas padi ladang, seperti palawakng, dan lain sebagainya dengan rata-rata usia siap panen 5-6 bulan. Tanaman palawija sangat beragam namun jumlah yang ditanam biasanya hanya sedikit,dengan memanfaatkan bidang-bidang tanah yang dekat dengan pondok(dango) dan juga disekitar pangkal-pangkal pohon yang sudah ditebang dengan hasil bakaran yang bagus. Perawatan tanaman pangan inilah yang terutama menyita waktu petani dan keluarganya pada bulan-bulan awal pembukaan ladang. Pada priode ini,khususnya setelah padi mulai bunting,anggota keluarga sudah mulai menetap hingga masa panen usai.

Pada masa-masa itu pula mereka mulai mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk memulai fase Kebun (kabon). Misalnya kalau sudah diambil keputusan untuk berKebun (kabon) karet selepas panen padi,maka mereka sejak fase bauma sudah harus menyiapkan bibit karet: mencari bibit dan merendam akarnya dipinggir ladang atau didesa. Menurut konsepsi petani,diperlukan waktu minimal tiga bulan agar bibit karet yang akarnya direndam bisa mulai ditanam. Karena itulah,kegiatan mempersiapkan bibit selalu dilakukan berbarengan dengan dimulainya masa pembukaan hutan atau segera setelah penanaman padi selesai.
Kalau petani yang bersangkutan juga telah mengambil keputusan untuk menanam lada, maka pada masa pengurus padi gogo ia juga sudah milai mempersiapkan tunjar yang akan berfungsi sebagai tempat tanjaran bagi tanaman lada.
Hasil tanam pada fase bauma, yaitu padi dan sayur-sayuran pada umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga. Dimasa lalu,ketika alat pengangkutan masih sulit (belum ada ojek atau mobil)dan jarak ladang relatif jauh dari desa, maka hasil tanaman ladang biasanya digunakan untuk konsumsi selama menetap diladang. Hasil panen padi disimpan di dango padi, untuk itu diselenggarakan gawe adat naik dango, Padi sangat dihormati karena ia lebih dimaksudkan sebagai stok pangan dan untuk keberlanjutan hidup. Dalam tahun-tahun belakangan ini ada beberapa perubahan yang terjadi berkenaan dengan pemanfaatan hasil panen,pilihan jenis,jumlah dan orientasi penanaman padi maupun palawija yang terjadi seiring dengan perbaikan sarana tranportasi .
Fase ladang hanya berlangsung selama satu atau dua tahun,yang intinya isi dengan satu atau kali masa tanam padi gogo plus palawija. Setelah itu,lahan tempat mereka berladang (balubutatn)mulai berubah kategori menjadi Kebun (kabon). Disana bukan tanaman pangan lagi yang menjadi tumpuan,melainkan tanaman komersial.

Fase Kebun (kabon)

Apa yang dimaksud Kebun (kabon) oleh orang Dayak adalah sebidang lahan pertanian yang ditanami dengan satu atau dua jenis tanaman dominan yang berumur tua dan berorientasi pasar. Pengenalan mereka dengan sistem Kebun (kabon) tampaknya bukanlah suatu fenomena baru,melainkan sudah berlangsung ratusan tahun. Dari segi teknis,sistem Kebun (kabon) yang maksudkan tidaklah setara dengan perkebunan (plantation) yang dikenal secara umum. Sebagian besar tahapan pekerjaan yang mereka lakukan dalam mengelola Kebun (kabon) masih mengunakan teknologi sederhana. Penggunaan pupuk,herbisida dan pestisida memang sudah mulai berkembang,namun secara umum, sebagaimana dijelaskan oleh sejumlah informan,mereka masih lebih banyak menyadarkan sistem pengelolaan tanaman Kebun (kabon) pada khasanah pengetahuan lokal.
Dari segi proses,Kebun (kabon) tidak lain adalah kelanjutan dari ladang. Kebun (kabon) menempati ruang fisik yang sama dengan ladang yang mendahuluinya. Tapi secara kategoris orang Dayak lalu menyebutnya Kebun (kabon) manakala tanaman muda yang dibudidayakan sudah tampil sebagai vegetasi dominan yang tumbuh dilahan tadi. Bahkan dapat dikemukakan bahwa Kebun (kabon) merupakan bagian inti dari proses perencanaan pembukaan lahan hutan. Jika orang Dayak ditanya untuk apa mereka membuka hutan,jawaban yang segera muncul biasanya adalah: ”manjawat Kabon (kabun)” (saya mau buat Kebun (kabon)) atau ”bakabona” (saya mau berKebun (kabon)).
Tidak banyak variasi jenis tanaman yang menjadi unsur lahan Kebun (kabon) orang Dayak. Sejarah mereka mengungkapkan fakta bahwa karet, dan lada, merupakan dua jenis tanaman perdagangan yang paling populer dan banyak diperkebunkan (kabon)kan di masyarakat Dayak. Ada beberapa jenis tanaman lain seperti coklat dan jeruk manis,namun tidak banyak digemari dan hanya ditanam dalam jumlah amat sedikit sehingga tidak terkategorikan sebagai Kebun (kabon).
Tanaman Karet dan lada, sudah dikenal sejak lama oleh petani Dayak. Kuat dugaan bahwa dari keduanya karet adalah jenis tanaman komersial pertama yang diadopsi oleh orang Dayak ke dalam sistem pertanian mereka. Kalbar sudah dikenal sebagai daerah penghasil karet sejak satu abad yang lalu.
Pengelolaan tanaman Kebun (kabon) membutuhkan alokasi waktu dan modal yang lebih banyak daripada pengelolaan ladang. Tapi di Dayak persoalan alokasi waktu dan tenaga dalam tahap-tahap pemeliharaan tanaman diperingan oleh penerapan sistem lokal yang menjadikan tahap ladang dan Kebun (kabon) sebagai sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan. Seperti telah disinggung diatas,persiapan-persiapan untuk penanaman tanaman muda sudah mereka lakukan semasa masih mengurus tanaman padi diladang. Bahkan kegiatan penanaman karet sudah dilakukan juga pada waktu itu. Dengan demikian,terjadi efisiensi tenaga dan waktu dalam merawat tanaman. Menyiangi rumput yang tumbuh disela-sela tanaman padi,misalnya,sekaligus berarti mengurangi gulma yang mengganggu tanaman karet yang tumbuh disebelahnya.
Fase Kebun (kabon) berlangsung relatif lebih lama dari fase ladang. Tanaman karet mulai panen setelah 7-8 tahun ditanam. Tergantung kepada jenis varietas yang ditanam,usia produktif karet bisa bervariasi antara 20 sampai 30 tahun. Lada biasanya ditanam lebih belakang dari karet,karena ia harus menunggu pembersihan lahan dan ketersediaan tunjar.
Dengan demikian,fase Kebun (kabon) akan berakhir ketika masa produktif tanaman karet dan lada habis,yaitu antara tahun ke-6 untuk lada (jika hanya berKebun (kabon) lada) sampai tahun ke-30 (kalau berkebun karet). Berakhirnya fase Kebun (kabon) akan berlanjut dengan mulainya fase kompokng.

Fase Kompokng

Sama halnya dengan tindakan antisipasi petani ketika menanam tanaman Kebun (kabon) sebelum fase ladang berakhir,mereka juga tidak membiarkan fase Kebun (kabon) berlalu tanpa adanya tanaman pengganti yang sudah dipersiapkan. Membiarkan lahan Kebun (kabon) tanpa tanaman produktif sama artinya dengan membiarkan lahan tersebut menjadi hutan kembali. Jika demikian halnya,banyak konsekwensi yang akan timbul,misalnya menyangkut kerentanan klaim atas lahan dan juga kehilangan sumber daya yang bisa memberikan kontribusi ekonomi bagi keluarga. Tindakan antisipasi yang kedua kalinya itu kemudian melahirkan sebuah tampilan baru dalam proses pengelolaan lahan hutan,yaitu terwujudnya kompokng atau lebih khusus kompokng buah.
Dalam terminologi Dayak,kompokng mengacu pada pengertian sebidang lahan pertanian yang diatasnya tumbuh beranekaragam jenis tanaman produktif dan umumnya terdiri dari tanaman keras (perennial crops). Unsur-unsur tanaman produktif dikompokng antara lain adalah durian (Durio zibethinus),duku (Lansium domesticum),manggis (Garcinia mangostana),petai (Parkia speciosa),Jengkol (Pithecelobium jiringa),melinjo (Gnetum gnemon),tupak (Baccaurea dulcis),dan Kandis (Garcinia dipice). Dua yang disebut terakhir ini sebenarnya jarang ditanam melainkan tumbuh sendiri dan dpelihara karena menghasilkan buah yang dapat dipanen dan dijual. Sebutan kompokng buah juga lazim digunakan karena tanaman buah-buahan merupakan tanaman dominan (dalam jumlah) diantara berbagai jenis tanaman lainya yang dibudidaya dalam satu bidang lahan bekas Kebun (kabon).
Secara fisik sesungguhnya tidak ada garis batas yang jelas antara fase kompokng dengan fase Kebun (kabon). Tanaman tua yang kemudian menjadi unsur-unsur produktif dalam bidang kompokng pada umumnya sudah ditanam secara berangsur semasa petani memelihara tanaman Kebun (kabon). Dengan kata lain,aspek keanekaragaman jenis tanaman sudah tercapai pada penghujung fase Kebun (kabon). Kalau kemudian orang Dayak membedakan Kebun (kabon) dan kompokng hal itu berkaitan dengan konsepsi dan karakteristik yang berbeda diantara keduanya;antara lain,pertama,konsepsi mereka tentang hasil usaha pertanian menempatkan jenis tanaman yang sedang produktif (memberikan kontribusi ekonomi paling besar) sebagai acuan pembeda untuk mengkategorikan tahapan pengelolaan lahan. Meskipun bibit duku,durian,dan lain sebagainya sudah ditanam pada masa pemiliharaan tanaman karet atau lada, faktanya tanaman karet atau lada adalah tanaman yang produktif pada waktu itu,sehingga lahan tersebut masih dikategorikan sebagai Kebun (kabon),bukan kompokng.
Kedua,berkaitan dengan perbedaan cara-cara pemeliharaan. Tanaman Kebun (kabon) membutuhkan alokasi waktu,tenaga dan modal yang relatif banyak selama tahap-tahap pemeliharaan sejak ditanam hingga berhenti berproduksi. Sedangkan tanaman dikompokng ,menurut konsepsi petani,hampir bisa dikatakan tidak membutuhkan pemeliharaan lagi. Berbeda dengan ketika mengurus Kebun (kabon),curahan waktu,tenaga kerja dan modal untuk mengurus tanaman dikompokng justru jauh lebih rendah. Sebagian petani bahkan menyebutkan fase awal kompokng tidak memerlukan perawatan sama sekali. Karena itu semua jenis vegetasi yang ada diatasnya dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alamiah dengan sesedikit mungkin campur tangan manusia. Sementara itu petani yang membuka dan membangun kompokng tersebut,begitu usai masa produktif tanaman Kebun (kabon),akan segera pulang dan menetap didesa. Lahan kompokng muda hanya sesekali dikunjungi untuk menebas tumbuhan yang melilit dan mengganggu tanaman buah maupun tanaman lainya.
Ada tenggang waktu sekitar 5-10 tahun antara berkhirnya fase Kebun (kabon),yaitu ketika petani meninggalkan lahannya yang sudah berisi berbagai jenis tanaman keras yang masih berusia muda,hingga tanaman buah mencapai usia produktif. Ketika itulah lahan kompokng,yang ia buka sekitar seperempat abad sebelumnya atau yang ia tinggalkan sejak 5-10 tahun lau,mulai dikunjungi kembali oleh petani secara rutin. Kehadirannya secara berkala disana adalah untuk memanen buahnya,yang lazimnya dilakukan setiap musim berbuah.
Dari kompokng tersebut petani juga bisa mendapatkan bermacam ragam hasil,misalnya buah-buahan (jika musimnya tiba),petai,jengkol,sayur-sayuran,kayu bahan bangunan,kayu bakar,dan lain sebagainya. Tanaman durian,petai,jengkol maupun beberapa jenis tanaman lain yang masa produktifnya lebih muda sebenarnya sudah bisa dipetik hasilnya beberapa tahun . Dengan demikian ”masa tidur” lahan selama 5-10 tahun itu sesungguhnya bukan tanpa hasil sama sekali bagi petani. Ini sekaligus berarti bahwa sejak lahan pertama sekali dibuka dan ditanami,petani bisa mendapatkan beragam rupa pemasukan secara terus-menerus dari tanah hutan yang diusahakannya. Pohon buah,salah satu komponen utama didalam kompokng,bisa produktif selama 30-50 tahun .

3. Sistem agroforestry

Agroforestry berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, makanan ternak atau padang pengembalaan. Asosiasi ini dapat dalam dimensi waktu, seperti rotasi antara pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, dimana komponen tersebut ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan komponen lainnya. Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. Reijntjes, (1999), menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan tanaman kayu tahunan secara seksama (pepohonan, belukar, palem, bambu) pada suatu unit pengelolaan lahan yang sama sebagai tanaman yang layak tanam, padang rumput dan atau hewan, baik dengan pengaturan ruang secara campuran atau ditempat dan saat yang sama maupun secara berurutan dari waktu ke waktu.
Sistem agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara pengelolaannya. Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry (King, 1978; Koppelman dkk., 1996 ) :
- Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
- Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
- Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
Sistem lain , yang meliputi :
- Silvofisher pohon dan ikan
- Apiculture : pohon dan lebah
- Sericulture : pohon dan ulat sutera
Young (1997) Hudge (2000) mengkelaskan agroforestry dengan menyatakan ada lima model utama penerapan agroforestry khususnya di daerah temperate yaitu : Alley crooping, silvopasture, riparian forest buffer, windbreaks dan forest farming.
Berdasarkan fungsi dari pohon, sistem agroforestry mempunyai fungsi utama sebagai produksi atau konservasi. Fungsi produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan bakar, karet, obat dan uang. Fungsi konservasi atau pencegahan meliputi : perbaikan tanah, pelindung dan nilai spiritual. Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem agroforestry secara temporal (ladang , atau lebih menetap, dalam kasus pengelolaan rumah kebun yang intensif). Berdasarkan pola pohon apakah pohon dalam sistem agroforestry dikelola dengan suatu pola yang teratur (bila ditanaman menurut jarak yang tetap, atau dalam sebaran yang tidak teratur)
Jika dilihat dari perspektif ekologi,proses panjang dalam sistem pengelolaan lahan darat di daerah Dayak sebagaimana digambarkan diatas tidak lain adalah perubahan dari hutan alam kehutan buatan. Tapi dalam proses itu sesungguhnya bukan hanya suksesi demi suksesi yang terjadi hingga hutan yang ditebang kandas kembali kewajah strukturnya semula. Campur tangan manusia membuat struktur itu menjadi perpaduan antara hutan (sebagai fenomena ekologis) dengan kegiatan pertanian (fenomena ekonomis),sehingga tampil bangunan baru yang disebut kompokng yang bersifat kompleks.
Perpaduan antara kedua hal itu kemudian kompokng sebagai sebuah kasus yang unik dalam sistem pengelolaan lahan hutan yang sepenuhnya diselengarakan berdasarkan pengetahuan dan pranata yang dikembangkan oleh komuniti lokal (indigenous forest management system).

MACAM MACAM AGROFORESTRY DI BERBAGAI DAERAH DI KALBAR

Pola-pola pengelolaan hutan yang termasuk katagori agroforestry oleh masyarakat adat sangat banyak jenis dan tipenya, antara suku-suku Dayak yang ada terdapat banyak kesamaan disamping perbedaan-perbedaannya.

1. Pulau

Pada suku Iban di Sungai Utik, dikenal sebutan pulau untuk sebuah kawasan hutan yang dienklave pada sehamparan areal perladangan atau sehamparan pola pengelolaan lainya. Dalam pulau ini tumbuh pohon-pohon yang bernilai tertentu dan tinggi bagi siempunya pulau. Di pulau inilah tersedia plasma nutfah bagi perkembangan regenerasi pohon-pohon di kawasan lainya.

2. Tanah Colap Torutn Pusaka
Tanah Colap arti harafiahnya adalah Tanah yang dingin, Tanah Torutn Pusaka arti harafiahnya adalah tanah perjanjian adat yang turun-temurun harus tetap di abadikan (pusaka). Dari makna kata-kata untuk penamaanya saja tersirat bahwa Kawasan ini ditumbuhi pepohonan yang lebat (hutan) sehingga iklim mikronya dingin dan ditempat ini tersimpan pusaka-pusaka berharga yang mesti di jaga anak cucu. Pusaka-pusaka yang dimaksud adalah pengetahuan religius tentang alam dan hutan itu sendiri. Tanah colap turunt pusaka ini dapat di jumpai di kampong-kampung masyarakat adat Dayak Simpang.

3. Bukit Nang Tingi
Sebutan ini sering di ungkapkan dalam upacara-upacara adat yaitu ketika imanm sedang mempersembahkan kurbannya. Kawasan ini berupa daerah pegunungan di ketinggian tertentu di mana semua pohon yang tumbuh dikawasan ini tidak boleh di tebang atau di rusak. Berladangpun tidak boleh di kawasan ini, contoh pola ini dapat dilihat diBukit Sayu di perbatasan tumabakng dan karabatn di kecamatan Sengah Temila, bukit sapatutn di binua Kaca, dan semua bukit yang ada di kampong-kampung yang teliti selalu hutanya terjaga. Alasan lain melestarikan kawasan ini karena di yakini bahwa Jubata/duata atau Tuhan berada tinggal di tenpat ini, jadi makna religiusnya sangat tinggi.

4. Kayu Nang Ayu’
Arti dari kata di atas adalah pohon besar, tetapi makna sesungguhnya dari sebutan itu adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi sebatang atau banyak pohon besar yang ditempat tersebut di yakini ada yang menunggunya/memilikinya. Tempat demikian memiliki makna religius yang tinggi bagi masyarakat adat. Posisi tumbuh pohon-pohon besar demikian sangat di sukai di bukit nang tingi, dan apabila tumbuhnya dikawasan dataran maka kawasan ini di keramatkan dan biasanya di situ di bangun tempat upacara adat.

5. Parokng/Dahas/Perio
Sebutan di atas berasal dari suku Kenayatn, jelai dan Krio, artinya adalah tempat tinggal sementara diluar pemukiman penduduk yang ramai, yang dialami untuk memilihara lading atau mengembangkan ternak-ternak tertentu. Lokasi pemukiman

demikian selalu berpindah-pindah mengikuti lokasi ladang yang dibuka. Khusus untuk Dayak Kanayatn, parokng ini sudah tidak banyak dijumpai lagi, saat ini kondisinya bergeser karena pertambahan penduduk yang cepat dan pola pertanian yang berubah dari ladang ke sawah. Saat ini ada kebiasaan yang di lakukan di kebun-kebun karet namanya Tampat Mako gatah, walaupun tidak sama maknanya dengan parokng, tetapi mungkin ini adalah bentuk adaptasi parokng zaman modern.
Untuk kampung Jelai dan Menyumbang tempat demikian banyak sekali di jumpai di seantero kawasan adat mereka, setiap keluarga paling sedikit memiliki 3 buah perio/dahas, dan kebanyakan rata-rata diatas 6 buah (lihat tabel). Pola demikian dapat mencerminkan bahwa kehidupan orang Dayak sangat dekat dengan hutan alam, dan interaksinya langsung antara keluarga yang bersangkutan dengan alam . Hal ini juga merupakan bukti bahwa orang Dayak itu sangat dekat dengan alam. Hal ini juga merupakan bukti bahwa orang Dayak itu pemberani,karena tidak takut tinghgal sendirian di hutan yang sangat jauh dari lokasi kampung. Lokasi terjauh sekitar 20 km sedangkan yang terdekat sekitar 6 km.

6.Kompokng/ panamukng
Di banyak daerah selalu ditemukan pola jenis ini. Kompokng / panamukng adalah sebuah kearifan tradisional pengelolaan hutan yang sudah sejak lama ada dan selalu hidup ditengah masyarakat. Kompokng selalu mengindikasikan sebuah lokasi yang di tumbuhi pepohonan yang pohonnya lebih besar dan lebih tinggi dari pohon lain di sekitarnya, sehingga kanopi kompokng selalu lebih tingi di banding kanopi sekitarnya.
Ada banyak jenis kompokng , umumnya didasarkan pada jenis pohon kelampai maka kompokng tersebut dinamai kompokng kelampai, dst. Kata kompokng lebih berkonotasi pohon-pohon besar dan tinggi, dan tidak dikaitkan dengan sejarah lokasi tersebut, sehingga kawasan tembawang juga di sebut kompokng. Perkedaanya dengan tembawang adalah kallau tembawang mengindikasikan ditempat tersebut beberapa waktu lalu terdapat permukiman penduduk, sedangkan kompokng lebih dilihat dari pohon-pohon yang tumbuh disitu tanpa melihat apakah dulu di situ ada pemukiman penduduk atau tidak.
Kompokng terkecil paling kurang terdiri dari 6 pohon besar dan tinggi yang tumbuh berkelompok, luasnya sekitar 0,5 Ha, sedangkan yang besar berkisar 6-9 Ha. Apa bila kawasan itu lebih luas lagi (kompokng melulu) maka kawasan itu disebut Udas Aya’. Berikut jenis-jenis kompokng: Kompokng Kelampai, Kompokng Angkabakng, Kompokng Duriatn, Kompokng Timawakng , Kompokng Angkahapm, Kompokng Buah, Kompokng Nangka, dll
Kompokng ini selalu tetap ada karena selalu di pelihara oleh yang empunya kompokng. Sistem kepemilikan umumnya keluarga tapi ada juga individu. Setiap kepala keluarga paling kurang, memiliki atau paling tidak memilihara 2 buah kompokng. Dalam kompokng ini biasanya juga ditanam pohon-pohon yang memiliki arti penting bagi pemiliknya. pohon-pohon bahan bangunan biasanya di pelihara sangat intensif di lokasi ini. Di kawasan-kawasan seperti ini kuburan, tempat-tempat keramat, hulu-hulu sungai biasanya selalu ada kompokngnya. Kompokng ini mengindikasikan sebuah keangkeran lokasi, selain pohon-pohon yang hidup di lokasi kompokng juga mahluk-mahluk halus, seperti jin. Kompokng yang hampir pasti jin adalah kompokng angkabakng, makanya dikompok ini anda tidak boleh kencing, bera dan bersiul. Burung-burung paling banyak dijumpai dikompokng-kompokng ini disamping hewan memanjat lainnya. Semua orang biasanya tahu kompokng-kompokng yang ada di wilayah kampokngnya.
Yang menarik buah-buah yang telah jatuh dari pohonnya dalam kompokng boleh diambil siapa saja yang sedang berada disitu. Ini artinya nenek moyang jaman dahulu telah merancang suatu sistem yang terbuka dalam pengelolaan kompokng.



7.Gupokng.
Gupokng merupakan hutan khusus bagi masyarakat adat Dayak kualan-kayu Bunga, di daerah kecamatan Simpang Hulu Ketapang tempat-tempat demikian berupa,sumber mata air,keramat,dan seterusnya yang dikelompokkan menjadi:
- Gupokng Bajakng.Kawasan terbatas yang ada disekitar pemukiman yang kurang subur atau yang kurang baik untuk usaha tani dijadikan tempat untuk membuang urek tamunek (tembunik) ataupun kotoran lain.
- Gupokng Ramu Rumah.Merupakan kawasan terbatas yang disiapkan sebagai tempat mencari baha-bahan untuk membuat rumah.Dapat merupakan milik pribadi kalau sudah dikelilingi bawas pribadi yang bersangkutan .Biasanya dipilih tempat yang memiliki kayu berkualitas dan kerapatan tinggi.
- Gupokng Buah . Terkadang terdapat aneka buah-buahan yang bermutu baik yang ditanami mau pun yang tumbuh secara alami.karena disayangi maka tidak dimusnahkan seperti apa adanya termasuk tumbuhan sekitarnya menjadi tempat yang tetap lestari.
- Gupokng Timawakng.merupakan kawasan terbatas sekitar lokasi pemukiman yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun dan banyak tanam bermanfaat,namun setelah pembuatan ladang untuk tahap selanjutnya lokasi tersebut dibiarkan menjadi tempat yang utuh.
- Gupokng Pasar (kuburan).Merupakan tempat yang di khusus untuk lokasi pemakaman (wakab).
- Gupokng botuh.merupakan kawasan terbatas yang dominan berbatu-batu dan tidak baik untuk lokasi usaha tani,maka tetap dibiarkan secara alami.
- Gupokng ngangkat inau.Biasa dilaksanakan acara ritual pengobatan terhadap orang sakit atau di rumah yang angker akibat pengaruh roh jahat.Roh tersebut dipindahkan pada suatu tempat khusus agar tidak mengganggu.Namun bila orang mengerjakan lokasi tersebut dapat sakit atau di ganggu roh yang di maksud.
- Gupokng onya kobis.Bila terjadi suatu kecelakaan di hutan dan menyebabkan seseorang warga meninggal disana,maka lokasi tersebut tidak boleh di gunakan untuk keperluan ladang atau pun kegiatan lainnya.
- Gupokng Gua dan Keramat.merupakan tempat yang di khususkan dan di pilihara sebagai tempat suci untuk memohon sesuatu kepada Sang Pencipta melalui kekuataan alam.
- Gupokng Berobat.Merupakan lokasi yang dikhususkan untuk berobat karena sudah dikenal khasiatnya ataupun suatu kawasan terbatas yang begitu kaya dengan berbagai bahan ramuan obat-obatan penting setempat yang harus dijaga jangan sampai musnah.

8. Timawakng
Timawakng adalah bentuk usaha usaha Agro-forestry yang benar-benar hidup ditengah masyarakat adat. Mulanya kawasan ini adalah tempat pemukiman penduduk, baik itu individu maupun yang berkelompok. Penamaan timawakng didasarkan atas latar belakang ini. Mengapa penduduk itu pindah ? Ada beberapa alasan yang ditemukan :
- Terjadi wabah penyakit: orang Dayak menganggap wabah penyakit adalah peringatan dari Tuhan, sehingga jika itu terjadi maka kampung tempat tinggal harus ditinggalkan. Hampir semua tembawang Pemukiman terjadi karena kasus ini. Perpindahan kampung karena kasus ini minimal melewati sebuah sungai besar dan sebuah gunung yang tinggi. Contoh temawakng Geruhung di Simpang. Penduduk kampung ini pindah ke Banjor-Karap (kembali) ke Bukang Selantak dank e Sekucing baru. Perpindahan ini terjadi tahun 1940-an.
- Rumah panjang terbakar. Kebakaran adalah hal yang paling sering terjadi pada rumah-rumah panjang Orang Dayak. Dan apabila itu terjadi maka rumah panjang yang baru harus tidak boleh disitu lagi. Perpindahan lokasi baru umumnya minimal berjarak 100 m dari lokasi semula.
- Pengaruh pembangunan jalan. di Sungai Utik Kapuas Hulu, Rumah panjang untuk pemukiman baru dibangun didekat jalan raya, sementara lokasi lama berjarak cukup jauh dari Jalan Raya. Dengan demikian kelak apabila pemukuman lama benar-benar telah ditinggalkan oleh semua penghuninya maka kawasan ini disebut tembawang.
- Pengaruh pusat pendidikan dan Gereja. Kampung Pendaun, mulanya adalah pemukiman yang kecil, sama kecilnya dengan hampir sepuluh pemukiman lainya yang tersebar diseluruh wilayah pendaun. Namun karena Gereja dan Sekolah di bangun dekat pendaun, maka pemukiman yang terpencar-pencar tadi menyatukan dirinya di pendaun. Jadilah Pendaun seperti sekarang. tapi yang terjadi kemudian dengan pemukiman lainya adalah telah berubah menjadi tembawang.
Apa yang bisa diambil sebagai makna dari tembawang adalah bahwa kawasan itu adalah bukti otentik dari kehadiran manusia disitu. Sejarah eksistensi suatu suku dapat ditelusuri dari tembawang ini. Apa yang bisa anda perbuat untuk kawasan demikian? Berdasarkan dat-data yang diperoleh maka dapat dikaji beberapa hal sebagai berikut:
- Nilai Kebersamaan Dari Timawakng.
Tidak ada rasa yang dapat menggantikan kegembiraan suatu keluarga dekat yang telah lama berjauhan tempat tinggalnya ketika mereka berkumpul dalam suasana gembira dengannilai apapun. Kegembiraan ini dirasakan masyarakat adat Kampung Pendaun ketika mereka ”Ngamuah” (mencari buah-buahan) dikampung buah dan disana bertemu dengan sanak pamili untuk tujuan yang sama. Pertemuan-pertemuan seperti ini berlangsung secara berkala setiap tiga tahun sekali, suatu jangka waktu yang cukup lama untuk menghumpilkan berbagai cerita kehidupan baik keberhasilan dan kegagalannya. Dari cerita mulut ke mulut dan dari hati ke hati membangkitkan rasa kedekatan dan kebersamaan diantara mereka dari berbagai kawasan adat disekitar kampung buah tersebut yang awalnya memang dari satu keluarga. Nilai itulah yang menjadi perekat kebersamaan suatu kawasan adat secara luas.
- Nilai Ekonomis Timawakng.
Jaman moderen ini ditandai dengan berharganya berbagai jenis komoditas baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun hasil tambang lainya. Berbagai jenis buah-buahan menjadi rebutan pasaran dengan nilai yang mengiurkan, dan kalau tidak ada lokasi khusus maka masyarakat marginal akan kesulitan. Namun dengan adanya Tamawangkh ini selain untuk keperluan sendii dapat pula sebagai penghasilan tambahan dan sebagaiharta karun dimasa sekarang maupun masa depan
- Nilai Historis Timawakng.
Tamawangkh merupakan bukti dari sejarah peradaban manusia Dayak. Sejarah khusus demikian di mulai dari nama, tanda-tanda dan proses sejarah keberadaanya secara turun temurun dan setiap tua-tua adat mengetahui kisah nyatanya dengan baik. Pengetahuan tersebut dapat melalui pengalaman nyata ataupun melalui cerita dari tua-tua secara turun-temurun sehingga keberadaan sejarah masyarakat adat suatu kawasan dapat ditelusuri secara rinci melalui tanda peninggalan yang dipadukan dengan pengetahuan masyarakat adatnya.
- Nilai Pelestarian Biodiversity.
Melihat banyaknya jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat adat pada suatu kawasan dapat dipahami bahwa setiap jenis tanaman hutan yang ada manfaatnya selalu dilakukan upaya budidaya lanjutan disekitar kawasan adat mereka. Cara-cara budidaya yang sederhana dari masyarakat adat tersebut sebetulnya telah melakukan upaya melestarikan tumbuhan berguna bagi kehidupan dan perkembangan umat manusia secara menyeluruh. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan pernyataan kalangan tertentu yang menganggap bahwa peladang itu memusnahkan plasma nutfah.


4. DESKRIPSI PRAKTEK AGROFORESTRY BERBASIS KOMUNITAS YANG BERHASIL DI KALBAR

4.1. KEBUN KARET (KABON GATAH)

Sejarah Kabon Gatah dari Binua Simpakng.
Menurut Molatnth 80 tahun, yaitu sekitar tahun 1910 tanaman karet mulai ditanam di senitibuh Sunghai kuta sekitar 5 Km kearah timur Balai berkuak. Sedangkan bijinya berasal dari Kek Tengker (Djanya) saudara ipar Kek Bamakng. kedua kakek tersebut bekerja dipabrik kayu yaitu di Teluk Dalam Pelanjau Panah (teluk dalam) tidak jauh dari muara sungai Kualan sekarang. Yang memiliki pabrik tersebut adalah Tuan Boget dari Inggris dan kerani (asisten) Tuan Ulip dari Jerman.
Ternyata sambil mengerjakan kayu pengusaha dari Eropa tersebut juga membawa biji tanaman karet dari Eropa (mungkin langsung diambil dari Brasil ataupun pulau lain yang sudah berbuah). Sekembalinya kedua kakek tersebut dari kerja diberikan tuan Boget masing-masing 5 biji karet. Itulah cikal bakal tanaman karet yang ada diSungi Kuta yang tersebar ke kampung sekitarnya pada saat sekarang ini.
Selain itu ada lagi bibit tanaman karet yang berasal dari Simpang Dua dan itu berasal dari Sukadana. Biji sebaran tersebut juga ditanam di Tempurau, Langkar. Saat sekarang ini kebun karet milik Kek Molatnth ada 6 bidang dimana rata-rata sebidangnya ada 300 batang tanaman produktif. Dari lahan yang dimiliki ternyata tanaman karet tersebut hanya sekitar 10 % bagian saja. Dengan kata lain 90 % merupakan bahan basah dan lahan kering sebagai persiapan untuk berladang secara berlanjut/berkesinambungan.
Menurut Poyot Asal tanaman karet dari Kek tengker dan Kek Grubak di Tempurau. Asal tanaman dari Simpang Dua dimana setiap Kas biji tanaman berisi 1000 biji seharga 1 ringgit. Sedangkan diPendaun yang paling awal menanam adalah Kek ’Tigas dan Kek Reben (seorang kakek asal Kapuas Hulu yang bekeluarga di Pendaun sampai akhir hayatnya). Asal bibit juga ada yang dari Simpang Dua.
Eksploitasi pada tanaman karet yang dilakukan rata-rata mencapai 8-15 Kg/hari yang dapat dilakukan tiap bidangnya. Tanaman karet di Pendaun menurut Sondam berasal dari Langkar yang didapat oleh Domong emarang yang berpangkat Ria (bapak Sondam), yang dibeli dari Sukadana yaitu seringgit segantang (sekitar 1000 biji). Penanaman lebih rinci lagi yaitu sekitar tahun 1907. Oleh pemerintah Belanda waktu itu setelah ditanam berumur 5 tahun baru adanya penyuluhan dari Belanda yang dikenal masyarakat dengan istilah KOPON (sejenis kertas Kupon) pemilikan tanaman karet. Setiap kopon dinilai oleh Belanda 15 rupiah selama 1 triwulan.

4.1.2.Sejarah kabon Gatah Sub Suku Dayak Kanayatn

Menurut Juheri dan Sumariono (1997) Pohon Gatah atau Karet atau Hevea brasiliensis yang dimiliki oleh orang Dayak Kanayatn, khususnya yang ditinggal diDesa Kuranyi Mancal, awalnya berasal dari zaman penjajahan Belanda. Pada zaman penjajahan Hindia Belanda, sekitar tahun 1930, pemerintah Belanda yang berkedudukan di Ngabang memerintahkan supaya rakyat di wilayah jajahannya khususnya di wilayah landak (Ngabang ) agar menanam karet, yang hasilnya dapat dijual kepada pemerintah Belanda. Zaman ini terkenal dengan sebutan zaman KOPON. Namun kebijaksanaan yang dicanangkan oleh pemerintah Hindia Belanda hanya berjalan sekitar 12 tahun. Pada tahun 1942 peta politik berubah yaitu pemerintah Hindia Belanda harus menyerahkan Indonesia ketangan pemerintahan militer Jepang. Dalam waktu yang cukup singkat itu, program perkebunan karet yang dianjurkan oleh pemerinta Hindia Belanda itu belum dapat dilakukan oleh masyarakat Dayak karena terbatasnya penyediaan bibit dan sulitnya.
Pada zaman pendudukan Jepang perkebunan karet tidak mendapat perhatian, bahkan hasil karet yang disadap oleh para petani tidak mempunyai pasaran. Baru pada waktu Jepang menyerahkan Indonesia kepada sekutu, pada saat itu Belanda kembali menguasai Indonesia, maka hasil sadapan karet mulai diperdagangkan.

Perkembangan Budidaya gatah
Sejak awal kemerdekaan sampai saat ini hasil karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang cukup besar bagi devisa negara. Sementara itu bagi orang Dayak, kebun karet merupakan salah satu bidang usaha yang utama selain berladang/bersawah. Dari hasil perkebunan karet itulah orang dayak dapat membiayai keperluan hidup: memenuhi kebutuhan sandang pangan bahkan hasil karet merupakan sumber utama bagi orang Dayak untuk membiayai pendidikan sampai ke perguruan tinggi. dari sebab itulah tidak ada alasan bagi masyarakat di Desa Kuranyi Mancal (sidas Daya, Lintah, Tangkal, sanyang, Kuranyi Mancal, Kelawit dan Rorongan) untuk memusnahkan kebun karet dan kemudian menggantinya dengan tanaman perkebunan lain. Namun yang menjadi kesedihan masyarakat adalah karena harga pasaran karet selalu dipermainkan dan masyarakat tidak mengetahui harga yang sebenarnya.


GULA AREN DI SEBANGKI DAN SENGAH TEMILA

Gunung Semahung yang terletak di Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Menyimpan potensi tanaman Aren atau enau (Arenga pinnata). Sebagian besar penduduk yang tinggal di kawasan tersebut bekerja sebagai petani Aren dan lainnya. Pohon aren (Enau), jika dilihat dari segi ekonomi dapat meningkatkan pendapatan penduduk disekitarnya; dari segi kelestarian lingkungan, pohon aren dapat tumbuh bersama tanaman lainnya dan menjadi sumber resapan air.
Petani aren selama ini masih mengandalkan tanaman aren yang tumbuh liar (tanpa budidaya), sedangkan permintaan akan produk-produk dari tanaman aren cukup banyak. Apabila tidak diimbangi dengan kegiatan pengembangan maka populasi tanaman aren akan mengalami penurunan dengan cepat. Karena hampir semua bagian fisik pohon mempunyai mamfaat baik itu untuk di konsumsi sendiri maupun dijual, seperti: akar (obat tradisional dan peralatan), batang (untuk berbagai peralatan dan bangunan), daun muda atau janur (untuk pembungkus atau pengganti kertas rokok), buah aren muda (kolang kaling sebagai bahan pelengkap minuman dan makanan), air nira (gula merah atau cuka), umbut dari pohon yang masih kecil dan muda dapat diolah untuk menjadi sayur; ijuk dan lidinya dapat dijadikan bahan penyapu.
Nira aren segar dapat menyembuhkan: Tuberkulosis paru, dysentry, wasir dan juga memperlancar buang air besar, disamping itu juga dapat mengobati sariawan. Gula merah yang terbuat dari nira hasil pohon aren lebih unggul dari gula pasir. Dari segi aroma gula aren jauh lebih tajam dan manis. Kandung gizi yang terdapat dalam gula merah aren adalah 1) Kalori, 2) Karbohidrat, 3) Kalsium, 4) Fosfor, 5) Besi, 6) Air. (Sunanto, . 2000:46)
Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Semahung, tidak banyak yang mengkonsumsi gula pasir. Gula pasir apabila diukur berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat relatif mahal, namun dengan adanya gula aren kebutuhan gula masyarakat bisa teratasi. penduduk dapat menggunakan gula aren untuk minuman dan membuat berbagai jenis makanan tambahan. Untuk itu Pohon Aren mendapat tempat yang khusus bagi masyarakat di dua kecamatan ini, usaha ini perlu terus dikelola dan dimanfaatkan, agar tetap berkelanjutan guna meningkatkan taraf hidup penduduk.

Ada beberapa pertimbangan tentang usaha ini:
- dapat meningkatkan produksi gula aren, dengan demikian dapat mengimbangi kebutuhan gula pasir yang relatif mahal harganya.
- Pohon aren salah satu jenis tanaman yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal.
Kegunaan pohon aren selain diambil airnya untuk diolah menjadi gula, buahnya juga dapat digunakan sebagai makanan tambahan (kolang-kaling), ijuk dan lidinya dapat digunakan untuk bahan baku penyapu dan lainnya.
- Dapat melibatkan ibu-ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah untuk mengolah buah aren dijadikan bahan makanan dan penyapu untuk dijual.
- Pohon Aren tumbuh dikawasan pegunungan yang dapat menyangga kawasan, agar hutan primer yang ada tetap lestari.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka model agroforestry aren sangat penting karena selain dapat meningkatkan pendapatan penduduk juga meningkatkan kualitas ekosistem hutan beserta isinya. Untuk itu sistem ini perlu didukung dengan penyadaran masyarakat/penduduk, dalam pemanfaatan dan budidaya tanaman aren, serta mengkonsumsi gula aren itu baik untuk kesehatan dan murah, karena dalam pembuatannya tanpa bahan pengawet serta unsur kimia.

KOMPOKNG DURIAN DI NANGKA- MENJALIN

Diperkirakan kompokng durian yang ada di kampung Nangka telah ada sejak 300an tahun yang lalu. Lokasi kompokng yang terluas di daerah gunung Sapatutn yang menurut cerita informan dulunya adalah pemukiman penduduk. Menurut cerita, orang Nangka dulunya berasal dari Babah Are’. Di Babah Are’, sekitar 15 KK pernah tinggal guna menghindari serangan musuh dari tanah Banyuke. Waktu itu masih berlangsung masa Kayau, jadi mereka takut dan tinggal di Bukit. Setelah masa kayau berakhir, perlahan mereka turun bukit dan menempati areal baru bernama Tumiang. Di Tumiang, telah hidup sekitar 8 KK penduduk yang dipimpin oleh Nek Danggol. Ini dapat kita ketahui dari nama-nama pohon durian di Tumiang, yang kini ditunggu oleh cucu-cucu dari 8 KK ini. dari Tumiang, kemudian mereka bermigrasi lagi dan tinggal di hutan-hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon Nangka ( cempedak ).
Dikampung ini juga terdapat 5 buah keramat yang diyakini mampu melindungi segenap kampung. 3 dari 5 tempat keramat ini terdapat di daerah kebun durian. Sebagaimana diketahui bahwa di keramat ini juga, penduduk memohon kepada pencipta agar mendapat hasil pertanian yang melimpah. Keramat-keramat itu adalah Pantulak Nek Danggol, Batu Diri Nek Siru, Bukit Kanyet, Sampuatn Ipuh dan Paburungan.
Kabon durian di Nangka saat ini, jika musim berbuah tiba telah menjadi sumber pendapatan tunai bagi penduduk. Pasaran buah durian berprospek baik, sehingga kompokng durian telah menjadi primadona bagi penduduk.


ANCAMAN TERHADAP SISTEM AGROFORESTRY

1. HPH DAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pada tahun 1960-an, perusahaan perkayuan mulai masuk untuk mengeksploitasi hutan Kalimantan, dimana orang Dayak tinggal dan hidup. Melalui pola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) , ratusan perusahaan beroperasi tanpa henti, paling tidak hingga akhir tahun 2000 lalu. Pada awal tahun 200, muncul pola baru bernama Hak Pemungutan Hasil Hutan 100 Ha ( HPHH 100 Ha ), yang izinnya melalui Bupati/Walikota berbentuk Koperasi. Namun pola ini ternyata hanyalah kamuflase dari pola HPH yang telah habis masa konsesinya pada akhir tahun 1999. Seiring dengan habisnya masa konsesi perusahaan, maka pihak perusahaan kayu pada akhir tahun 1990-an, memanfaatkan penduduk setempat untuk melakukan penebangan kayu secara besar-besaran diseluruh kampung orang Dayak. Polanya adalah dengan memanfaatkan pedagang-pedagang local yang diberi sedikit modal, akibatnya ratusan tembawang dan kompokng ( hutan buah ) dimana ribuan pohon tengkawang rusak dan hilang. Kini sangat sedikit sekali kampung yang mampu mempertahankan hutan tembawang dan kompokngnya dari terjangan mesin-mesin chain saw.
Pada tahun 1980, sebuah perusahaan bernama Perusahaan Negara Perkebunan ( PNP ) VII yang sekarang beralih nama menjadi PTPN XIII membuka areal hutan seluas 14.000 Ha untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Ngabang Kab. Pontianak ( Kini Kab. Landak ). Areal perkebunan ini semakin diperluas menyusul dukungan dari Pemda Kalbar dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No.8/1994 tentang prioritas pembangunan sector pertanian subsektor perkebunan. Kebijakan ini kemudian diperkuat lagi dengan dihasilkannya Peraturan Daerah No. 1/1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ( RTRWP ) Kalbar. Dalam RTRWP itu disebutkan bahwa seluas 5.257.700 Ha lahan akan disediakan untuk perluasan perkebunan. Sampai Desember 2000, pemanfaatan lahan untuk perkebunan di Kalbar telah mencapai 3.560.251 Ha ( 68 % dari 5,2 juta lahan yang dicadangkan ). Kebijakan Pemda Kalbar tersebut sebagai upaya untuk menggantikan komoditas eksport kayu yang sejak tahun 1990-an makin menurun produksinya.
Menurut data Dinas Perkebunan Kalbar tahun 1998, sampai akhir tahun 1998, terdapat 17 buah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Landak. Lihat table 1. Dari beberapa perusahaan yang beroperasi itu, ada beberapa perusahaan yang hengkang dari arealnya, seperti PT Mukti Swadaya Lestari (PT. MSL ) yang hanya meninggalkan hutan gundul tanpa ada kebun sawit. Ada juga PT. Kembayan Subur Agro ( PT.KSA ) yang kebun sawitnya terlantarkan. Ada juga PT. Pan Agro Subur ( PT. PAS ) yang menelantarkan arealnya dan hanya meninggalkan hutan gundul tanpa ada sawit.
Pada Agustus 1997, ratusan warga kampung Keranji Birah Kec. Sengah Temila mendemo bascamp PT Agro Mask arena menggusur tanah adat seluas 300 Ha tanpa izin masyarakat. Demo itu berhasil membuat perusahaan menghentikan operasinya. Pada bulan Mei 1999, ribuan warga kampung Pak Upat Kec. Sengah Temila melakukan aksi turun jalan menyusul dibabatnya ratusan hektar tanah adat. Perusahaan akhirnya dihukum adat dan menghentikan juga operasinya .
Table 1



Perusahaan Kelapa Sawit Yang Beroperasi di Kabupaten Landak Hingga Tahun 1998.


















Sumber : Disbun Kalbar, 1998.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Landak 2001-2010, 733,841,18 Ha atau 74,06 % dari luas kabupaten diperuntukan untuk kawasan budidaya dengan perincian sebagai berikut : 533,216,38 Ha atau 53,81 % untuk Pertanian Lahan Kering ( PLK ), 125,304,02 Ha atau 12,65 % untuk Hutan Produksi Biasa ( HPB ), 26,308,72 Ha atau 2,66 % untuk Hutan Produksi Konversi ( HPK ), 22,309,43 Ha atau 1,75 % untuk Hutan Produksi Terbatas ( HPT ), 17,309,43 Ha atau 1,75 % untuk Hutan Tanaman Industri ( HTI ), 3,683,52 Ha atau 0,57 % untuk Pusat Pengembangan Kota ( PPK ), dan 3,467,15 Ha atau 0,35 % untuk Pertanian Lahan Basah ( PLB ).
Adanya arahan pengembangan kawasan budidaya untuk perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari kuatnya arus kapitalisme global yang berkembang di Kabupaten Landak. Secara geografis, wilayah Kabupaten Landak menjadi jalur internasional yakni menghubungkan Kota Pontianak dengan Kuching ( Malaysia Timur ). Karena itu, tidak heran di Kota Ngabang, saat ini marak sekali barang-barang luar negeri. Barang-barang ini sangat mudah didapat dengan harga yang terjangkau. Melihat pesatnya arus barang dan uang, maka semakin banyak investor yang masuk didaerah ini diyakini dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ). Kondisi diatas berbanding terbalik dengan situasi dan kondisi masyarakat pedesaan yang masih sangat memprihatinkan. Karena terisolasi jauh dipedalaman, komunikasi dan informasi menjadi terhambat. Arus barang dan uang begitu lemah, sehingga tidak heran ratusan desa jauh dibawah angka kemiskinan.
Memasuki tahun 2004, areal perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalbar mulai terbatas dan akan habis masa konsesinya. Akibatnya, kondisi perusahaan besar boleh dibilang carut marut karena produksi semakin terbatas dan lahan yang tersedia semakin habis masa produktifnya. Untuk mengatasi itu, beberapa perusahaan besar mengangkat tokoh-tokoh orang Dayak menjadi pemimpin perusahaan serta memfasilitasi berdirinya beberapa perusahaan perkebunan yang dipimpin orang Dayak dengan modal perusahaan-perusahaan besar. Melalui orang Dayak yang diangkat menjadi pemimpin perusahaan, dikenalkanlah pola baru perkebunan kelapa sawit dengan nama KEBUN SAWIT KELUARGA ( KSK ). Agar program baru ini berhasil ditingkat masyarakat, para pemimpin perusahaan bersama mantan pejabat, politisi dan pengusaha orang Dayak mendirikan sebuah organisasi bernama Konsorsium Urakng Diri’ ( KUD ). Melalui KUD inilah perusahaan berjalan keseluruh pelosok kampung dan mengajak masyarakat untuk bertanam sawit. Pasca masuknya KUD disetiap kampung, masyarakat menjadi terpecah dalam 2 kubu, satu kelompok menolak dan kelompok lainnya menerima. Perpecahan ini dibeberapa kampung hampir saja menyulut konflik terbuka. Masyarakat yang menerima telah menjadi lupa segalanya. Demikian pula tokoh-tokoh masyarakat local yang hanya diam dan tak mampu berbuat apa-apa.
Menyikapi itu, beberapa orang pemuda Dayak dari berbagai organisasi pada tanggal 15 Nopember 2004 telah melakukan demo, agar ekspansi perkebunan kelapa sawit melalui pola KSK terbatas dan lenyap sama sekali dibumi Landak.


2. KAPITALISME GLOBAL

Sulit dipungkiri bahwa yang bercokol di jagat ini adalah kuatnya pengaruh kapitalisme Global. Globalisasi telah mengakselerasi secara intensif dan ekstensif. Sebuah homogenisasi pemikiran .Gosovic menyebutnya sebagai global intellectual hegemony. Sekelompok kecil elit yang memiliki sumber daya, jangkauan dan kekuasaan tak terbatas telah mempengaruhi jagat. Seakan dalam dunia yang sangat majemuk ini, tak ada pilihan lain, deregulasi, liberalisasi dan privatisasi, dianggap "one fits all". Wacana-wacana seperti pemerataan, kemandirian, land reform, eksploitasi, kedaulatan bangsa, dianggap kuno dan tidak releven.
Kapitalisme global yang filosofinya anti pembangunan berkelanjutan yang dipercaya akan mempercepat pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, justru menunjukan watak yang sebenarnya sekarang. Kesenangan, tak pelak merupakan momok mengerikan abad ini.Noam Chomsky memperkirakan 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi, setara dengan 60% penduduk dengan pendapatan terendah atau sejumlah 3 milyar manusia. Penelitian Brecher dan Smith bahkan lebih mengejutkan, menurut mereka kekayaan dari 3 orang terkaya di dunia, lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin atau seperempat jumlah total Negara di dunia. Curamnya kesenjangan itu, diwarnai pula oleh lautan pengganguran sekitar 1 milyar manusia sementara bagi para buruh yang telah bekerja, upah mereka tetap saja tak kunjung membaik, bahkan dengan melajunya waktu, ujar Susan George, upah mereka makin menurun. Lebih dari 50 tahun lalu, melalui The Great Transformation.
Karl Polanyi sebenarnya telah mengingatkan runyamnya keadaan, bila ekonomi hanya mengandalkan mekanisme pasar, kompetisi di dewa-dewakan menjadi etos (virtue), sementara yang lain diyakini hanya menjadi baik karena kelanjutannya diatur "invisible hand". Agaknya evolusi Darwinisme, survival of the fittest, benar-benar akan terjadi. yang lebih kuat karena memiliki kekayaan, pendidikan tinggi, serta kekuasaan, akan semakin berjaya. Sementara bagi yang lemah, miskin, dan pendidikannya rendah, dibiarkan gemetar kelaparan, mengigil dan menggeletukkan gigi di pinggir jalan atau lorong-lorong musim dingin.
Kontrasnya kesenjangan, rusaknya lingkungan, membeludaknya pengangguran dan meledaknya kemiskinan, merupakan buah yang harus ditanggung. Perdagangan bebas menuntut dienyahkannya berbagai restriksi, halangan, pajak maupun tarif, sehingga menyebabkan kompetisi yang ketat. Akibatnya Negara dipaksa untuk menurunkan upah buruh, memotong pajak, dan mengabaikan konservasi lingkungan. Yang dapat berkah dari perdagangan bebas ini tentu saja adalah para pemodal, terutama multi national corporations (MNC). Sementara itu, yang setengah mati adalah para pekerja. Agar tetap bekerja, mereka harus merelakan diberi puah yang rendah, sebab para calon pekerja yang lain telah berjubel antri, siap menggantikan.



4. Sepuluh Pandangan Umum Tentang Perladangan di Indonesia

Bagian ini diambil dari model tulisan Carol J. Prierce Colfer, dkk, dalam buku peladang berpindah di Indonesia perusak atau pengelola hutan? Istilah ladang berpindah saya ganti dengan ladang saja, lalu argumen, saya sesuaikan dengan konteks Kalimantan Barat. Para pembuat kebijakan yang mencoba untuk merancang kebijakan yang bersifat adil dan bermanfaat untuk masyarakat secara berkesinambungan, dalam pembuatan suatu keputusan tentang penggunaan hutan dan kegiatan perladangan dihadapkan dengan banyak informasi dan cara pandang yang tidak masuk akal. Beberapa konsep yang dianggap menyimpang dari pernyataan yang senantiasa timbul mengenai perladangan adalah sebagai berikut :

Pandangan # 1
” Penebangan hutan dilakukan oleh peladang yang beranak pinak dengan kecepatan yang luar biasa ”.

Dari data yang diperoleh di kampung Palades Betung, dapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, penduduknya hanya bertambah 2 % saja, atau 0,2 % petahunnya. Pertambahan penduduk yang kecil ini hampir merata disemua kampung di Kalimantan Barat. Jelas bahwa pandangan diatas sangat tidak masuk akal.

Pandangan # 2
” Peladang tidak ubahnya seperti pengembara yang senantiasa berpindah-pindah”.

Beberapa lembaga, termasuk lembaga penulis sudah memetakan lebih dari 263 kampung dengan total luas 1,135,415.89 Ha di Kalimantan Barat (7,58 % dari total wilayah Kalbar), dari peta-peta tersebut dapat disimpulkan bahwa kawasan perladangan itu bersifat tetap, hanya cara pengelolaannya saja yang bergilir dari waktu kewaktu dan dari satu lahan ke lahan yang lain. Dapat dikemukakan pula bahwa setiap keluarga dalam satu kampung memiliki kawasan-kawasan perladangan yang tertentu pula dan tidak akan membuka ladang pada arealnya orang lain. Jadi anggapan yang mengatakan bahwa berladang itu semuanya berpindah-pindah adalah tidak benar.

Pandangan # 3
” Peladang Merusak Tanah, yang tertinggal hanya padang rumput”.

Kami meneliti bahwa, walaupun didalam suku yang sama, kegiatan perladangan berbeda dari satu tempat ketempat lain. Daerah yang paling lestari ada dikampung-kampung yang tidak dirambahi HPH, dimana hampir tidak ada hutan tua yang ditebang. Ada beberapa faktor (seperti: berkurangnya lahan pada daerah yang padat penduduknya; peluang terhadap pasar, saprodi dan pendidikan; dan kesadaran masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tentang perlindungan alam) yang mendorong masyarakat ke arah diversifikasi sistem mereka, termasuk mengembangkan usaha perkebunan skala kecil, membuat ladang lebih kecil, dan mempunyai anak lebih sedikit. Kesuburan tanah perladangan sangat ditentukan oleh masa bera dari lahan ladang itu sendiri.

Pandangan # 4
” Diantara para peladang, para wanitanya adalah pihak yang paling dirugikan”.

Sebenarnya status tinggi yang dimiliki oleh wanita Dayak telah banyak ditulis dalam buku-buku antropologi; dan tidak terkecuali dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Suatu hal yang penting yang mendasari tingginya status adalah keterlibatan para wanita secara aktif dalam kegiatan produktif. Secara menyeluruh, keterlibatan wanita dalam kegiatan produktif dikaitkan dengan rendahnya angka kelahiran. Hal ini dalam pandangan kami, suatu faktor yang termasuk penting yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan penduduk (yang sangat diinginkan dari segi pengelolaan hutan dan lingkungan) yang diketemukan di perkampungan ini.

Pandangan # 5
” Perladangan merupakan kegiatan dengan penggunaan lahan yang tidak efektif”.

Kegiatan perladangan biasanya berkembang pada areal yang kaya akan lahan dan kekurangan tenaga kerja, dimana petani harus berusaha lebih keras untuk meningkatkan produktivitas tenaga ja manusia lebih banyak daripada mengintensifkan produksi lahan perunit. Bagaimana juga kegiatan perladangan adalah satu sistem yang meliputi bermacam-macam produk lain yang biasanya diabaikan dalam usaha penaksiran produktifitas. Setelah menebang hutan untuk ladang padi, hutan kembali tumbuh, mereka menanam tanaman lainya, memeliharanya, atau sekedar mengambil hasilnya sesuai dengan tingkat perkembangan tanaman tersebut. Termasuk berbagi jenis tanaman pangan, binatang, tanman, buah-buahan, tanaman obat-abatan, kayu dan hasil hutan non-kayu untuk dijual dan untuk keperluan rumah tangga. Baru kami sadari, bahwa sebagian masa Bera mempunyai fungsi ekologi yang penting dalam melestarikan kesuburan tanah dan kualitas serta ketersediaan air, dan juga mengurangi rumput, hama dan masalah penyakit (lihat Mackie 1986; Whitmore 1990).

Pandangan #6
” Yang kita butuhkan untuk menjadikan lahan menguntungkan adalah merubah masyarakat ini menjadi menetap”.

Suatu temuan yang penting dalam studi longitudinal ini adalah resiko yang terjadi dalam mengejar hasil pertanian dilahan-lahan seperti ini. Stabilitas dari berbagai sistem yang tergantung secara keseluruhan pada tanaman pangan adalah hal yang sangat perlu dipertanyakan. Panjang dan pendeknya musim kemarau, banjir, serangan hama baik besar maupun kecil, penyakit tanaman maupun manusia, merupakan gangguan yang tidak habis-habisanya terhadap usaha-usaha patani dilahan padai mereka. Peladang ini telah mengembangkan satu sistem yang beraneka ragam yang mengandalkan pada berbagai tahap regenerasi hutan dan kekayaan sungai untuk meningkatkan stabilitas sistem mereka dengan melengkapi usaha perladangan yang untung-untungan tetapi penting untuk menghasilkan beras. Masyarakat ini terus merubah dan mengadaptasi sistem mereka, sebagai tanggapan terhadap perubahan keadaan luar. Suatu nilai kultural yang kuat untuk selalu bekerjasama juga berfungsi mengurangi pengaruh kegagalan panen tanaman yang biasa terjadi terhadap masing-masing keluarga.

Pandangan # 7
” Peladang adalah orang ”primitif”, melawan arus perubahan dan perlu diberi peradaban ”.

Kami menemukan hal yang sangat bertentangan, para peladang ini mudah menyesuaikan dan terbuka perubahan. Mereka telah mengadaptasi jenis-jenis tanaman baru, sama juga usaha pengontrolan kelahiran, uang, mesin-mesin penggilingan padi, mesin chainsaw, motor tempel, dan gerobak dorong, saat semuanya dikenalkan. Mereka juga memiliki pengetahuan yang luas tentang hutan tropis dilingkungan mereka yang dapat dijadikan dasar untuk studi ilmiah lebih lanjut (lihat : Clay 1988, Colfer 1988, Leaman 1991, Werner 1991, untuk penemuan yang sama) . Kewajaran dari suatu sistem (dinilai dari segi apakah barang-barang dan sumber –sumber dibagikan secara merata diantara populasi) telah diidentifikasi sebagai suatu tujuan dalam pengembangan agroekosistem, dan juga dapat dilihat sebagai suatu tujuan dari ’peradapan’. Walaupun ditemukan beberapa perbedaan dalam produktivitas padi pada setiap keluarga antara golongan bangsawan dan orang awan, barang-barang umumnya dibagikan secara merata diantara penduduk suku Dayak diempat lokasi.

Pandangan # 8
” Kegiatan Penebangan kayu, ditambah dengan perusakan oleh kebakaran tahun 1993, mengurangi hasil usaha pertanian di Kalimantan Timur”.

Kompleksitas sebab dan akibat yang saling terjalin menghalangi adanya komentar definitif ditulisan ini. Meskipun demikian berdasarkan data yang kami peoleh baik usaha penebangan kayu gelondongan maupun kebakaran hutan tidak mempengaruhi produktifitas padi yang berarti dalamm waktu jangka panjang di Sebangki. Kenyataannya, peroduktifitas padi mungkin saja lebih tinggi dilahan yang hutannya baru saja ditebang dan setelah pembakaran. Akibat paling buruk dari usaha penebangan kayu gelondongan dan pembakaran hutan berhubungan dengan pengaruhnya terhadap biodiversity.

Pandangan # 9
” Lahan yang berasal dari hutan rimba yang ditebang adalah ladang tersubur bagi kegunaan pertanian”.

Kami menemukan bahwa lahan yang berasal dari dibukanya hutan sekunder bahkan memberikan hasil yang lebih tinggi dari jenis hutan lainnya (hutan rimba, belukar muda, dan bekas ladang pada tahun sebelumnya). Temuan ini juga bertentangan dengan kearifan masyarakat Dayak sendiri. Kami menemukan bahwa,walaupun petani yang berasal dari pulau yang lain merasa mendapatkan keuntungan dari program transmigrasi, petani setempat yang mengikuti program secara umum tidak merasakan bahwa mereka sendiri diuntungkan. Mereka juga mempunyai anak lebih banyak dan menebang hutan dalam jumlah besar setiap tahunnya dibandingkan dengan saat mereka masih ditempat asal mereka.

Pandangan # 10
” Program transmigrasi meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menstransfer strategi pertanian yang baik dari masyarakat Jawa, sehingga membawa pembangunan bagi penduduk Indonesia di luar Jawa”.

Penduduk tranmigrasi, tidak mengajarkan metode pertanian mereka kepada penduduk lokal, bahkan sebaliknya menerapkan kegiatan perladangan sebagi satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan untuk tetap hidup. Arus berpindahnya ribuan penduduk keareal yang tidak atau yang sedikit sesuai dengan usaha pertanian yang menetap secara keseluruhan akan memberikan pengaruh yang merugikan pada penduduk asli, dan akhirnya, juga pada pendatang baru. Beberapa pandangan diatas kemungkinan berlaku dibeberapa tempat lain, tetapi karena ternyata tidak cocok diantara masyarakat dan konteks yang dipelajari disini sebaiknya dibuang sebagai kesimpulan umum. Kebijakan kebijakan sebaiknya tidak didasari atas pandangan-pandangan seperti ini tanpa terlebih dahulu mengkaji dan menilai kondisi setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, Syarif Ibrahim,1994, ” Mesianis Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat “ dalam: Paulus Florus, Stefanus Djuweng, John Bamba ( Editor ), Kebudyaan Dayak : Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta, PT. Grasindo.
-----------------------------,,1993 Budaya dan Tradisi Kalimantan Barat,Makalah Cemamah disampaikan kepada Pejabat Teras Polda Kalbar dalam Rangka pelantikan Perwira Polri di Lingkungan Polda Kalbar,Pontianak.

Atok, Kristianus, 2000, Pertanian asli berbasis Komunitas di Kalimantan Barat.Belum publikasi, Pontianak.
Atok, Kristianus, 2005, Pemetaan Partisipatif, sejarah, perkembangan dan permasalahannya, Belum publikasi Yayasan Pangingu Binua, Pontianak
Atok, Kristianus, 2005, Interaksi orang Dayak dan orang Madura di Kecamatan Sebangki, Draft tesis S2, Belum publikasi , Pontianak
Arkanudin, 2005, Disertasi, Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Program Pasca sarjana universitas Padjajaran, Bandung.
Carol J. Prierce Colfer, dkk,1998, Peladang berpindah di Indonesia perusak atau pengelola hutan?
Dove, Michael R, 1994, Transition from native forest Rubbers to ‘Hevea brasiliensis’ (Euphorbiaceae) among tribal smallholders in Borneo, Honolulu, East-West Center Reprints Environment Series No.21.
Kessing, Roger M, 1989, Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, edisi Terjemahan, Erlangga, Jakarta.
Mary, Fabienne, 1987, Agroforest et societes Analyse socio-economique de systemes agroforestiere Indonesiens, Montpelliere; Economie et Sociologie Rurales.





Read More..

FOREST - DWELLER DEMOGRAPHICS IN WEST KALIMANTAN, INDONESIA


By Kristianus Atok and Jeff Fox

Abstract
The Government of Indonesia has good data on forest cover and good data on the human population, but it does not have good data on the size of the population in the forest. The objective of this study was to assess the extent of this deficiency and to develop a methodology for overcoming it --based on field research in the province of West Kalimantan. The project retrieved and combined government data on forest and people, analyzed their significance in terms of numbers of forest-dwelling people, and compared these results with government estimates and an empirical field-check. The product of the project is a methodology for a larger-scale study.

Introduction
Indonesia can be divided into two major areas: “Inner Indonesia” (Java, Madura and Bali) and “Outer Indonesia” (Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, West Irian, and the remaining Sunda islands). The Outer Islands account for 38 percent of the nation’s population, 93 percent of its land mass, and 98 percent of its forest; 78 percent of the land mass of these islands is classified state-forest lands.


The forests contain some of the most biologically rich ecosystems in the world, encompass more than half of the rain forest remaining in tropical Asia, and their current exploitation for timber, non-timber products, and shifting-cultivation makes a major contribution to the Indonesian economy.


Despite the importance of this forest resource, however, little is known about how many people live in the forest. Because accurate demographic data are vital to the formation and implementation of forest manage policies, this project sought to demonstrate a methodology for using census and other data collected by the Government of Indonesia to determine the number of people living on state-owned lands.

In 1985 the Indonesian Department of Forest estimated that about 1.2 million swidden agriculturalists, approximately six million people , were using an area of 9.3 to 11 million hectares of forest lands. A study funded by British ODA estimated that as of 1991 there were 1,199,970 families of swidden agriculturalists (about 24 million people) were using 35.4 million hectares of forest land. Likewise Poffenberger estimated approximately 30 to 40 million people living in and near 143 million hectares of forest lands in the Outer Islands.

Confusion regarding the number of forest dwellers exists at local level as well. In Bulungan District, East Kalimantan, for example, a research team from Gajah Mada University estimated a population density of 148 people per square kilometer. Whatever the correct figures, it is clear that there are serious problems with the government’s official estimate of the forest population.

In Indonesia the total forest area is about 143 million ha or approximately 74 % of the total land mass. The Indonesian Department of Forest classifies this land as protection forest (30 million ha), nature reserves (19 million ha), limited production forests (31 million ha), permanent production forest (33 million ha), and conversion forest (19 million ha).

In West Kalimantan, total forest cover is 9.2 million hectares or 63% of the land mass in the province. And the human population is 1992 was approximately 3,410,100 people. Logging concessions have rights to approximately 74 percent of this land or 47 percent of the land mass (Alqadrie, 1992). At the least, government plans for use over such a large extent of the land mass can be expected to conflict with, and thus be opposed by, those of the local population. The lack of data on forest-dwelling populations ensures that development planning for both the human population and the natural resource will continually be disrupted be the unexamined nexus between them. This project sought to use existing data sources to shed light on this dilemma.

Methods
This project sought to determine the official boundaries of state forests for the province of West Kalimantan, determine if census data collected by provincial, kabupaten (regency) or kecamatan (district) governments can be combined with forest department data on boundaries to determine--within the accuracy of the data set--how many people live in these areas; and finally conduct an empirical field-count of several samples sites in order to assess the accuracy of official estimates (e.g. from local governments.)

The field study was conducted in Sengah Temila District, Pontianak Regency, and Simpang Hulu District, Ketapang Regency (Figure 1).

These districts were chosen because they were small enough to contain a manageable number of settlements, yet large enough to possess ecological, land use and other kinds of diversity. More importantly, Sengah Temila district was chosen as representative of heavily populated districts close to the provincial capital. Simpang Hulu district, on the other hand, was chosen as representative of rural district with low population densities. Several hamlets within each of these districts were surveyed to determine current populations. These data were compared to census data collected from regency and district level governments. The villages in each district were then located on the 1:50,000 maps. Finally, forest department maps of these areas were located and a geographic information system (GIS) database built to store, maintain and analyze village location, and state-claimed forest cover in a spatial format.

For the purpose of the population survey, members of a household were considered to be all people living in the household, whether they were present or absent during the survey. Members of a household who were absent for six months or more were not counted. Visitors, even those living in the house for more than six months, were also not included. The population survey used government census forms and all households in a village were surveyed in the same month.

Two sets of forest cover maps were acquired. The first were the Indonesian Forest Department forest-planning maps, i.e. TGHK at 1:500,000 scale. The second were the maps developed by the Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProt) (1:250,000;1990). While the RePPProt maps are generally considered to be the most accurate (Sirait 1995), they are not officially recognized by the Indonesian Forest Department. The study also acquired 1: 50,000 topographic maps of the surveyed districts.

Results
Accuracy of government population statistics

At the provincial level village level population statistics have been collected for three regencies,(i.e. Pontianak, Sambas, and Sanggau). An analysis of these data (see Table 1) indicate that approximately 9 percent of the population of these three regencies live on state-claimed forest lands. We still have, however, a number of gaps in the database including both areas for which we have not yet acquired maps showing the village locations, and villages named in the census data which we cannot find in the maps.

Table 2 shows the results of the population surveys for the two villages (eight hamlets in Saham village, and 4 hamlets in Mekaraya village). The results show that the government’s population data is highly consistent with the population data of the survey. This means that for the purpose of this analysis we still use population data from the Office of Statistics (Kantor Statistik) at either the regency or provincial level.

Table 2. Comparison of government data and population survey

Village Hamlet Government Data
July 1994 Survey Data
August 1994
Saham 3,075 3,097
Saham 439 496
Bingge 423 427
Palanyo 291 294
Po’ok 152 154
Nangka 486 489
Kase 318 318
Pate 377 379
Padakng 535 540
Mekaraya 1,651 1,672
Banjur-Karab 438 445
Merangin 411 417
Baya 259 261
Kembera 543 549


Forest dweller demographics
Sengah Temila District, Pontianak Regency
The district of Sengah Temila (Figure 1) comprises one of the 19 districts in the Pontianak Regency. According to the 1990 census, the population of the district was 59,115 people, of this we estimate approximately 47, 622 are Dayak Kanayatn (81%), the indigenous people of the area. Sengah Temila is the fourth most populous district in the regency.

Figure 2 shows Sengah Temila District, the location of its 96 hamlets, and state-claimed forests. Based on the official forest planning map of the Indonesian Forest Department (TGHK), 44 hamlets are located on state forests, and within 2 kilometers of state forests are located another 20 hamlets. The population of people living on forest lands in this district is approximately 15,295 people, and 22,243 people live either on forest lands or within 2 kilometers of forest lands.Thus approximately 38% of the population of the district lives on or within 2 kilometers of state forests. Forest-dweller density is approximately 36 people per square kilometer, the same as the average for the entire district. The density of people living in or within a 2 kilometers of the forest is approximately 53 people per square kilometer (greater than the average for entire regency).


Simpang Hulu, Ketapang Regency
The district of Simpang Hulu (Figure 1.) comprises one of 14 districts in the regency. According to the 1990 census, the population of the district was 23,943 (Kantor Statistik Kal-Bar 1991 b) people. The district is comprised of 3,338 square kilometers for an average population density of 7 people per square kilometer. The TGHK maps indicate that the entire district (100%) is covered by state-claimed forests. The population of forest dwellers is thus 100% of the district population, 24,600 people in September 1994 (Kantor Statistik Kec. Simpang Hulu).

Methodology for a larger-scale study
The methodology developed in this project is based on several conclusions. First, we concluded from a small sample of hamlets where we conducted population census counts, that government populations counts are accurate at the hamlet and village levels. This means that we can use government census statistics as accurate representations of human population. In addition we found that census statistics are collected at the village level and that these data are compiled and published at the regency level (e.g. Penduduk Kabupaten Sanggau: Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Penduduk 1990 published by the Kantor Statistik Kabupaten Sanggau, Sanggau, West Kalimantan). We can use these statistics to identify the number of people living in each village in the province.

Second, we demonstrated that the 1:50,000 scale topographical maps of West Kalimantan (Bakosurtanal) correctly identify the name and location of the villages listed in the village level population census reports. We conclude that we can use these maps to determine the location of most villages in the province.

Third, we demonstrated that the Indonesian Forest Department forest -planning maps (TGHK) and the RePPProt maps show similar lands as state-claimed forests throughout the province. We can use either set of maps as base maps for delineating state-claimed forests. Because the RePPProt maps , are at larger scale (1:250,000 as opposed to 1:500,000), and include regency boundaries, we feel the make better maps.

Finally, the project demonstrated that GIS technology can be used to integrate the data from these various sources. Using GIS we can develop maps that show the location and population of villages throughout the province, and we can integrate these population maps with state-claimed forest cover maps. In this manner we can develop a database for estimating with a high degree of accuracy the number of people who live on state-claimed forests in the province of West Kalimantan.

Whether we can use this methodology in other provinces is not yet known. Most likely, both the sources of data and their accuracy will vary by province. Thus it may be necessary to develop methods for estimating forest-dweller populations on a province-by province basis.

Conclusion
This project demonstrated that in a highly populated district close to the provincial capital the population density on state-claimed forests was approximately 36 people per square kilometer (see Table 3). In a sparsely populated district completed covered with state-claimed forests population density was approximately 7 people per square kilometer. We hypothesize that the average population density on state-claimed forest lands in West Kalimantan lies somewhere between these two figures. If only 11 people per square kilometer live on state-claimed forests, then approximately 1,000,000 people (30% of the province’s population) lives on state-claimed forests.

These results clearly have policy significance for the Indonesia Forest Department in that they enhance the department’s ability to estimate the number of forest dwellers on lands that it manages. These results also have policy significance for the Census Bureau in that they indicate that their data can be used for estimating forest dweller populations. Finally, these results have policy significance policy-making throughout Asia in that they shed new light on the problematic of forest-dweller demographics.


Table 3: Population density of forest dwellers on state-claimed forest lands--various studies

Area People/kilometer2

Sengah Temila District (densely populated area ) 36
Simpang Hulu District (sparsely populated area) 7

Villages mapped in this study
Bukang (432 people/33km2, Simpang Hulu district) 13
Selantak (126 people/13 km2, Simpang Hulu district) 10
Sekucing (126 people/13km2, Simpang Hulu district) 1
Sidas Daya (337 people/10.7 km2, Sengah Temila district) 31

SFDP Sanggau Regency (17,000 people/1000km2) 17





Read More..