Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

MENGENAL LEBIH JAUH SUKU DAYAK SALAKO

Sabtu, 15 Maret 2008

DRAFT AWAL DARI STUDI KASUS DI SASAK –INDONESIA DAN LUNDU- SARAWAK

by : Kristianus Atok

Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya
Orang Dayak adalah penduduk asli (indigenous people) pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid (Coomans,1987) yang kini tidak ada lagi, serta ras Australoid (Mackinnon,1996). Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM. Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990).
Secara harafiah, kata “Dayak” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama kolektif bagi banyak kelompok suku di Kalimantan atau Borneo. Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990)

Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an (Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993; sellato,1989; Rousseau,1990). Selain itu, dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga dihadapkan dengan beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum adat, Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928) mengklasifikasikan suku Dayak kedalam enam subsuku besar yang disebutnya stammenras, yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu; (2)Ot danum; (3)Iban; (4)murut; (5)kleamantan; dan (6)punan .

Lain halnya dengan W.Stohr (“Das Totenritual der Dajak”,dalam etnologia,Koln:1959) yang membagi suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu (1)kenyah-kenyah-bahau, (2)Ot danum (Ot danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan); (3)Iban; (4)Murut (dusun,murut, kalabit ; (5) klemantan (klemantan,Dayak Darat ); dan(6) punan. Sedangkan Hudson(1967)membagi suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam mubyarto,dkk.1991;31-32).

Sellato (1989) mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok besar,yaitu (1)orang melayu; (2)orang iban ; (3)kelompok baito(Ot-danum, siang, murung, luangan, ma’anyan, benuag, bentian, dan tunjung); (4)kelompok Barat; (5)kelompok timur laut; (6)kelompok Kenyan dan kenyah yang tinggal di Kalimantan timur dan pedalaman serawak; (7)kelompok utara tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan, seperti orang kelabit,lun Dayeh,lun bawang dan murut bukit, orang kajang, Berawang,dan melanau di sebelah barat Kalimantan. Dalam kelompok ini,hanya orang kelabit dan lun dayeh yang bersawah; dan(8)suku penan (bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di Kalimantan (Singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon dkk.,1996:356-363;sellato,1989). Klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan alasan-alasan (1)aliran sungai; (2)geografis,etnografis, dan budaya material; (3)bahasa yaitu bahasa austronesia, bahasa Filipina, bahasa melayu, bahasa di sulawesi selatan, dan bahasa madagaskar; (4)cara dan tempat penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).

Dalam teori antropologi dan hukum adat, metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas, telah di lakukan oleh beberapa ahli sejak lama. Misalnya,pertama-tama adalah van vollenhoven (1918)yang menciptakan konsep “daerah hukum adat”(recbtskring). Menurutnya, di Indonesia terdapat 19 daerah hukum adat, dan salah satunya adalah Kalimantan atau borneo. Kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area” .selanjutnya , J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963), Hildred Geesrtz (komunitas budaya),dan Koentjaraningrat (1971). Akhirnya, Ave (1970) yang memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu (1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan teknologi. Ketiganya disebut mode of production (Marzali,1997:141-147).


Rekonstruksi Kedatangan Nenek Moyang Salako

Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat barangkali ada yang memasuki muara suangai Sambas dan Salako. Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim di kaki bukit Senujuh dikawasan sungai Sambas besar. Di kawasan ini sekitar tahun 1291 berdiri kerajaan Sambas (Ahmad dan Zaini, 1989) dengan rajanya tanpa bergelar Sultan dan rakyatnya masih menganut agama tradisional dan Hindu.
Menurut Simon Takdir (2007) Kelompok Austronesia yang bermukim di kaki bukit Senujuh ini, karena jumlahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukkan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang ke daerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayotn atau raro dengan ragam-ragan bahasa mereka yaitu bakati’ ba nyam, dan ba nyadu’. Para penutur dari ketiga ragam ini masih saling mengerti ketika mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing (mutual intelligibillity). Walaupun pembauran telah terjadi, ciri-ciri budaya dari keduanya masih tampak.misalnya, budaya Austronesia pada suku ini adalah menganyau, tinggal di batang, dan sebagainya. Budaya Austronesia masih tetap dominan karena adanya kontak budaya dengan kelompok Austronesia lainnya. Warisan Weddoide yang masih bertahan adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman suku Kanoyotn ini selalu di atas, atau di hulu pemukiman kelompok Austronesia, namun tidak begitu jauh letaknya. Pada umumnya dibatasi oleh sungai, bukit atau rimba. Bagaimanapun juga suku ini masih keturunan dari Austronesia.
Selanjutnya Simon Takdir mengatakan bahwa Kelompok Austronesia yang lain yang jumlahnya lebih besar memasuki muara sungai Salako (Saako). Di Salako ini ada bukit yang namanya Sarinokng (bhs. Melayu: Selindung). Mereka memilih bukit Sarinokng dan Pulo Nangko sebagai tempat bermukim mereka. Pada waktu itu dibukit Sarinokng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang.. Sarinokng yang dulu berada di pantai kini berada jauh daripantai. Sarinokng ini selanjutnya disebut Salako Tuho (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Mudo’.
Nama Salako itu sendiri mungkin berasal dari Saak Ako. Konon disana dulu banyak anjing hutan yang besar yang disebut asu’ ako. Masyarakat sering mendengar salaknya baik siang maupun malam. Karena anjing hutan ini mengganggu kehidupan masyarakat, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Orang Austronesia ini tidak mau makan anjing.

Orang Austronesia menganggap anjing adalah binatang sial. Alam supernatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan anjing sebab badannya sudah kotor. Kesempatan menjaditukang belian, pamarani atau orang sakti hilang jika yang bersangkutan makan daging binatang itu. Selain itu, arwah orang meninggal yang hendak menuju Subayotn harus melalui tujuh pararangan, yaitu titi bajoo, titi bagoro’, tajur manimang, padokng maabo (banyak anjing besar dan ganas), nangko rayo (puai’ elo), bea gamokng (pasar tempat orang berjudi, Subayotn (tempat jiwa orang baik yang sudah meninggal). Orang Austronesia ini percaya bahwa orang yang suka makan daging anjing jiwanya akan dikejar dan disiksa oleh anjing-anjing di Padokng Maabo ini. Karena itu ketika masih di dunia keturunan Dayak Saalko dilarang memakan daging anjing. Orang Salako yang memakan daging anjing sekarang ini telah mereka kontak dengan suku-suku indonesia lainnya seperti Cina, Batak, Ambon, Manado, Dayak Kanayatn dan sebagainya.
Kawasan anjing hutan yang biasa menyalak itu selanjutnya disebut Saako (ucapan bhs. Saako pada umumnya menghilangkan fonem : /I/ dalam Sa(l)ako). Nama ini selanjutnya digunakan untuk menyebut nama wilayah, nama sungai, nama suku, dan nama bahasa penduduk yang mendiaminya.


PENYEBARAN DAYAK SALAKO

Dayak Salako diyakini berasal dari daerah Aliran Sungai Selako (sekarang nama Kecamatan di Kabupaten sambas). Keyakinan ini selain berasal dari penelitian Simon Takdir (2006) , juga dari hasil wawancara penulis dengan sejumlah informan baik yang berasal dari Sasak, Biawak (Malaysia), Lundu dan Paon. Semua informan dengan tegas mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Sarinokng (muara sungai Selako). Tempat ini sekarang dikenal sebagai Selakau Tua. Bukti adanya pemukiman di daerah Sarinokng ini diperoleh dari cerita lisan yang selalu disampaikan oleh cerita oranng tua secara turun-temurun. Selain itu disekitar daerah ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu[1] yang sudah tidak terurus, pecah-pecahan keramik yang tersebar dilokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat. Tambahan pula, dilokasi bukit Sarinokng ini ditemukan sebuah Nekara[2] pada bulan Mei 1991 yang kini di simpan di Museum Negri Pontianak. Mckinnon (1991) menyatakan bahwa:
“finds of sherds of coarse ‘prehistoric’ paddlemarked and basket-impressed earthenware in and around an area of white sand at the foot of bukit selindung maybe an indication of an early settlement in the area, though not necessarily one with any connection with drums-the criteria for such a settlement site would appear to be met-an area of firm dry land upstream from the coast but with riverine access to the sea, with a source of potable water (the stream from the hill) and at one time abundance of building materials and food resources-estuarine fish, shell fish and other equatic life.”

Menurut Simon Takdir (2006,…) Setelah beberapa lama tinggal di Sarinokng dan Pulo Nangko, beberapa orang dari mereka berusaha pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, atas kemauan sendiri karena lokasi ladang yang sudah terbatas, ada juga yang karena konflik dalam komunitas hasil pengaruh luar. Sejumlah informan di lokasi ini mengatakan bahwa orang Dayak tinggal disini sekitar 6-7 generasi . Hal ini diperkuat dengan adanya keramat dilokasi ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang.
Dari Sarinokng ini ada kelompok yang pindah ke Pemangkat. Kelompok ini dipimpin oleh Ne’ Mangkat. Menurut cerita Pemangkat berasal dari nama pemimpin kelompok ini . kelompok inilah yang pertama kali membuka daerah pemangkat sekarang . Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah dengan menulusuri sungai Sabangko hingga ke daerah yang sekarang disebut Paranyo (dalam bahasa Melayu: Pelanjau).Mereka mendirikan bantang (Rumah panjang) mereka di sini. Kelompok lainnya mudik ke hulu melalui sungai Bantanan, mereka berdiam di Tabing Daya (17 km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar dengan mudik lagi di Kuta lama ( dekat pasar Galing sekarang), selanjutnya ada yang mudik lagi ke Jaranang (sungai ano sekarang), terus mudik lagi di Bapantang Batu Itapm, di Batu Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang . Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24 kampung dengan populasi 9558 jiwa (JKKP, Desember 2007). Umumnya informan di Biawak, Rukapm dan Paon yang penulis wawancarai mengetahui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Indonesia tepatnya Batu Itapm di Kecamatan Sajingan Besar sekarang . Di Malaysia, Dayak Salako dimasukan ke dalam rumpun Dayak Bidayuh.
Di setiap tempat yang didiami, paling kurang nenek moyang orang Selako tinggal sekitar 3 sampai 4 generasi sebelum ada yang bermigrasi . Penulis juga memiliki keyakinan bahwa generasi yang bertahan di Sarinokng, Tabing Daya dan Kuta Lama telah memeluk agama Islam dan menyebut dirinya Malayu. Keyakinan penulis ini berasal dari temuan bahwa sejumlah informan tua (70an tahun) didaerah ini walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang Darat (Dayak red), bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat (Dayak red).
Beberapa kelompok pindah lagi dengan menelusuri hulu sungai Salako.Ada yang menelusuri sungai Sangokng dan naik di Nek Balo, terus ke Nek Date’Potekng, ajintotn, ango, Pakunan, Samarek, Pasi dan seterusnya. Namun ada juga yang naik di Bariakak dan terus ke Sahowo’Bagak, Pasar, Sanorekng, Ranto, Sakong dan sebagainya. Orang Saopo asalnya orang Bagak.
Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawokng Abo’ dan pindah ke Puaje. Orang Bantang Sahowo’ pernah pindah ke Puaje. Perjalanan menelusuri sungai Selako yang berhulu di Bukit Bawokng (gunung Bawang) telah mengatur kelompok orang Dayak Salako yang lain ke Lao, daerah Serukam. dari sini menyebar ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya.
Wilayah lainya adalah Garantukng Sakawokng (Puaje,Pasar/Pak Kucing, Sanorekng, Pareto’/Saopo, Bagaksahowo, Nyarongkop/Ne’Usur/Kamar, Potekng/ Pajintotn, dan Paranyo).dan Sango Sakawokng (Sango, Gare, Pakunam, Pasi, Sakong, Ranto) . Batas Garantukng sakawokng dan Sango Sakawokng adalah Pentek (Tirtayasa). batas Garantukng Sakawokng dengan Sawak Hilir adalah kampung Puaje (jembatan dekat simpang Monterado).
Ada kelompok lain lagi yang berasal dari Lao pindah hingga Pakana (Karangan). ini nenek Moyang orang Salako yang menurut mereka yang berbahasa ba’ahe dan banana’. Selanjutnya terjadi penyebaran ke berbagai wilayah di kabupaten Pontianak dan Landak dengan berbagai macam isolek (dialek dalam bahasa sarumpun).
Mereka yang berdiam di Pakana sekarang umumnya beragama Islam tetapi masih menyebut diri mereka Dayak dan mereka masih mempraktekan budaya Dayak. Bahkan beberapa diantaranya ada yang memelihara babi walaupun sudah tidak memakannya lagi. Diyakini bahwa di pakana ini pada masa lalu ada semacam pusat pemerintahan dengan penduduk yang cukup ramai. Disini terjadi infiltrasi pengajaran agama islam, mereka yang menerima agama islam tetap bertahan tetapi yang tidak menerima memilih pergi migrasi ketempat-tempat lainnya. Selain itu di Pakana inilah diyakini pula sebagai puncak migrasi orang dayak Selako yang dikemudian hari suku ini berkembang kedalam berbagai dialeg bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa dialeg orang selako meliputi badameo, ba-ahe, ba-jare, ba-nana’ ba-ngape.
Tentang perubahan dialeg bahasa ini, kemungkinan disebabkan oleh adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah. Bennett (1976;247) melihat bahwa adaptasi merupakan perilaku responsive manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata system-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun sosial (Alland, Jr, 1975; Alland, Jr dan McCay, 1973; Moran, 1982, 1983).
Sebagai suatu proses mengatasi suatu perubahan, hal ini dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu, strategi adaptasi merupakan suatu system interaksi yang terus-menerus antara manusia serta antara manusia dengan ekosistemnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 76-77; Abdoellah, 1997:51-53).

Menurut McElroy dan Townsend (1989), kemampuan suatu kategori individu untuk beradaptasi mempunyai nilai dan makna bagi kelangsungan hidupnya. Semakin besar kemampuan adaptasi makhluk hidup, semakin besar pula kelangsungan hidup makhluk tersebut. Sejalan dengan pandangan ini, Sahlins (1968) berpendapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana suatu kategori individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya. Oleh karena itu, baik Sahlins maupun Anderson (1973) berpendapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang berkesinambungan dan tidak akan pernah berakhir dengan kesempurnaan. Jadi adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia selalu berubah (Hardesty, 1977 via Abdoellah, 1997).

Berdasarkan konsep adaptasi ini, hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya harus bersifat sirkuler. Artinya, tingkah laku manusia (kebudayaan) dapat mengubah suatu lingkungan, dan sebaliknya lingkungan yang berubah itu memerlukan adaptasi yang selalu di dapat diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 75-76). Oleh karena itu, adalah relevan apa yang dikatakan oleh Alland Jr (1975: 70), yaitu bahwa to combine the study of bebavioral adaptation as human ecology (external adaptation) with the investigation of mental structures (internal adaptation) and their manifestation in actual behavioral system. Inilah yang disebut ekologi structural di mana ada interaksi antara mind, behavior, and ecological adaptation (1975:59).

Sementara itu, para pengikut posibilisme kebudayaan berpandangan bahwa lingkungan selalu bersifat memberi kemungkinan dan pembatasan-pembatasan bagi terbentuknya suatu bentuk kebudayaan tertentu sebagai akibat dari proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam ataupun lingkungan social budayanya (bdk. Sahlins, 1968). Pandangan ini merupakan reaksi terhadap determinisme kebudayaan (bdk. Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Penganut determinisme lingkungan dan paradigma positivisme linear berpandangan bahwa lingkungan menjadi penentu kebudayaan manusia (bdk. F. Barth, 1968; Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Sedangkan positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, dimanipulasi, dan digeneralisasi sehingga gejala didepan bisa diprediksikan.

Penulis yang ba-ahe dapat menggunakan bahasa ba-ahe dengan informan di Biawak, Paon dan Rukapm daerah Lundu Malaysia yang berdialeg badameo. Komunikasi kami dapat saling dimengerti dalam 90 persen, dengan ditambah bahasa melayu standar, kami dapat berkomunikasi intens dengan baik.


Agama Tradisional dan Adat.

Adat yang mencakup pengertian religi , norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat Dayak Salako dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.
Masyarakat ini dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya – Religi Neolitikum – yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dala interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983).[3] mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka – baik dan jahat – selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.
Religi – berasal dari bahasa Inggris relogion dengan akar kata bahasa latin yaitu Religare – berarti menyatukan (to bind together) tanpa memiliki pengertian Wahyu dan Kitab Suci (Johnstones : 1975) karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak Selako disebut adat. Hal ini dapat dilihat dari doa dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):

“Bukotnnyo unang i-mantabok i-marompokng adat aturan anyian, io inurunan ampet i ne’ Unte’ i kaimantotn, ne’ ancino i Tanyukng Bungo, ne’ Sarukng i sampuro, ne’ Rapek i sampero’, ne’ Sai i sabako’, ne’ ramotn i saa’u, ne’ ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak parucu’e make io dah tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.”
(terjeahan bebas: bukanlah adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai Sapero’, Nek Sai di bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).[4]

Dalam adat (religi tradisional) ini terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini. Religi tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak Selako: buis bantotn) – misalnya posisi ayam kurban, jenis daun ritual – dan tempat-tempat mitis dari setiap desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981).
World-view (pandangan dunia) masyarakat horticultural Dayak Salako memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn.[5] Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.
Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya, udara, air, dan zat lainnya dalam dirinya (Sudarminta : 2006). Manusia merupakan mikrokosmos (bagian dari dalam sistem kehidupan (kosmos) ini (Priyono : 1993). Setiap unsur dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai dan fungsinya yang saling mendukung dalam satu kesatuan untuk mencapai suau tujuan,kehidupan yang harmonis dan seimbang.
Sikap manusia dalam korelasinya bersama unsur-unsur lain dalam sistem kehidupan itu menentukan kehidupan manusia bersama lingkungannya, baik secara individu maupun komunitas. Sikap manusia yang mau menghargai, menghormati dan bersahabt dengan alam akan memberikan permusuhan dan kesengsaraan bagi manusia memisahkan diri dan beroposisi dengan alam.

Mitos Kematian

Pemahaman masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam didasarkan atas adanya korelasi tersebut. Korelasi ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987).[6] Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.
Beberapa contoh bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yangberkolerasi dalam sistem itu diuraikan disini. Pertama, kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (taino) serta sengat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00 hingga 12.00.[7] tanda
Ini diartikan bahwa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu bahwa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.
Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang terakhir (ngooh), pada malam sebelumnya suara riuh rendah dari mahluk malam di rimba terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa dialami oleh mereka yang menunggu durian atau berburu pada malam hari (nereng). Orang menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut kedatangan manusia yang akan menyatu kembali dengannya.
Tidak ada kebiasaan membersihkan dan menyembahyangi dalam kehidupan masyarakat Dayak Salako. Pohon-pohon dan semak dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan. Masyarakat takut untuk membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan menyakitinya. Ketika jenasah itu dikubur atau dibakar (dikremasi), selanjutnya orang tidak pernah mengenali dimana letak kuburan manusia yang meninggal itu. Dia dikubur tanpa nisan.
Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak Salako berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan alam karena dia sesungguhnya berasal dari alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang sudah momo’ (meninggal dunia) itu sesungguhnya telah kembali ke binuo (tempat) asalnya. Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Darwin : 2002).
Kedua, manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak biasa. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan diluar rumah. Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus Kulikng Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan pelangkahan dari para rasi akan nek Baruang kulup.[8] kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos maniamas yang melanggar suara rasi dari kijokng (kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.
“Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng (tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”
Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah,
Hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di beri sesajian dalam bentuk Patek. Doanya sebagai berikut.

(patek diambil dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa)
“Au’ unang nyian patek tampi paribaso si ane’ (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi’ kito’am badamo Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito’ an dingaso’an dingarap, ingampioh am batimang. Ame kito’ batimang jawi’, batimang jaji ka manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn, jaji ka banir buoh. Kurrra’ patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di atas kurban)”

(Terjemahan bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu (sebut nama si pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung jawa. Bungkikik burung matan. Kalian yang diharapkan untuk menimang segala mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia beranak pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon buah-buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi ini).

MEMAHAMI ALAM LINGKUNGAN

Beberapa contoh pernyataan nyata manusia sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap alam terlihat dalam hal-hal yang berikut. Pertama, ketika alam mengalami musibah misalnya, tanoh rantak (tanah longsor), pembangunan berskala besar, perbuatan berjinah dan pembunuhan manusia-manusia membuat upacara ritual besar dan lengkap. Upacara ritual seperti ini disebut ngadati ai’ tanoh, paayo paansar, tumpuk tampat kediaman (mengadati air dan tanah, wilayah kerja untuk mendapatkan rejeki, tempat tinggal) ritual ini merupakan tanda komunikasi dari manusia agar hubungan antara manusia dan alam yang telah rusak itu dipulihkan kembali. Tanah yang longsor, tanah yang rusak, tanah yang kotor karena perbuatan manusia dipahami sebagai alam yang “sakit”. Kondisi alam seperti itu merupakan tanggungjawab manusia sebagai “tetangga alam” untuk memulihkannya. Ini semua dilakukan agar kekotoran dan kerusakan alam tidak berlarit-larut sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia. Sebagai sebuah sistem, ketika salah satu unsur mengalami kerusakan, maka unsur-unsur yang lain secara otomatis tidak dapat berfunfsi dengan baik.
Selanjutnya lahan yang digarap untuk bercocok tanam harus “diobati” karena lahan tersebut dianggapmenderita. Melalui persembahan yang disebut petak (kamoh di dalam cangkir manusia “mengobati alam”, yakni dengan menyampaikan penghargaan, sikap hormat dan bersahabat atas pengorbanan lahan yang telah digunakan mereka untuk mendapatkan rejeki kehidupan sehingga korelasi itu kembali normal, dan kelak kemudian hari manusia dengan mudah mendapatkan rezeki dari setiap lahan yang digarapnya.[9]
Dalam upacara ritual itu lahan ladang dan sawah yang meliputi tanah, mahluk hidup yang ada di atasnya, dan semua jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput (rumput ratai), pohon besar dan kecil (kayu kayan), serta rotan dan tumbuhan merambat (ui bararotn) lainnya, yang ditebas, ditebang dan kemudian dibakar-disapa melalui doa dan diberi sesajian oleh manusia agar jangan sampai “mereka” marah berkepanjangan, dan dendam sehingga “mereka” menyiksa dan menyengsarakan manusia yang hidup dari berladang dan bercocok tanam. Petikan doanya adalah sebagai berikut:
(cara memberikan sesajian patek tengah (tangoh) ini sama dengan patek tampi).
“Au’ anyian patek tangoh mirikngio’ tanoh, rumput ratai, kayu kayan, ui bararotn an dimangas, dinabokng, dinunu, dimumputn, ame sampe kito’ bero, ngaapat, ngaraju’, antas nyikso nyangsaro manusio am baumo batahutn, bacocok tanam. Au’ kito bujokng Pabaras, Manyang Pabawar, kito’ an dingarap, ingaso’, ingampioh, urokng an jajokng pantas painyuokng, ngantato’ pirikng si Anu (sebut nama yang melaksanakan ritual) mirikngi’ kito’. Ampar bide, tutukng pulito’ pao’ canang babagi baongko’ ka paranak ucu’ kito’. (Lambungkan patek itu di atas kurban sambil berkata: Kurrra’ patek tangoh).”[10]
Adanya korelasi dalam sistem ini masyarakat Dayak Salako memahami bahwa alam selalu siap membantu kehidupan ”teman”-nya manusia disetiap saat. Bahkan alam akan memberikan bantuannya ketika manusia menghadapi kesulitan yang paling berbahaya, misalnya perang suku. Manusia Dayak selalu meminta alam melalui upacara ritualnya memberikan kebaikannya agar membantu dan melindunginya dalam menghadapi lawannya.

Budaya

Praktik religius dalam upacara ritual suku ini merupakan bentuk usaha manusia dalam membangun relasi yang baik dengan unsur-unsur yang non-manusia agar keseimbangan dan keharmonisan dalam sistem kehidupan tetap berlangsung. Usaha itu dapat kita saksikan dalam bentuk doa dan kurban yang tidak hanya ditujukan kepada para Jubato (dewa), awo pama (arwah para leluhur) dan roh-roh lainnya (hantu, setan, iblis), namun juga terhadap segala bentuk organisme (hewan, tumbuhan) dan non-organisme (misalnya besi, karat besi/tagar, petir, dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit) dalam kehidupannya.[11]
Seperti agama mototheis – agama kristen katolik Roma – upacara ritual dalam religi tradisional ini (politheis) memiliki dua unsur yang nyata dalam prakteknya, yaitu doa (bhs. Dayak Salako: sampado, sampokng, bamang) dan kurban persembahan (buis bantotn). Doa merupakan bentuk komunikasi nyata dari manusia dengan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki kekuatan seperti manusia, bahkan lebih, dalam sistem kehidupan ini.
Kurban persembahan – dari hasil karya yang terbaik – merupakan bentuk paribaso (sikap hormat dan bersahabat) dari manusia terhadap unsur-unsur lain dalam sistem kehidupannya. Melalui kurban ini manusia tidak hanya menanamkan budi baiknya, tetapi juga untuk memenangkan unsur-unsur non-manusia yang marah atas perbuatan manusia yang salah sehingga hubungan yang rusak dapat dinarmalkan kembali.
Berkomunikasi (doa) dengan alam yang tidak disertai dengan paribaso dalam religi tradisional masyarakat Dayak Salako adalah sengko’ (timpang), dan ini amai’ (tabu) dilaksanakan. Mengapa alam sebagai sahabat harus ada paribaso, sebagai wujud nyata dari rasa hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya sesuatu yang melengkapi komunikasi itu (sesuatu yang diberikan) dikatakan berkomunikasi dengan ai’ iur bari’ (air liur basi), artinya hanya omong kosong saja. Bentuk paribaso yang paling sederhana sebagai pelengkap komunikasi itu adalah antek (selembar sirih yang sudah diolesi kapur, irisan pinang dan gambir serta rokok daun dan tembakau).
Perilaku ini terbawa dalam interaksi antar manusia Dayak dalam kehidupannya ketika mengunjungi kerabat atau temannya. Seseorang biasanya akan membawa oleh-oleh berupa kueh – walaupun sederhana namun bermakna – untuk anak-anak keluarga yang dikunjunginya dengan tujuan untuk menbina ikatan ekosional yang kuat antara kedua belah pihak.
Melalui upacara ritualnya (doa dan kurba) manusia mengundang semua unsur-unsur non-manusia itu untuk hadir, mendengarkan permohonan manusia, dan menikmati kurban persembahan yang telah disiapkan untuk mereka. ”Mereka” – menurut pemahaman masyarakat Dayak Selako menikmati persembahan kurban itu dari aroma (sau)-nya saja. Sebaliknya, manusia menerima berkat berupa rejeki, kesehatan dan keselamatan dari ”mereka” dengan menikmati kuran persembahan itu. Manusia meakan ”sisa” makanan yang mengandung berkat ”mereka”. Manusia mendahulukan ”mereka” menikmati kurban persembahan yang masih utuh dan sebalikny manusia memakan ”sisa” dari ”mereka” dalam upacara ritual itu menandakan bahwa manusia bersikap hormat dan bersahabat dengan alam. Hal itu dapat dilihat dari petikan doa penutup ritual (ngangkat buis) yang diucapkan oleh panyangohotn (imam):
”Au’ nyian unang buke’nyo barapat, baraju’. Maabotn dan rinso, sampo’ dah masak, kito’pun dah ako makotn sau’e, makotn kukuse, makotn baue. Nyian unang si Ane’ (sebut nama keluarga pemilik kurban persembahan) dah makatnno’ siso’, makatnno’ labih, katepokng sampo’, kaimpapu kito’. Kade’nyo se makotn, jaji daging, jaji amak, jaji manse , jaji sajuk, jaji dingin, jaji sedo,jaji sanang, jaji baruntukng batuoh barajaki ka manusio, ka piarootn, ka padi baras ka lawokng karamigi, ka umo k pathunan. Io ngangkat buis bntatn ne nyian ampo ngangkat sumangat padi, sumangat uang, sumangat taro, sumangat amas perak. Angkat ka pucuk, angkat ka atas, angkat untuknge angkat tuhe.
So, duo, tau, ampat, imo, anam, tujuh, Kurrra’ sumangat buis bantotn lowokng karamigi si Ane’ (sebut nama sipemilik kurban, dan upacara ritual selesai).”

(terjemahan bebas: Ini bukanlah kami marah ataupun merajuk. Segala-galanya sudah sempurna dan kalian sudah selesai bersantap. Kini saatnya bagi si Anu (sebut nama pemilik kurban) akan menerima berkat kalian dari sisa-sisa santapan kalian. Semoga sisa santapan ini menjadi berkat rejeki, kesehatan dan kesehatan bagi keluarga yang menyamtapnya).

Dalam riyual ini secara kohesi manusia alam diikat dan dipererat. Kohesi itu selalu diperbaharui dan dipertegas dalam setiap upacara ritual – misalnya, dalam, upacara ritual padi Nurutni’ dan Ngabayotn.

Praktek agama tradisional berupa persembahan (Nyangahotn) terdiri dari tumpi’poe’, apar, buis, pabayo, pantak, soor (salor), dan tempat-tempat pemujaan penting mereka adalah bukit Bawakng, Nek Bancino Tanyukng Bungo (bukit sungai Raya/Pasir Panjang ). Seorang informan di Biawak mengatakan bahwa dia pernah nyangahotn di Bengakayang sekitar tahun 1998 yang lalu. Informan lain di paon (Malaysia) mengatakan bahwa apabila dia nyangahotn maka jubata yang dipanggil adalah yang dari Bukit Bawakng, Bancina tanjung Bunga dan sejumlah nama tempat seperti Sarinokng, Batu Itapm dan Pakana di Mempawah Hulu sekarang.
Secara umum dapat diamati bahwa praktek adat ( hukum adat dan adat istiadat) antara semua kelompok dayak Salako( ba’ahe’dan badameo) adalah sama. Persamaan umum ini telah menunjukan nenek moyang mereka sama. adapun perbedaan kecil yang lain, misalnya menggunakan anjing sebagai hewan persembahaan merupakan assimilasi (alkuturasi) antara kanayatn (bakati’) dengan Salako yang mana tempat pemukiman kedua komunitas itu berdekatan.

Alat yang digunakan untuk bakayo (headhunting) oleh komunitas-komunitas Dayak Salako adalah Tangkitn dan Bolekng (dalam dielek badameo: Boekng,) bukan mando (mandau). Boekng atau Bolekng (tombak yang ujungnya terbuat dari besi dan pegangannya dari kayu) biasa juga disebut tampoleng/tampolekng oleh penutur dalam semua dialek di atas. Ceritera rakyat dari Mempawah Hulu (Kaca’ dan Tiakng Tanyukng) lokasi penelitian Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap.-menceritakan:
“Sarata nya ninyak tanah di Mani Amas lalu bakata Leo Baja:” Dusaku”. Sambilnya ngalansaratn bolekngnya. Maniamas nyingkubakng talu kali, udah koa nya mabut tangkitnnya.” (Begitu Maniamas menginjakkan kakinya ke tanah,lalu leo Baja berkata,”Dusaku”, sambil ia melayangkan tombaknya. Maniamas melompat (salto) tiga kali, setelah itu dia mencabut tangkitnya).
Tangkitn (lihat catatan kaki hal. 14) adalah sejenis parang yang hanya digunakan khusus untuk bakayo. Selain itu biasa juga digunakan dalam upacara-upacara ritual lainnya seperti upacara pengobatan yaitu baliatn (baiotn), badukun/balenggang. Parang yang digunakan untuk pekerjan sehari-hari disebut iso’ (gagangnya dibuat dari kayu).
Mengacu pada uraian diatas, Dayak Salako sekarang menyebar di Kabupaten Sambas, Pontianak, Landak, Bengkayang dan distrik Lundu di Malaysia Timur. Populasinya diperkirakan lebih dari 900 ribu jiwa.


DEMOGRAFI

Wilayah di Pulau Kalimantan yang sekarang didiami oleh Dayak selako dapatlah dikatakan sebagai daerah pertemuan berbagai suku bangsa di Nusantara. Sejak tahun 1000 Masehi, didaerah ini telah terjadi interaksi dengan bangsa bangsa lain, misalnya dengan China. Interaksi dengan China ini terlihat sampai sekarang melalui pola makan dan sistem pertanian. Orang salako kalau sedang pesta menyajikan makanan secara berkelompok (baconcok) dengan, makanan yang disajikan dimasak dengan menu China dan makannya juga menggunakan sumpit. Dalam hal pertanian, orang Dayak Salako menggunakan sebutan-sebutan China misalnya Tin sun (kotak), keo (parit), Liam (bengkok), Taja (alat pembuang runput), Lojong (benih padi yang disemai) dan masih banyak lagi yang lainnya. Kerajaan Majapahit dan Sriwijayapun sempat menanamkan pengaruhnya di daerah ini. Situs-situs sejarah kehadiran kedua kerajaan besar di Nusantara tersebut banyak dijumpai di daerah ini.
Wilayah yang dihuni Dayak salako terdiri dari hutan. Berdasarkan jenisnya, hutan di daerah ini termasuk jenis hutan tropis, oleh sebab itu kawasan hutannya kaya akan berbagai jenis kayu. Di hutan-hutannya, terutama pada wilayah kelola masyarakat dapat ditemukan berbagai jenis kayu, di antaranya kayu tengkawang, ramin, belian, dll. Selain kayu, kabupaten ini mempunyai kekayaan flora antara lain jenis anggrek hutan dan berbagai jenis tanaman obat, tanaman hias, dll. Di samping itu terdapat bermacam-macam tanaman pertanian dan perkebunan. Di Kawasan hutan mereka masih banyak ditemukan berbagai macam fauna terkenal antara lain orang utan, kukang, rusa, burung enggang, trenggiling, Landak dan kancil.

SISTEM PERTANIAN

Masyarakat Dayak Selako yang hidup berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum dikategorikan dalam masyarakat horticultural (Kottak : 1974).[12] Maksudnya masyarakat yang subsistensi utamanya adalah menanam padi diladang dan di sawah guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Diladang yang sama ini juga – bersama padi – mereka menanam tanaman-tanaman lain sebagai pangan penyangga kebutuhan sehari-hari rumah tangga seperti sayur-mayur, jagung, keladi, ubi, pepaya, tebu, dan lain-lain. Bentuk subsistensi ini masih didukung lagi oleh hasil-hasil lain seperti berburu, hasil dari hutan, tanaman karet dan pohon buah-buahan. Bentuk subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus (pasar oriented), namun hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Bentuk subsistensi yang ekstensif ini sepenuhnya masih bergantung pada alam.

Dalam berladang Orang Salako melakukannya dalam beberapa tahap sebagai berikut :
1. Ngaranto
Yang dimaksud dengan ngaranto adalah langkah yang pertama dilakukan dalam memilih lokasi tempat berladang/sawah,apakah tempat ini sudah tua atau belum untuk diladangi dan kemudian memotong akar-akarkayu yang mau mengganggu di waktu proses melakukan penebasan nantinya,disamping itu juga meneliti keadaan disekitar tempat yang mau diladangi apakah ada terdapat sarang burung atau sarang lebah,karena jenis sarang binatang ini dapat mengganggu yang dikatakan “RASI”

2. Nyangko
Nyangko adalah suatu kegiatan yang dilakukan supaya orang lain dapat mengetahui bahwa sipemilik tanah itu mau berladang pada lokasi tersebut dan sekaligus nyangko juga dapat diartikan ajakan kepada orang lain supaya mereka bersama-sama berladang pada sekitar lokasi yang dimaksud supaya memudahkan orang mengatasi atau menjaga segala sesuatu usaha/tanaman dari serangan/gangguan binatang,misalnya,seperti binatang kera,babi,rusa,dan lain sebagainya.

3. Ngawah
Kegiatan ngawah adalah memilih hari,memilih tanggal dan nangarat kata-kata burung serta memilih bulatn agar lading yang dimaksud padinya nanti apabila ditanam dapat tumbuh dan mendatangkan hasil yang memuaskan.Ngawah biasanya hanya dilakukan pada sa'at penebasan 3 sampai 7 kali saja lalu pulang

4. Ngantat batu
Kegiatan ngantat batu adalah suatu kegiatan yang menunjukkan awal dari pada kegiatan penebasan yang dilakukan hanya satu sampai dua jam saja lalu pulang

5. Nyulukng batu
Nyulukng batu adalah merupakan kelanjutan daripada kegiatan Ngantat batu,bedanya hanya nyulukng sudah dapat membawa bekal dan harus makatn ditempat itu.

6. Bahuma
Kegiatan bahuma baru dapat dilakukan penebasan lokasi tempat bahuma setelah selesai batas waktu yang dimaksud tersebut di atas dan kegiatan bahuma memang memakatn waktu yang cukup lama

7. Ngaratas
Kegiatan ngaratas adalah suatu kegiatan menebang kayu raras atau anak-anak kayu yang belum ditebang pada waktu kegiatan menebas tadinya.

8. Nempot
Kegiatan nempot adalah kegiatan menebang pohon atau rumpun bambu saja,seperti bambu munti,bambu buluh,bambu tarekng dan bambu para,sehinga semakin jelas dipandang sebagai ladang.
9. Nabakng
Dalam kegiatan nabakng ada upacara adatnya,yaitu munuh manok dua eko',yang satu jantan yang lain betina '.maksud upacar ini adalah memberitahukan (bapadah) kepada nenek moyang yang punya lokasi terdahulu (yang punya akoatn) dan supaya para perserta menebang terhindar dari bahaya timpa'kayu yang rebah ditebang nantinya,setelah selesai upacara barulah dilaksanakan kegiatan menebang pohon.kegiatan Nabakng adalah suatu kegiatan penebangan pohon-pohon kayu besar dilokasi ladang yang belum ditebang sebelumnya sehingga pemandanggan diseluruh lokasi tampak jelas seperti bagaimana ladang layaknya dan dengan selesainya kegiatan menebang berarti tuan ladang tinggal menunggu atau menjemur lahan supaya apabila sudah kering siap untuk dibakar.

10. Ngarangke Raba'.
Ngarangke raba adalah waktu tunggu dalam mempersiapkan lahan supaya kering dan mati dalam jangka waktu 1 sampai dewngan 2 bulan bagi lokasi ladang dari kayu rimba yang kemudian barulah siap untuk dinunu/dibakar.

11. Ngararakatn
Ngararakatn adalah kegiatan untuk mempersiapkan pembakaran ladang pada masa tunggu,supaya sa'at pembakaran nantinya api yang hidup ditengah ladang tidak merembet kehutan.jaraknya Ngararakatn biasanya dilakukan antara 2 sampai 3 meter dari pinggir ladang tertular yang dibatasi jalan yang bersih dari sampah/debu atau dibungi lumpurnya.

12. Nunu'.
Nunu'.adalah kegiatan membakar ladang,dalam kegiatan ini biasanya jika disekitar lokasi ladang terdapat usaha orang lain berupa kebun karet,kebun kopi,pondok,sawah/ladang,tembawang dan usaha lainnya,maka orang yang bersangkutan harus diajak membakar ladang agar membantu menjaga usahanya supaya terhindar dari rembetan api tersebut.

13. Ngalaet.
Ngalaet adalah kegiatan membersihkan sisa pohon dan ranting-ranting kayu yang tidak habis dimakatn api pada waktu pembakaran/nunu.Biasanya pembersihan sisa-sisa ranting dan pohon kayu dilakukan agar pada saat menugal padi nantinya lebih enak serta mudah menugal maupun mudah membubuhi padi pada lubang tugal.

14. Ngalabuhatn
Ngalabuhatn adalah suatu upacara yang dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan menugal padi.Maksud diadakan upacara ngalabuhatn ialah untuk memilih Bit'bintang,hari baik supaya padi yang akan ditanam dapat hidup dengan baik dan menghasilkan buah yang berlimpah ruah serta di samping itu ngalabuhatn juga merupakan suatu kegiatan untuk membuat pabanihan,yaitu tempat menanam padi yang pertama pada ladang itu.

15. Nugal
Sebelum melakukan kegiatan lain terlebih dahulu melakukan upacara dengan pamangnya,yaitu Mukahi Tanah Ngampak 3 nga'kali atau tariu,dengan bunyi sebagai berikut:"Bakapet kao tanah,ha ngalongkokng kau urat ta,minta tanah nian nugal nya ka timanyang ngiliratn ai ".Kegiatan nugal ini dalam pertengahan hari,misalnya sehabis sikuan/serapan,ada upacara adatnya,yaitu Ngalantekbatn mata benih adalah bapadah ka Jubata bahwa sudah mulai menanam padi baru ,minta padi yang ditanam hidupnya tumbuh baik,badautn libar,babatakng ka'a,babiti'calikng,batunut lanu'minta tidak mempunyai pangaruh hama/baho,pangaco,pangaruka'uma tahutn tersebut.
Nugal adalah suatu kegiatan menanam padi diladang yang dilakukan pada musimnya oleh masyarakat adapt baik kaum tua maupun kaum muda.Menurut kebiasaan para kaum pria sebagai tukakng tugal(membuat lubang padi) dan kaum wanita sebagai tukakng pamanih (memasukkan/menaburkan padi pada lubang tugal).Jika sudah selesai kegiatan nugal dan sudah pulang ka'rumah,maka si pemilik ladang pada saat aleatn harus melakukan pemburasaan ai'/musasatnai' dari solekng dengan bunyi sebagai berikut: "sa', dua',talu,ampat,lima,anam,tujuh,ai'nyian ku burastn padi ku nyian idupnya ka ai'nang kaluar nyian minta rata ,nana' ada nang lalo'idupnya".

16. Muang Tabutn
Kegitan muang tabutn adalah suatu kegiatan yang dilakukan diwaktu giliran aleatn yang terakhir dan pada sa'at inilah muang tabutn dilakukan yang harus dihadiri oleh semua anggota aleatn.Sedangkan cara pelaksanaannya adalah setiap anggota aleatn wajib membawa alat perlengkapan dan bahan-bahan keperluan seperti:
1.Gula
2.Baras Sunguh
3.Baras Poe'secukupnya
4.Membuat bahol/leko.

Caranya pelaksanaannya adalah padi dibagi atau disusun sedemikian rupa di atas batang kayu dengan beberapa jumlah anggota kita sekeluarga yang dimulai dari bapak,ibu,anak tertua sampai pada anak yang terakhir dan yang juga giliran pada binatang peliharaan kita,seperti manok/ayam,jalu/babi,kucing,asu'/anjing,kambing, dan binatang peliharaan lainnya.
Setelah pembagian/penyusunan padi pada setiap anggota keluarga dan pada macam-macam binatang peliharaan,barulah dilanjutkan dengan acara padi yang dibagi tersebut diatas batang kayu tadi ditaredekkatn sebanyak 7 kali.Selama Naredekkatn ini 4 kali menghadap ketengah ladang dan 3 kali menghadap kepinggir ladang atau ke hutan yang tidak diladangi.Selanjutnya kayu yang di teredekkatn tadi dilemparkan sambil melompat disertai dengan tariu oleh semua anggota aleatn yang hadir.

17. Ngalajuki
Ngalajuki adalah suatu upacara yang dilakukan setelah padi hidup selama 7 hari sampai 14 hari (2minggu).Adapun maksud upacara ini adalah supaya padi yang di tanam dan hidup itu dapat hidup dengan baik serta subur sehungga menghasilkan buah yang banyak.

18. Ngarapat.
Ngarapat adalah sesuatu upacara yang dilakukan ke dua kalinya dilokasi ladang tersebut .Adapun maksud daripada upacara ini adalah membuang hama/baho penyakit padi yang dilakukan secara serentak oleh setiap orang dikampokng yang bersangkutan.

19. Ngaladakng Buntikng Padi
Ngaladakng buntikng padi adalah sesuatu upacara adat yang dilakukan pada saat padi baru mulai buntikng yang yang dilaksanakan di pabanihan dengan maksud supaya padi diladang itu dapat berbuah dengan baik tanpa ada ganguan ham/baho,sehinga padi tersebut dapat mendatangkan hasil yang memuaskan.

20. Mipit
Mipit adalah suatu kegiatan upara adat pada saat padi sedang menguning dengan mengambil satu tangkai atau lebih buah padi di ladang lalu dibawa pulang ke rumah dan setelah tiba dirumah padi tadi dilayur/dipangang di atas api untuk dicempale'pada setiap anggota keluarga masing-masing agar tidak kemponan,karena pada saat padi mulai menguning (akan masak) setiap orang sedang sibuk membuat alat perlengkapan panen padi,seperti menganyam,nyiru,tikar/bidai,pante,langko,dan perlengkapan lainnya.

21. Ngaleko
Ngaleko adalah upacara adat pada saat padi sudah masak dan sebelum panen padi dimulai.Pelaksanaannya pada hari pertama panen itu cukup mengambil sedikit (satu tangkai) saja lalu dibawa pulang kerumah,setelah tiba dirumah padi tadi langsung dibersihkan,dijemur setelah kering lalu ditumbuk atau digiling pada mesin padi dan pada malamnya beras tadi dibuat lepet dibungkus dengan daun layakng lalu dimasak baru pagi harinya lepet tadi disajikan dalam upacara adapt yang biasanya disebut ;Ngaleko".

23. Bahanyi
Bahanyi adalah suatu kegiatan pengambilan padi diladang atau sawah yang dilakukan dengan proses gotong – royong atau aleatn secara bergiliran dari ladang salah seorang dan kemudian giliran dengan berulang-ulang kali hingga kegiatan panen selesai.
Sekarang yang disebutkan ini mengenai adapt manusia Sidas Daya dari jaman lama sampai jaman sekarang masih banyak digunakan bagi manusia umumnya Daya Kanayatn dari awal sampai berakhir riwayatnya.

Seluruh tahapan-tahapan ini dipenuhi dengan upacara adat berupa sesajian dan didoakan dengan cara nyangahatn. Berdasarkan periode perladangan, maka Nyangahatn (upacara adat) dalam keseluruhan siklus kegiatan berladang dapat dibagi menjadi 4 bagian, yakni:
1. Priode persiapan: Baburukng, Ka’ Pantulak, dan Ngawah
2. Priode penggarapan: Nyangahatn Raba, Balabuh Ka’ Pabanihatn, Muakng Tabut, Ngamalo Lubakng Tugal, Ngiliratn, Nyiakng Buntikng Laki, Nyiakng Buntikng Bini, dan Macah Talo’ Padi Mampar.
3. Priode Panen: Ngikat (Ngabat Pihawakng), Marantika, Ngarantuk, dan Matahatn.
4. Priode syukuran: Mabut Pihawakng dan Naik Dango.




FAKTOR LUAR YANG MEMPENGARUHI KEHIDUPAN DAYAK SALAKO

GERAKAN PGRS/PARAKU

Sejarah perpolitikan di Kalimantan barat ditandai dengan adanya Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/ Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau PGRS/PARAKU. Lahirnya PGRS/PARAKU diawali dengan munculnya ide atau gagasan rakyat Cina yang ada di Kalimantan Barat untuk membentuk suatu negara yang dapat berdiri sendiri tanpa terlihat oleh peraturan-peraturan dan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, timbulnya gerakan PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat merupakan follow up dari pendirian yang selama ini telah ada yaitu untuk menyusun suatu Society sendiri dalam arti sosial politik serta yang tunduk di bawah kepemimpinan Peking. Dengan kata lain, lahirnya PGRS/PARAKU bukan semata-mata akibat adanya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia pada waktu yang lalu. Namun kemunculan itu merupakan suatu rencana yang telah lama sedangkan peristiwa konfrontasi itu hanya digunakan sebagai jembatan.
Organisasi PGRS/PARAKU terbentuk dari suatu gerombolan pada saat terjadinya konfrontasi senjata dan politik antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1963. Dalam peristiwa tersebut pemerintah Indonesia memobilisir kekuatan rakyat melalui strategi pembentukan pasukan sukarelawan (Sukwan) yang terdiri dari pemuda pemudi Indonesia dari seluruh pelosok tanah air. Dalam perkembangannya, anggota sukwan juga mengikutsertakan pemuda pemudi etnis Cina-Malaysia (Serawak) yang datang sukarela menggabungkan diri ke dalam tubuh Sukwan Indonesia kurang lebih 850 orang (Coppel, 1994:273).
Sejak tahun 1963 terjadi konfrontasi bersenjata dalam politik yang sengit antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam kondisi seperti itu gerombolan PGRS/PARAKU memanfaatkan waktu untuk membina rakyat perbatasan yang berada di wilayah kekuasaan hukum Indonesia. Tujuan penyerangan PGRS/PARAKU dan sukwan-sukwan lainnya diarahkan kepada negara Malaysia terutama Serawak di Malaysia Timur. Target perjuangannya adalah untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap pemerintah negara Malaysia dan sasaran perjuangannya adalah merebut kota Kuching sebagai ibukota wilayah Serawak. Agar tujuan itu tercapai, mereka membentuk basis-basis yang strategis seperti di distrik Sampadi/Matan, Lundu, Nonok, Bau, Sibu, Binatang dan Semanggang serta melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos Tentara Diraja Malaysia (TDM).
Selain itu gerombolan juga aktif melakukan penghadangan-penghadangan kepada siapa saja yang melintasi jalan umum. Sepanjang daerah perbatasan Indonesia digunakan sebagai basis konsilidasi dan training centre bagi personilnya. Dengan demikian, apabila gerombolan PGRS/PARAKU didesak oleh pasukan TDM maka mereka mundur kewilayah Indonesia dan melakukan siasat-siasat penyempurnaan. Jika mereka melakukan pembinaan kepada rakyat Indonesia di daerah pedalaman Kalimantan Barat kemudian didesak oleh TNI mereka mundur ke wilayah perbatasan dan menyusun siasat-siasat baru untuk penyerangan berikutnya (La Ode, 1975:116-118).
Pada saat terjadinya pertentangan politik antara Indonesia dengan Malaysia itu, anggota-anggota Malaysia comunist Party (MCP) telah digariskan agar masuk ke Indonesia antara lain dari SAYA (serawak Advance Youth Association), SFA (Serawak Farmers Association) ,SCO( Serawak Comunist Organization) dengan over SUPP dimulai oleh: Lay Pakah dengan kelompok-kelompoknya masuk dari Tebedu menuju Balai Karangan, Yap Choon Who, Lay Choon, Wong Hon, Liem Hwo Kway dan Chai Wha Sha masuk dari Lunndu menuju ke Asuangsang Sajingan.
Sejak bulan Januari 1965 sampai menjelang meletusnya G 30S/PKI, kegiatan infiltrasi dan pertempuran ke Malaysia meningkat sehingga rakyat di perbatasan di kedua belah pihak (Malaysia dan Indonesia) sangat terpengaruh oleh kegiatan tersebut. Bantuan perbatasan terutama unsur-unsur Cina sangat besar jasanya terhadap PGRS/PARAKU.
Pada tanggal 15 Juli 1967, PGRS/PARAKU melakukan penyerbuan terhadap Lapangan Udara Sanggau Ledo dan berhasil membunuh 4 orang pasukan TNI serta merampas 126 pucuk senjata. Peristiwa itu menyebabkan semakin tingginya simpati rakyat terhadap gerakan PGRS/PARAKU.
Pada bulan Maret 1967, SA. Sofyan menemui tokoh PGRS/PARAKU yaitu Liem Yen Hwa yang baru tiba di Serawak. Kemudian bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Tawang kecamatan Sanggau Ledo Kabupaten Sambas untuk menemui sejumlah tokoh PGRS/PARAKU yang lain seperti Yap Choong How, Wong Hon, Wong Kee Chok, Lay Choon dan Lay pakah.
Sehubungan dengan semakin meningkatnya perkembangan gerombolan PGRS/PARAKU di Serawak maka Kodam XII/Tanjungpura bersama 3 BIM Tentara Diraja Malaysia sepakat untuk meningkatkan operasi militer pembersihan kawasan masing-masing secara menyeluruh. Keputusan operasi pembersihan tetap mengacu pada “Document Jakarta Accord”
Setelah kedua belah pihak melakukan konsolidasi, maka 3 BIM langsung melakukan serangan operasi militer sebagai upaya pembersihan di Distrik Sampadi/Matan, Bau, Lundu, Sibu, dan Semanggang. Akibatnya kontak senjata antara 3 BIM dengan gerombolan PGRS/PARAKU tak dapat dihindarkan dan gerombolan menjadi porak-poranda. Melihat kekuatan gerombolan yang lemah maka Koops Sector barat yang mengerahkan kekuatan Detasemen RPKAD dan dua kompi dari Yon Brawijaya. Operasi penumpasan terhadap gerombolan PGRS/PARAKU semakin ditingkatan dengan melakukan Operasi Intelijen ABRI anggota RPKAD “Kala Hitam” yang dibantu oleh anggota DIPI-AD.
Perlawanan Suku Dayak terhadap gerombolan PGRS/PARAKU dilakukan pada tanggal 14 Oktober 1967 di Kabupaten Sambas dan Mempawah. Perlawanan itu telah memberikan akibat positif dan negatif. Dari segi positif, terjadinya pengusiran orang-orang Cina dari daerah-daerah pedalaman ke kota-kota sehingga yang tinggal ditempat itu hanyalah gerombolan bersenjata. Dari segi negatif, tindakan itu mengenai semua orang Cina tanpa pandang bulu serta hilangnya produksi pertanian yang dulunya dihasilkan oleh orang-orang Cina.

Setelah berakhirnya operasi Sapu Bersih III pada bulan Januari 1970, maka dapat dilihat bahwa PGRS/PARAKU dalam kondisi terpecah-pecah dan bercerai berai dalam kelompok-kelompok kecil. Namun demikian mereka masih melakukan penghadangan-penghadangan kemudian melarikan diri. Mereka membentuk susunan kekuatan yang lebih kecil dan terlindung diantara rakyat.
Operasi bersama atau gabungan diadakan secara terus-menerus khususnya didaerah perbatasan. Operasi bersama itu dilakukan dengan cara masing-masing pasukan tidak melintasi batas negara. Pasukan Indonesia dan Malaysia bergabung dalam satu komando yang disebut “Combined Coordinaty Centre (COCC)” yang berkedudukan di Serawak. Di sektor timur tidak terdapat lagi musuh sehingga masyarakat dapat hidup tentram dan dibina oleh pasukan tempur yang dikoordinir oleh babinsa-babinsa maupun oleh koramil. Setiap koramil yang memimpin pembinaan wilayah dan intel juga mempunyai tenaga tempur. Setiap kodim tersedia kompi-kompi cadangan yang tempatnya tersebar (Komandan Korem, 1993: 19-20).
Proses pembersihan gerakan PGRS/Paraku ini masih sangat diingat dengan jelas oleh penduduk di darah sasak, sajingan dan Biawak. Kalangan tua (usia 60 an tahun) sampai saat ini masih trauma kalau diwawancarai, mereka selalu mengatakan tolong nama saya jangan di tulis. Mereka takut kelak terjadi sesuatu pada mereka akibat penulisan namanya. Yang paling menyedihkan dan dampaknya sangat terasa sampai saat ini adalah penduduk yang ada di daerah sajingan sangat sulit memperoleh pendidikan. Persoalan transportasi yang sulit ke sekolah-sekolah yang jauh di kota Sambas. Pembangunan yang lambat ini oleh sebagian informan diyakini ada kaitannya dengan penumpasan PGRS/Paraku pada masa yang lalu.


KONDISI SOSIAL-EKONOMI DI LOKASI STUDI

Kecamatan Sajingan Besar merupakan kecamatan baru hasil pemekaran pada tahun 1997, terletak di ujung Timur laut Kabupaten Sambas. Hingga saat ini kecamatan ini masih sulit dijangkau. Jalan darat ke kecamatan ini belum sepenuhnya tembus. Titik terdekat dengan jaringan jalan yang masuk akal adalah Galing (ibukota Kecamatan Galing). Dari Kota Sambas, ada dua jalur yang dapat digunakan untuk mencapai Galing, yakni jalur yang melalui Sejangkung (ibukota Kecamatan Sejangkung) dan jalur yang menuju Sekura (ibukota Kecamatan Teluk Keramat). Ruas jalan Galing – Sasak masih sedang dibangun . Hingga tulisan ini ditulis, jembatan Sungai Sijang di ruas jalan ini baru saja selesai dibangun. Jalan lain untuk memasuki wilayah ini adalah jalan air. Sungai Bantanan, yang berhulu bagian barat tengah kecamatan ini dan mengalir melewati Sekura dan bermuara di Pemangkat, menjadi jalan air utama. Sebenarnya di kecamatan ini tidak terlalu banyak kampung yang berada di tepi sungai ini. Hanya Sasak, Senipahan (Nyala’) dan Batang Air yang mempunyai akses ke sungai ini. Desa Sabunga (yang merupakan kumpulan Kampung-kampung Aruk, Aping dan Beruang) lebih dekat dengan jalur Sungai Sambas. Tempat-tempat lain yang terdapat di Desa Sungai Bening, Kaliau dan Sanatab selain tidak punya jaringan jalan yang baik juga berada jauh dari sungai yang bisa dijadikan jalan air.

Kecamatan ini memiliki 5 desa yang sebelumnya termasuk dalam berbagai kecamatan yang berbeda: Desa Sabunga (Sejangkung), Desa Sungai Bening (Paloh) dan Desa-desa Santaban, Sanatab dan Keliau (Teluk Keramat). Sebagian warga mempertanyakan dasar-dasar alasan dibentuknya kecamatan baru ini. Mereka berpraduga pembentukan kecamatan ini merupakan pengelompokan desa-desa “Dayak” dan di belakang itu terdapat motif-motif tertentu.

Kampung-kampung di dalam desa-desa yang membentuk kecamatan ini merupakan kampung-kampung “Dayak”. Istilah “kampung Dayak” di sini lebih untuk menekankan bahwa kampung-kampung tersebut mempunyai kesejarahan yang melekat pada kultur Dayak. Namun demikian di kecamatan ini terdapat dua macam kelompok bahasa (sering disebut juga sub-etnis[13]), yakni Salako dan Rara. Orang-orang yang tergolong dalam kelompok bahasa Salako ini tinggal di kampung-kampung Sungai Bening, Asuansang (Desa Sungai Bening), Keranji, Tapang, Ngole, Sungai Enau, Sajingan (Desa Kaliau), Tanjung, Sawah, Batu Hitam (Desa Sanatab), Sasak, Senipahan atau yang sering disebut Nyala’ Batang Air (Desa Santaban). Orang Rara terdapat di tiga kampung: Aruk, Aping dan Beruang (Desa Sabunga). Secara tradisional kampung-kampung ini masuk ke dalam struktur sosiopolitik lokal yang dinamakan binua (Salako) dan benua (Rara). Benua Aruk meliputi kampung-kampung Aruk, Aping dan Beruang. Kampung-kampung selebihnya adalah kampung-kampung Salako yang termasuk dalam Binua Sampayang. Situasi geografis menyebabkan orang Dayak Salako agak jarang berkontak dengan orang Dayak Rara karena kedua komunitas mempunyai jalur sungai masing-masing. Faktor lain adalah bahasa yang berbeda. Namun demikian banyak terjadi orang Rara menguasai bahasa Salako daripada sebaliknya. Hal ini wajar karena bahasa Salako mempunyai kedekatan dengan Bahasa Indonesia (Bahasa Salako merupakan salah satu bahasa Malayic Dayak—lihat King, 1993 h. 52-53). Selain itu penutur bahasa ini cukup banyak di propinsi ini kalau kita mengartikannya secara isogloss. Secara isgoglos bahasa ini dapat digunakan sebagai alat komunikasi di daerah Nyarumpkop dan sekitarnya hingga sebagian Samalantan, dan sebagian besar wilayah Kabupaten Landak (lihat Takdir, 2003).

Di antara kampung-kampung tersebut terdapat kampung-kampung yang berpenduduk campuran Dayak dan Meayu. Di antaranya adalah Sasak (Dayak 155 keluarga, Melayu 27 keluarga) dan Asuansang (Dayak 28 keluarga, Melayu 14 keluarga). Bahkan sejarah pembentukan Kampung Sasak tidak dapat dipisahkan dari kehadiran dua kelompok etnis ini.

Kampung Sasak merupakan basis bagi pengamatan lapangan dalam kaitan studi ini, sekaligus dalam konteks program kegiatan kampung ini merupakan target awal program fasilitasi di wilayah ini. Kampung cukup strategis sehingga banyak Informasi dari daerah yang lebih hulu maupun daerah yang lebih hilir bisa terdengan di kampung ini, sebelum diadakan pengecekan di kampung yang bersangkutan. Salah satu faktor mengapa Informasi lebih mudah didapat di kampung ini adalah bahwa mobilitas penduduk kampung ini relatif tinggi. Selain letaknya yang cukup strategis—untuk pergi ke hulu maupun ke hilir ada dua pilihan yakni jalan darat dan jalan air—pemilik kendaraan air (perahu dengan motor tempel) dan sepeda motor cukup banyak di kampung ini. Relasi Melayu—Dayak nampak di kampung ini bukan hanya dalam relasi warga Melayu di RT 5 dengan warga Dayak di RT-RT lainnya, tetapi juga nampak dalam relasi antara “orang Sasak” dengan “orang Gurah”, “orang Sagu”, “orang Galing” maupun yang lainnya.

Kampung ini merupakan bagian dari Desa Santaban[14] di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas. Kampung ini terletak di kedua tepi Sungai Bantanan, sekitar 10 kilometer kilometer di sebelah hulu Kota Kecamatan Galing. Meskipun sekarang status administratif dari entitas sosio-politik ini adalah dusun, istilah kampung digunakan dalam pembahasan ini untuk memberi konotasi historis bahwa entitas sosio-politik ini mempunyai sejarah kemandirian sosio-politik. Artinya, Sasak mempunyai sejarah sendiri yang unik berbeda dengan sejarah Nyala’ (Senipahan), yang sekarang merupakan dusun lain dalam Desa Santaban.

Ada 3 kelompok pemukiman di kampung ini. Satu kelompok pemukiman terletak di sebelah kanan Sungai Bantanan kalau kita menuju ke hulu sedangkan dua kelompok yang lain terletak di sebelah kiri sungai, kira-kira dua atau tiga ratus meter lebih ke hulu dibandingkan letak pemukiman yang di kanan sungai. Pemukiman yang lain di sebelah kiri sungai berjarak kira-kira tujuh ratus meter ke arah hulu. Ketika sistem desa diberlakukan di kampung ini, pemukiman yang di sebelah kanan sungai dikelompokkan menjadi Rukun Tetangga (RT) 1 dan RT 2. Pemukiman di sebelah kiri sungai yang sebelah hilir menjadi RT 3 dan RT 4, sedangkan yang di sebelah hulu dijadikan RT 5.

Warga yang tinggal di RT 1, 2, 3 dan 4 sebagian besar berasal dari Kampung Riam yang terletak di hulu Sungai Bantanan. Beberapa orang berasal dari kampung-kampung lain di daerah perhuluan seperti Sawah, Sungai Bening dan Batang Air. Penduduk ke-empat RT ini beretnis Dayak Salako. Mereka berpindah ke hilir pada akhir tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an dan bersama-sama dengan orang-orang Melayu dari Kampung Sagu mendirikan sebuah kampung yang kemudian mereka namakan Sasak. Melalui perkawinan orang-orang dari berbagai daerah dan etnisitas menetap di empat RT ini. Sekarang jumlah KK di ke-empat RT tersebut 155. RT 5 merupakan pemukiman yang mula-mula didirikan oleh orang-orang Melayu yang pindah dari Kampung Sagu. Pada awalnya jumlah mereka hanya 5 KK tetapi kemudian bertambah dengan kedatangan orang-orang dari berbagai kecamatan di Kabupaten Sambas (dan bahkan Bengkayang) yang kemudian menetap di situ. Sekarang ada 37 KK di RT tersebut, 27 merupakan keluarga Melayu sedangkan 10 keluarga adalah mereka yang sebelumnya tinggal di RT 1 – 4 lalu pindah ke situ karena tanah sawah atau kebun karet mereka berada di sekitar daerah itu.


Kampung ini dihuni oleh 910 orang penduduk. Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk. Padi pada umumnya ditanam untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Produksi padi per hektar rata-rata 700 kilogram gabah. Dengan rendemen 60%, rata-rata produksi gabah per keluarga per tahun 420 kilogram. Jika rata-rata per keluarga mengonsumsi beras 50 kilogram per bulan, hasil ini hanya mencukupi kebutuhan 8 – 9 bulan. Kebutuhan beras untuk 3 – 4 bulan selebihnya biasanya dipenuhi dengan membeli.

Karet merupakan hasil pertanian yang diandalkan untuk menghasilkan uang tunai (cash). Hasil rata-rata karet per hari per keluarga sebesar 4 kilogram sheet kering. Dengan harga per Pebruari 2008 sebesar Rp 12.500 per kilogram, penghasilan rata-rata per hari Rp 50. 000 atau Rp. 1.000. 000 per bulan dari karet. Penghasilan ini digunakan untuk membeli beras , pakaian, pendidikan dan kebutuhan sosial lainnya.

Dari jumlah 910 orang tersebut terdapat 775 orang Dayak Salako yang tinggal di RT1 hingga RT 5 dan 135 orang Melayu yang tinggal di RT 5. Ada beberapa orang Melayu (dan juga orang-orang dari etnis lain di luar Dayak dan Melayu seperti Bugis, Jawa, Sunda, orang dari Pulau Flores) yang kawin dengan orang Dayak dan tinggal bersama keluarga istri atau suami; namun kelompok ini tidak masuk dalam kategori yang dibahas di sini.

Dalam kehidupan sehari-haripun nampak toleransi dan solidaritas yang ditunjukkan oleh kedua komunitas ini. Jika ada warga yang sakit, ada orang-orang yang secara sukarela mengorganisir pengumpulan dana untuk meringankan biaya pengobatan. Pesta-pesta (pernikahan, dsb.) direncanakan sebelumnya sehingga sumbangan dapat dikumpulkan tanpa membebani warga. pembedaan suku atau agama tidak nampak dalam percakapan sehari-hari maupun dalam perencanaan kegiatan-kegiatan di tingkat kampung.


PERJALANAN KE SASAK

Pontianak - Sambas
Rute dua kota yang berjarak 220 km ini dihubungkan dengan jalan darat.Kota yang dilalui antara lain Sei.Pinyuh,Mempawah,Singkawang,Pemangkat dan Tebas.Lamanya perjalanan dengan mobil sekitar 5 jam.selain dengan mobil sendiri,ke Sambas juga dapat ditempuh dengan mobil angkutan umum rute Pontianak –Sambas atau Pontianak -Kartiasa,jumlah mobil ini cukup banyak sehingga tidak sulit mendapatkanya.

Sambas-Sasak

Dari Sambas Ke Sasak maupun ke Sajingan dapat ditempuh dengan jalan darat, . dan sungai. Apabila mengunakan kendaraan (mobil) sendiri,rute yang ditempuh adalah menuju Sekura dengan melewati Kartiasa dan Tanjung. Mobil dapat dititip di rumah penduduk di Tanjung,. Selanjutnya dari Tanjung ke Sekura menyeberang mengunakan Motor Kelotok dengan biaya Rp.500/orang. Usahakan tiba di Sekura sebelum jam 09.00 pagi,karena motor air ke Sasak berangkat pada jam tersebut. Motor air ke Sasak dapat dijumpai di pelabuhan Sekura. Cerita ini tahun 2003 berakhir. Sejak tahun itu tak ada lagi motor air angkutan sungai . Jalur darat dapat ditempuh dengan cara berikut : dari Sambas anda menuju simpang Galing (sebelum Tanjung), anda belok ke kanan dan bisa bermobil sampai ke Sasak. Sejak tahun 2003 sudah ada mobil angkutan umum dari Sambas ke Aruk. Rute ini melewati Sasak. Disarankan anda berhenti di Simpang Sasak di warung miliknya Niko, dari warung itu anda berjalan kakai sejauh 1800 m menuju pusat kampung. Jika anda berhenti di Galing dapat Di temui beberapa kontak person seperti: Agus dan Tamek,Agus paling mudah dicari,dia punya warung kopi dipinggir sungai. .Setibanya di Sasak anda dapat menginap dirumah Kades,Kadus,Pak Sahril maupun Obertus.

Sasak-Biawak Malaysia

Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan jalan darat, itupun kalau tidak hujan.Hujan sangat berpengaruh untuk pergi ke Biawak,jalan masih tanah dan kalau hujan sangat sulit dilalui karena becek. jalan darat ini tegolong berat banyak Gunung dilalui.Gunung yang paling tinggi dinamai Leter S,karena selain menanjak curam dan bentuknya seperti hurup S .Di Sajingan dapat menemui Pak Sekdes Desa Kaliau (Sajingan adalah desa pusat Kaliau sekaligus pusat kecamatan Sajingan Besar) rumahnya sebelum jembatan menuju pusat desa. Dari Sajingan ini anda dapat berkunjung ke Malaysia. Pemukiman yang bisa dikunjungi di Malaysia namanya Biawak.dari sajingan sekitar 30 menit dengan motor,di Biawak ini dapat ditemui toko-toko yang cukup besar,anda dapat memesan aneka makanan dan mata uang yang berlaku adalah Ringgit Malaysia. Satu Ringgit uang indonesia 2900/Ringgit,di Biawak ada terminal Jurusan Kucing dapat ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dari Biawak. Saat ini di perbatasan RI-Malaysia sedang dibangun gerbang perbatasan, pos Imigrasi dan jalan beraspal yang bagus.Sebelum memasuki Biawak,anda melewati Depot kayu, diperkirakan depot kayu ini menampung kayu-kayu dari Indonesia.
Kontras sekali keadaannya, kalau tadinya anda melewati hutan, namun setibanya di Biawak anda akan bertemu terminal,jalan beraspal,toko-toko besar yang bersih dan bangunan yang bagus.jadi kontras sekali permandangan dikawasan perbatasan ini bagaikan siang dan malam. Ada puluhan orang dari kampung-kampung di Indonesia(perbatasan) setiap harinya menjual produk taninya di Biawak Malaysia.

PERJALANAN KE LUNDU

PONTIANAK- KUCHING

Penulis menyarankan menggunakan jalur Darat menuju Kucing. Dari Pontianak ada banyak Bus yang beroperasi diantaranya : Damri, SJS, Tebakang, ATS, Eva, PB Sri Merah. Bis ekonomi biayanya Rp 140.000 (45 RM), sedangkan bis eksekutif biayanya Rp 200.000 (70RM). Waktu tempuh sekitar 11 jam, termasuk sekitar 2 jam di perbatasan, berangkat pukul 9 malam dari Pontianak dan tiba sekitar pukul 8.00 pagi di terminal Kucing.

KUCHING- LUNDU

Dari Kuching ke Lundu kita dapat menggunakan Bis Sarawak transport Berhad dengan biaya sekitar 10 RM. Bisa juga menggunakan Taxi dengan biaya sekali jalan 120 RM dan apabila disewa pulang pergi biayanya 180 RM-240 RM. Kampung-kampung orang dayak salako yang dilewati di distrik Lundu adalah : bagak, Sembawang, Sabigo, Sedemak, jampari, Tebaro, Sebiris, Keranji, Serayan Hilir, Perigi, Sebako, Paon, Simapu, Poe dan terakhir pasar Sematan. Jumlah orang Dayak Selako yang menjadi warga Negara Malaysia adalah 9558 Jiwa, data bulan Desember 2007 ( JKKKP-Lundu 2008).

CATATAN PENUTUP
Saya masih terus menambah data-data penelitian ini agar lebih lengkap dan sempurna. Segala saran dan kritik sangat penulis harapkan.
[1] Padagi adalah kumpulan pantak untuk satu Binuo.
[2] Nekara (benda perunggu peninggalan sejarah) adalah sejenis berumbung dari perunggu- tembaga bercampur timah putih dan hasilnya lebih keras dari tembaga yang berpinggang dibagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup, jadi dapatlah kira-kira disamakan dengan dandang ditelungkupkan. Nekara ini digunakan orang untuk maksud-maksud upacara yang tersebar luas di seluruh wilayah Asia Tenggara (Hall, 1988). Kebudayaan perunggu Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson, menurut nama tempat penyelidikan pertama di Tonkin. Orang masih percaya bahwa nekara ini bagian adalah bagian bulan yang jatuh dari langit. Karena itu nekara ini mereka simpan dalam kuil (pura) dan dianggap suci seta dipuja penduduk.
[3]Religi Neolitkum – jika dibandingkan religi manusia Neandertal dan Cro-Magnon – maksudnya religi yang berkembang ketika manusia mulai hidup menetap (semi menetap) dengan mata pencaharian bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada saat itu manusia mulai bergantung pada kesuburan alam. Manusia mulai menyadari adanya keteraturan alam, musim sehingga mereka dapat memprediksi tahun dengan panen melimpah dan yang kekurangan. Orang-orang Neolitkum membangun religi mereka berdasarkan kesuburan tanah, manusia dan ternak. Hal-hal tersebut membuat mereka menciptakan mitologi-motologi dalam mana mereka mempersinofikasikan alam menjadi dewa-dewa mereka. Adapun ciri-ciri umum dari religi ini antara lain, adanya bentuk-bentuk animisme (setiap benda mempunyai jiwa/roh) magis, rama/firasat tabu (amai’) totem, kurban persembahan, ritual-ritual peralihan, pemujaan arwah para leluhur (Hofte, 1983)

[4] Kaimantotn, Tanyukng Bungo, Sampuro, Saper’, saako’, Saba’u, dan gantekng Siokng (sebanyak tujuh tempat) merupakan tempat mitis dalam religi suku Dayak Selako Kaimontotn diartikan kalimantan, tempat yang pertama kali dihuni oleh manusia Dayak yang bernama Nek Unte’. Sedangkan tanyukng Bungo adalah daerah bagian pantai yang berbukit di sepanjang pasir panjang hingga sungai raya. Bukit Sampuro berada di daerah Semangkak (samalantan), sapero’ nama sungai di pasuk kayu, sabako’ nama bukit dekat kalumpe, saba’u nama bukit di samalantan desa, gantekng siokng nama pertemuan (celah) antara dua buah bukit di ranto. Enam tempat mitis tersebut berada di wilayah kabupaten sambas yang dulu (sebelum terjadi pemekaran daerah jaman reformasi).
[5] Subayotn adalah tempat bermukim khusus arwah yang baik setelah kematian. Jubato nampaknya memiliki tempat tinggal tersendiri di luar Subayotn yang biasanya disebut Kayangan. Beberapa diantara para Jubato itu memiliki wilayah kekuasaan di dunia (bhs. Dayak Salako: Taino), misalnya, Jubato Bukit Bawokng (gunung bawang) adalah Nek Opo, Jubato bukit Rayo (gunung Raya) adalah Buuk Baso’ bukit poteng adalah si Rijab, dan sebagainya. Orang yang semasa hidupnya di Taino hidup tidak sesuai dengan adat (bersikap jahat) ketika meninggal dunia arwahnya tidak masuk Subayotn. Arwah itu menjadi hama, penyakit, hantu (pujut) dan gentayangan di Taino menggangu kehidupan manusia. Manusa akan terhindar dari gangguan mereka kalau dibangun relasi yang baik (sikap hormat dan bersahabt) melalui ritual (doa dan kurban).

[6] Menurut J. Van Baal mitos merupakan kebenaran religius dalam bentuk cerita. Atau cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang dimasa lalu atau dimasa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan.

[7] Tanda ini muncul pada malam hari. Malam adalah kegelapan, kesedihan yang identik dengan kematian
[8] Kulikng Langit adalah anak Nek Kulub dengan manusia di Taino. Dia meninggal karena jatuh dari pohon Sibo (sejenis rambutan hutan) akibat melanggar siara rasi.

[9] patek adalah nama salah satu bagian dari sesajian dalam kurban persembahan yang diambil dari kamoh (sesajian yang dibungkus dengan dau minyak/laying) dan ditempatkan dalam gelas/cangkir. Kamoh terbuat dari campuran bontokng (nasi yang dimasak dalam daun), garetotn (pulut yang di asak dalam buluh), kobetotn (daging dan hati ayam kurban), dan telur ayam kampung, yang diambil serba sedikit dan dibungkus dengan daun minyak/laying. Ada tiga jenis patek, yaitu patek tampi, patek tangoh dan patek puokng (pulang/penutup), yaitu patek untuk rumoh tango’ lawokng karamigi (rumah tangga).

[10] Upacara ritual dalam konteks ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual yang berhubungan dengan pertanian misalnya, ketika nurutnni’ (sembahyang padi baru) dan Nyabayotn (sembahyang tutup tahun).

[11] Menurut Leslie Spier bahwa ritual merupakan alat berkomunikasi manusia dengan alam dalam sistem kehidupan.
[12] Holticulture is a type cultivation found in a non-industrial society. This type of cultivation makes intensive use of none of the factors of prodaction land, labour, capital and machinery. Horticulturalists use simple tools such as hoes and digging sticks to grow their crops. Their fields are not permanent propert and lie fallow for varying lengths of time.

[13] Penggunaan kata “sub-suku” bisa jadi berangkat dari penalaran bahwa “Dayak” merupakan satu suku (etnis) sehingga kelompok-kelompok yang berbeda-beda dalam golongan suku (etnis) ini disebut sub-suku. Dalam pembahasan ini digunakan istilah kelompok bahasa dengan dasar argumen bahwa bahasa merupakan salah satu pembeda yang utama antara kelompok Dayak yang satu dengan yang lain.


[14] Setelah penggabungan kampung-kampung yang biasa disebut regrouping, yang didasarkan pada SK Gubernur No. 383 tahun 1989 yang merupakan interpretasi pelaksanaan dari Undang-undang No. 5 th. 1979 mengenai Pemerintahan Desa, Kampung Sasak dan Kampung Nyala’ (dikenal juga sebagai Dusun Senipahan, karena terletak di tepi Sungai Senipahan) digabungkan menjadi Desa Santaban.

15 Comments:

salakopaon said...

Sabas Kristianus! Kita' salako ang bapandangan jauh' sabab maok mangkaji sajarah bangsa diri' sendiri'. Kajian memang da'am tapi susunan maok diatur agi supaya si pamacha dapat nangkap ngan jalas sape' salako di bumi diri' nian. Amey nyabut pakara ang sensitif kadek lalu nyakiti pihak lain. Biar fokus 'sape salako' sabab manyak urangk' ana nahuie' diri'.

Kasia Kanaun @ Raya Ramoh said...

Good work. Your blog is very informative.

I am a Salako from Biawak and my blog is http://salakobato.blogspot.com/ though it has not been updated for a long time due to other more important commimitments.

Continue on the good work.

Naremang said...

Terima kasih atas apa yang saudara tuliskan di dalam blog yang amat bermakna ini. Sudah sekian lama saya ingin melihat kesejatian Dayak Salako / Kanayatn / Ahe mengkaji dan menjelaskan pendapat kajian mereka sendiri untuk dipaparkan ke mata dunia. Di Malaysia, khususnya di Sarawak, kesedaran ini masih terlalu kurang. Thanks Bro, Idup Salako....

http://naremangsalako.blogspot.com

Pak Cucut said...

info2 yg bpk utarakn mmg sgt2 bgs.kta d msia nggak bisa pnya penulis yg bpdgn jauh bgitu skali.ha..ha..terima ksh sdra,dgn info yg diutarakn kt sdikit sbnyak dpt btkrr pdgn dan pdpt ttg msykt salako kita..salako sarawak dgn salako di kalbar,salako serumpun....

"JASIHKU Minsitries" said...

Tarima kasihlah sabab kitak ada majawat kajian bakanaan bangsa dirik salako nyian. Tapi kajian kitak nyian akan labih langkap agik kalo kampongth2 di maraga Biawak-Lundu ditulis ugak. Agik segek, anak ada urangth majawat kajian pasal Rara/Lara. Kampongth bala'ey pun anak manyak.Kalo ada informasi agik pasal dirik salako, muihlah email ka aku di salakos@gmail.com. Kalo ada kajian pasal salako vs mandura agik bato.
Tarima kasih. Tuhan Yesus marakatik kita.

Unknown said...

Tarima' kaseh lah boh kamaru' sabab kita' nyiaratn artikel nyian.Artikel jaia lah an paling baguna ka diri'.Labih baguna agi' unto generasi SALAKO an akan atakng.Sabaya baya lah diri' nyatuatn bansa SALAKO nyian.SALAKO SARUMPUN.ana' kira lah SALAKO DI MALAYSIA NGAN SALAKO DI INDONESIA.Diri' tatap KATURUNAN,DARAH SALAKO! ; D

Law-Rince said...

tarima' kaseh ka kita'.artikel nyian cokop baguna.mun dapat siaratn artikel nyangahatn.(tulisan).

Law-Rince said...

tarima' kaseh ka kita'.artikel nyian cokop repo dibaca.kalo dapat,minta' kita' nyiaratn artikel nyangahatn(tulisan).

anna said...

saya org salako tapi dibesarkan di penang,bila org tanya asal usul sendiri,saya tak tahu nak jwp,but selepas saya jumpa blog nie...pengetahuan ttg salako sudah difahami...Baru tahu asal usul sendiri..heehee...thnks alot...

Unknown said...

Terimakasih banyak Pak untuk artikelnya. kebetulan saya dan teman2 juga meneliti tentang masyarakat dayak salako di Sajingan tepatnya di Sungai Bening. artikel ini sangat memberi kejelasan bagi kami. banyak istilah dan ada hal yang terlupakan oleh kami. terimakasih pak...

Unknown said...

kadek ritual muang bide kadirik koo amio gek dak arti e,,,mohon info e boh dak.

Anonim said...

sangat membuka wawasan ....
mak kaseh pak kristianus atok atas artikelnye.
mohon diri' nak nanya' , budayye ngampikng adat sambas pak dari manne asalnye ?

Unknown said...

Numpang batanya, disia ada k nang nulis buku tentang ngabayatn?? Aku agik bagago buku nian yak penunjang skripsiku. Terima kasih

Unknown said...

Numpang batanya, disia ada k nang nulis buku tentang ngabayatn?? Aku agik bagago buku nian yak penunjang skripsiku. Terima kasih

Unknown said...

Tulisan yang sangat baik sebagai bahan literatur. Adil ka taino bacaramin kasarugo basengat ka jubato. Sunio sarabi.