Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

Usaha Komunitas Menuju Multikulturalitas

Senin, 17 Maret 2008

Tim Penyusun: Bagus Suratmoko, Pontius Ajie, Yulianus MAR, Lorensius, Sanding,
Jamalludin, Paulus Luno, Kristianus Atok


A. Pengantar ( alu-aluan)
Multikulturalitas memang baru sebuah wacana. Mimpi yang terkandung di dalamnya adalah bahwa keberagaman kultur suku-suku di negeri ini dihargai oleh negara. Tentu, penghargaan terhadap kultur suku-suku tersebut harus tertuang dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Dan mesti ada jaminan hukum untuk menegakkan penghargaan tersebut. Dalam situasi ideal seperti itu diharapkan tidak ada lagi anggapan bahwa suatu kultur lebih maju, lebih halus atau lebih baik dari yang lain. Perubahan-perubahan kultural harus diserahkan pada sosietas (kelompok masyarakat) yang memiliki kultur yang bersangkutan.
Penghargaan terhadap kultur suku-suku mensyaratkan pemahaman yang mendalam. Untuk sampai pada pemahaman yang mendalam perlu diadakan penelitian-penelitian. Ketika pemahaman sudah didapat dia harus disebarluaskan melalui pendidikan.
Namun kenyataan yang kita hadapi adalah bahwa negara cenderung tidak sensitif terhadap kultur suku-suku. Terciptalah situasi di mana sikap memandang rendah kultur lain, dominasi, diskriminasi, kecurigaan tumbuh subur. Masyarakat mudah menciptakan stereotip-stereotip. Kejahatan yang dilakukan oleh perorangan mudah menyulut letupan-letupan sosial yang melibatkan identitas-identitas etnis.
Kita mungkin bertanya-tanya. Apakah memang tidak ada penelitian mengenai kultur suku-suku selama ini? Sehingga para pembuat kebijakan tidak memahami kultur suku-suku? Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak pernah mempertimbangkan kultur suku-suku?
Penelitian mengenai kultur suku-suku tidak sedikit yang telah dibuat. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu Hans Daeng, Michael Dove, P.M. Laksono dan lain-lain telah membukukan penelitian mereka terhadap suku-suku di Kalimantan, Jawa, Mentawai, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur. Cabang ilmu sosial yang mendalami kultur masyarakat pun sejak pertengahan abad yang lalu tidak lagi sekedar memahami tetapi juga menyuarakan.
Jadi semakin jelas duduk persoalannya. Bukan karena tidak ada penelitian-penelitian yang dapat mendukung pemahaman mengenai kultur suku-suku maka para pembuat kebijakan tidak memahaminya, melainkan karena mereka memang tidak mau memahaminya.

***

Jika kebijakan negara sensitif terhadap keberagaman kultur suku-suku maka keberagaman kultur tersebut dipahami dan dilindungi. Dengan demikian suku-suku yang cara bertaninya dengan sistem perladangan rotasi, misalnya, tidak perlu merasa rendah diri atau terancam. Sebab negara memahami dan melindunginya. Demikian juga, bukan hanya sistem pengelolaan sumber daya alam saja yang dipahami dan dilindungi tetapi juga sistem-sistem yang lain yang dipunyai oleh suku-suku: tata aturan politik, tata aturan etika dan moral, sistem religi dan lain-lainnya. Sebab ilmu pengetahuan mengajarkan kepada kita bahwa sistem-sistem ini tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling kait mengkait satu sama lain dan penciptaanya tentu didasarkan atas petimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Karena tanpa pengaturan-pengaturan yang didasarkan pada petimbangan yang masuk akal tentu sosietas tersebut sudah punah sedari dulu. Dan pertimbangan-pertimbangan tersebut terbentuk sejalan dengan proses pergaulan masyarakat tersebut dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.

Dapat kita simpulkan bahwa paling tidak ada tiga hal yang harus terus kita usahakan untuk mencapai situasi yang kita impikan seperti yang disinggung pada alinea pertama. Pertama, penelitian-penelitian mestinya tetap dilakukan. Kedua, pendidikan mengenai keberagaman kultur suku-suku ini mesti terus diusahakan. Pendidikan tentu tidak harus diartikan secara sempit sebagai persekolahan saja. Lokakarya-lokakarya, seminar-seminar, diskusi-diskusi, dialog-dialog dan sebagainya adalah bentuk bentuk pendidikan. Demikian juga tingkah laku kita ternyata dapat juga mendukung pesan-pesan pendidikan. Ketiga, usaha-usaha untuk mempengaruhi perubahan kebijakan (dengan menghapus kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan orang banyak, merevisi kebijakan yang ada atau membuat kebijakan baru yang lebih memihak) perlu dilakukan.

***

Mengapa Usaha-usaha Komunitas menuju Multikulturalitas ini dijadikan tema? Tema ini sebenarnya merupakan benang merah dari diskusi-diskusi komunitas-komunitas dari berbagai tempat selama Lokakarya Pembelajaran Komunitas yang diadakan oleh Yayasan Pangingu Binua di Wisma Immaculata, Pontianak 8 – 10 November 2002. Lokakarya ini sebenarnya merupakan salah satu kegiatan dari serangkaian kegiatan Yayasan Pangingu Binua bersama mitra-mitranya dalam memfasilitasi komunitas-komunitas dalam mendalami makna kebersamaan dalam keberagaman kultur. Komunitas-komunitas yang difasilitasi tersebut adalah komunitas di Tumiang (Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang), Mandor Capkala (Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang) Raba dan Sunge Banokng (Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak), Tarok (Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupeten Landak), Retok (Kecamatan Kuala Ambawang, Kabupaten Pontianak) dan Korek (Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak) dan Sasak (Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas).

Rangkaian kegiatan-kegiatan, yang antara lain termasuk lokakarya di atas, dan juga penerbitan buku kecil ini boleh dipandang sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh Yayasan Pangingu Binua dalam menguatkan pemahaman mengenai keberagaman kultur. YPB melakukannya dengan mencoba membangun saling pemahaman antar komunitas-komunitas yang difasilitasi. Penelitian-penelitian kecil juga dibuat untuk mendukung semua itu. Sambil berproses, dan dengan dukungan kawan-kawan, YPB tentu akan melakukan usaha-usaha untuk mempengaruhi perubahan kebijakan.

Tentu harus diakui bahwa usaha-usaha ini baru pada tahap awal. Harus diakui juga keterbatasan-keterbatasan YPB. Sehingga misalnya jangkauan kegiatan ini tentu tidak bisa dibuat terlalu luas, dengan lingkup propinsi, misalnya. Dalam keterbatasannya YPB memilih lingkup yang paling mungkin dijangkau dengan harapan komunitas-komunitas yang ambil bagian dalam usaha-usaha ini pada lingkup yang terbatas tadi dapat menjadi titik-titik penyebaran ke lingkup yang lebih luas lagi.

Dengan buku kecil ini juga diharapkan pembaca, selain akan lebih memahami keberagaman, juga mencintainya.




















B. Usaha Komunitas-komunitas menuju Multikulturalitas


1. Cerita dari Tumiang

Kesejarahan dan Situasi Sosio-Kultural

Tumiang merupakan sebuah desa yang terdiri dari kampung-kampung Sangkinahu, Pegandung, Ape, Pate, Rancang, Nek Riapm, Sake’, Sabah dan Padakng di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang. Terletak di titk pertemuan kelompok-kelompok etnis, desa ini hampir selalu terposisikan di garis depan dalam setiap letupan kekerasan kolektif yang melibatkan kelompok-kelompok etnis. Pengalaman terancam, terbunuh, terjebak ke dalam dilema-dilema kekerasan maupun terancam sumber penghidupannya, yatu tanah, warga desa ini menjadi berkarakter keras. Pengalaman seperti ini memaksa orang-orang Tumiang cermat mencatat karakter-karakter kelompok-kelompok etnis lain supaya bisa menentukan kelompok mana yang dapat dijadikan kawan dan mana yang tidak.
Dari diskusi-diskusi warga kampung di tempat-tempat pembelajaran komunitas, tergali berbagai cerita mengenai kesejarahan orang-orang di Tumiang. Sebelum diperkenalkannya sistem desa yang seragam pada jaman Orde Baru, kampung-kampung di Tumiang terikat dalam dua kebinuaan. Kampung-kampung Sangkinahu, Pegandung, Pate, Ape, Rancang dan Nek Riapm merupakan wilayah Binua Gado’. Sedangkan Sake’, Sabah, dan Padakng terikat ke dalam Binua Gajekng.
Seperti pada masyarakat hortikulturalis lainnya, komunitas Binua Gado’ maupun Binua Gajekng mengalami beberapa kali perpindahan sebelum menetap di wilayah yang didiaminya sekarang. Pencarian lahan yang lebih subur, peperangan, perpecahan dan penyebaran keluarga-keluarga merupakan alasan-alasan pemicu perpindahan tersebut.
Pada awal mulanya komunitas Binua Gado’ mendiami daerah yang disebut Timu’ di hulu sungai Barabas yang bermuara di sungai Salako (logat Melayu: Selakau). Timu’ sempat dianggap sebagai tiang tangah oleh binua-binua lain. Binua-binua lain selalu berharap Binua Gado’ akan selalu dapat menjadi penengah bila binua-binua lain bersengketa. Timu juga menjadi tempat berkonsultasi binua-binua lainnya. Namun predikat ini runtuh ketika pada suatu saat para pemimpin di Binua Gado’ tidak dapat menahan diri sewaktu mendapat hinaan dari Binua Sawak. Bentuk hinaan yang memicu kemarahan orang-orang di Binua Gado’ adalah ketika salah seorang utusannya dibunuh oleh orang-orang di Binua Sawak dan orang-orang Gado’ dikatakan akan dimasukkan ke dalam keranjang oleh orang-orang Sawak. Orang-orang Gado’ kemudian menyerang Sawak. Ketika orang-orang Sawak tinggal sedikit jumlahnya, mereka mengirim utusan ke Gado’ untuk perdamaian.
Ini terjadi lima generasi yang lalu. Kalau satu generasi berumur dua puluh lima tahun (bukan dihitung dari usia seseorang sampai dia meninggal tetapi dihitung dari berapa umur rata-rata orang melahirkan generasi baru) maka ini terjadi kira-kira seratus dua puluh lima tahun yang lalu. (untuk ini memang perlu penelitian kesejarahan yang lebih serius.)
Cerita mengenai peperangan antara Binua Gado’ dengan Binua Sawak mungkin merupakan awal sejarah kekerasan yang dapat diingat oleh orang-orang Tumiang. Peperangan berikutnya yang dialami oleh orang Tumiang adalah Perang Moterado (1914 ). Perang segitiga yang melibatkan penguasa kolonial Belanda, Kesultanan Melayu dan orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam Republik Lan Fong di Mandor ini menyeret orang-orang Monterado juga. Pada tahun 1967, ketika seorang Panglima Dayak terbunuh di Senakin yang mayatnya diletakkan di depan pemukiman orang-orang Tionghoa untuk mengesankan bahwa korban telah dibunuh orang Tionghoa, menimbulkan kemarahan orang-orang Dayak. Karena peristiwa ini orang-orang Dayak menyerang pemikiman-pemukiman Tionghoa. Rangkaian pengalaman kekerasan berikutnya dialami oleh orang Tumiang kebetulan berkaitan dengan orang-orang Madura. Pada tahun ….. terjadi peristiwa Pusuk Kayu yang bermula dengan seorang Madura yang tidak mengindahkan hukum adat sewaktu yang bersangkutan dinyatakan bersalah. Pembunuhan Kadoet, penusukan Ayak, pembunuhan Polisi Robert, pembunuhan Sakep, pembunuhan anak Piet Pagai adalah rentetan peristiwa, yang meskipun jaraknya tidak terlalu dekat merupakan catatan-catatan traumatik orang Tumiang terhadap orang Madura. Peristiwa kekerasan tahun 1997 di satu sisi dapat dipandang sebagai pelepasan tekanan traumatik tersebut. Pada tahun 1999, ketika orang Melayu berkonflik dengan orang Madura, informasi-informasi yang nampaknya memang harus dikonfirmasikan kebenarannya di lapangan bersimpang siur. Informasi-informasi seperti inilah yang sempat memancing kemarahan warga Tumiang, menyebabkan mereka pergi menyerang sebuah perkampungan orang Madura di dekat Samalantan.
Sementara di satu sisi komunitas ini sering terseret oleh peristiwa-peristiwa kekerasan yang melingkunginya, di sisi lain komunitas ini menghadapi persoalan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Lahan yang semakin sempit, relatif kurang subur dan harga-harga komoditas produk tanaman andalan (misalnya karet) yang fluktuatif, tidak adanya bantuan teknis-bantuan teknis di bidang pertanian menyebabkan ekonomi komunitas ini masih merupakan persoalan besar. Di jaman Orde Baru, organisasi-organisasi rakyat pun harus tergusur. Penyeragaman bentuk pemerintahan terendah, yang oleh pemerintah pusat diterjemahkan menjadi bentuk desa yang seragam bagi seluruh Indonesia (berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa) menyebabkan bentuk-bentuk kepemimpinan lokal tidak terakomidasikan. Tidak hanya kepemimpinan lokal yang tidak terakomodasikan, tetapi juga ikatan-ikatan sub-primordial kampung-kampung rusak atau terbentuk menjadi ego-ego baru dengan diberlakukannya surat keputusan gubernur tentang penggabungan kampung-kampung menjadi desa. Karena kampung-kampung pada waktu itu (dan hingga saat ini) penduduknya sedikit (menurut standar pemerintah, yaitu biasa di bawah 1000 jiwa) maka menurut logika pemerintah provinsi waktu itu sebaiknya kampung-kampung digabungkan menjadi satu desa sehingga satu desa dapat memenuhi standar jumlah penduduk (1500 jiwa atau lebih). Atas dasar hitungan jumlah penduduk, penggabungan tersebut nampaknya masuk akal. Namun ada satu hal yang terlupakan. Yaitu ikatan sub-primordial. Ikatan sub-primordial ini terasa ketika orang (lokal) membicarakan batas binua-binua. Penggabungan desa-desa ini tidak memperhatikan batas binua-binua. Di lain pihak kemudian terjadi bahwa ternyata penggabungan kampung-kampung ini dimanfaatkan oleh pemerintah kecamatan sebagai peluang korupsi. (Beberapa mantan pejabat di Kecamatan Menjalin masih ingat, 40 kampung di kecamatan itu digabungkan menjadi 8 desa. Pada suatu waktu hal tersebut belum terkomunikasikan ke pemerintah pusat sehingga dana subsidi dari pemerintah pusat adalah untuk 40 kampung namun dikeluarkan untuk 8 desa. Dengan demikian terjadi sisa dana yang setara dengan alokasi untuk 32 kampung. Dana ini yang penggunaannya dipertanyakan oleh masyarakat ). Penggabungan kampung-kampung ini menyebabkan dana-dana subsidi yang semula dihitung berdasarkan jumlah kampung sekarang dihitung berdasarkan jumlah desa. Di tingkat bawah ini menjadi bahan konflik karena praktis hanya satu kampung saja di antara beberapa kampung dalam sebuah desa yang mendapat alokasi subsidi. Ketika pemimpin desa tidak dapat menjawab pertanyaan dana tersebut untuk kampung yang mana, hal itu menjadi sumber konflik.
Bergantinya kepemimpinan lokal ke kepemimpinan yang diintrodusir oleh pemerintah menyebabkan hilangnya akar-akar tradisi pengambilan keputusan. Para kepala desa tidak melekat pada tradisi tertentu. Tanpa akar tradisi pengambilan keputusan ini di satu sisi kepala desa sering mengalami kebimbangan saat harus mengambil keputusan politik. Namun di sekaligus dia juga mempunyai peluang yang amat besar untuk menjadi otoriter.

Strategi Fasilitasi, Metode

Justru karena pengalamannya di masa lalu yang selalu terposisikan pada situasi penuh kekerasan, para pegiat YPB berpikir bagaimana memfasilitasi komunitas tersebut dalam usaha-usaha untuk keluar dari pengalaman traumatik masa lalu dan menapaki situasi di mana hidup bersama berbagai-bagai komunitas lain dapat dipelajari bersama. Meski sejarah menunjukkan bahwa peperangan atau kekerasan kolektif tersebut sebenarnya hanya merupakan imbas dari skenario-skenario politik pada jamannya, atau buah dari menumpuknya kekerasan-kekerasan dalam skala individu yang tidak ditindak secara tegas oleh aparat penegak hukum, komunitas-komunitas sangat boleh jadi membentuk persepsi bahwa kelompok yang mereka hadapi itulah lawan mereka yang sebenarnya. Berada pada situasi yang membingungkan dan penuh ancaman inilah yang membekaskan trauma pada komunitas tersebut. Sedikit demi sedikit komunitas ini perlu dibuka kesadarannya. Bahwa bukan keberagaman itu yang membuat orang berkonflik. Di sisi lain juga harus diciptakan pencitraan baru. Komunitas-komunitas yang pernah terlibat di dalam konflik mesti menunjukkan diri mereka bukan kumpulan orang-orang kejam. Mereka mesti menunjukkan diri bahwa mereka bisa bersama-sama lagi komunitas-komunitas yang pernah menjadi seterunya di dalam konflik-konflik dan bersama-sama menyuarakan pada pembuat kebijakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengaturan negara ini sehingga suku-suku mudah berkonflik.
Disadari, ini adalah pekerjaan yang sulit. Pengakuan fasilitator untuk komunitas tersebut bahwa, “penduduk kampung di situ sangat benci terhadap orang-orang Madura”, cukup membuat gamang di satu sisi namun sekaligus menantang di sisi lain. Seperti juga yang diramalkan oleh fasilitator tersebut, “Dengan dampingan yang intensip diharapkan kita memiliki pengetahuan yang cukup tentang mengapa mereka benci suku Madura, diharapkan nantinya kita dapat membuat program bersama mereka untuk membangun kehidupan yang harmonis dengan suku-suku lainnya. Keberhasilan dampingan di kampung ini akan memiliki makna yang besar dalam mengembangkan hidup plural di daerah ini. Mungkin diperlukan waktu sedikit lebih lama dibanding daerah dampingan lain, tetapi proses ini akan menjadi bahan pembelajaran yang bernilai strategis”.
Untuk menjangkau komunitas di Tumiang, YPB bermitra dengan lembaga yang berbasis di Kabupaten Bengkayang yaitu Yayasan Karamigi. Dengan pengalaman memfasilitasi komunitas-komunitas di Kabupaten Bengkayang dan mempunyai pegiat-pegiat yang berasal dari komunitas di Tumiang Yayasan Karamigi dinilai mempunyai pemahaman yang cukup mengenai komunitas tersebut untuk mempermudah mereka memfasilitasi komunitas tersebut.
Perhitungan-perhitungan tersebut ternyata tidak meleset. Fasilitator di lapangan cepat menemukan pokok-pokok persoalan (isu – dari bhs Inggris issue) yang dapat membuat warga komunitas berkumpul secara periodik sambil mengerjakan sesuatu yang berarti bagi kehidupan mereka. Isu tersebut adalah pertanian. Sebagai komunitas titik fokus, yaitu kegiatan di bidang pertanian. Sebagai komunitas yang hidupnya bertopang pada kegiatan pertanian, komunitas di kampung-kampung di Desa Tumiang menyambut baik fasilitasi di bidang pertanian.
Menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai keberagaman pada suatu komunitas memerlukan sering diadakannya diskusi-diskusi atau bentuk-bentuk pertukaran pikiran dan perasaan. Untuk ini anggota-anggota komunitas perlu sebuah forum. Dan tentu kalau yang membentuk forum tersebut adalah para fasilitator, hal itu tidak akan menarik atau menyentuh kebutuhan dan membangkitkan rasa memiliki jika dibandingkan forum tersebut adalah hasil bentukan warga komunitas itu sendiri. Dengan tertariknya warga komunitas kampung-kampung di Tumiang pada kegiatan belajar bersama untuk memajukan pertanian mereka, mereka telah membuat forumnya sendiri. Sebagaimana yang dicatat oleh fasilitator lapangan untuk Tumiang,
“Warga kampung yang difasilitasi mengembangkan tempat-tempat pembelajaran bersama. Dalam bahasa lokalnya tempat tersebut dinamakan tempat untuk “bahaupm” (berkumpul untuk bermusyawarah atau mendiskusikan sesuatu). Warga kampung juga membentuk kelompok-kelompok tani. Dan kelompok-kelompok tersebut melakukan pertemuan secara berkala maupun berdasarkan pada saat-saat tertentu di mana mereka perlu mendiskusikan suatu masalah.”

“Tempat bahaupm didirikan pada lahan yang merupakan tempat pengembangan tanaman pangan seperti sayur-sayuran. Tiap anggota kelompok membuka lahan sebanyak 2 (dua) bandar dalam satu hamparan. Di situlah mereka mendiskusikan tingkat kesuburan lahan, bagaimana menanam suatu jenis tanaman pangan, bagaimana cara memeliharanya, melakukan percobaan-percobaan dalam memberantas hama, atau pengetahuan apa saja yang didapat dari pelatihan-pelatihan.”


Di tempat pembelajaran itu juga para anggota kelompok tani menganalisis keberhasilan usaha-usaha pertanian yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Singkawang, orang-orang Madura di piggiran kota Singkawang dan orang-orang Jawa di lokasi transmigrasi di Sanggau Ledo. Di pinggiran kota Singkawang tanah pada umumnya tidak subur. Namun mengapa orang-orang Madura yang bertani di sana bisa berhasil? Demikian salah satu pertanyaan yang mereka lontarkan. Secara singkat, hasil analisis ini mengantarkan bahwa keberhasilan-keberhasilan ketiga suku tersebut dalam usaha-usaha pertanian mereka dipandang oleh kelompok tani di Tumiang ini sebagai sisi-sisi positif dari ketiga suku tersebut yang baik untuk dijadikan bahan pembelajaran.
Para pegiat Karamigi mencoba mengembangkan tempat-tempat pembelajaran di kampung-kampung di Tumiang sebagai tempat orang bertanya dan mendapat jawaban sekaligus. Di tempat-tempat itu juga diciptakan suasana di mana orang-orang menggali ide-ide baru dan merencanakan sesuatu. Di tempat pembelajaran untuk kampung-kampung Pegandung, Ape dan Pate, misalnya, warga kampung merencanakan terbitan berkala 2 bulanan. Kebetulan beberapa orang di kampung-kampung tersebut telah mendapat pelatihan jurnalistik lewat Yayasan Karamigi. Saat ini warga pusat pembelajaran tersebut sedang menyiapkan perangkat manajemen untuk mengelola komputer dan printer yang akan segera mereka miliki untuk memulai terbitan berkala tersebut.

……………………

2. Cerita dari Tarok

Sehabis mengunjungi Tumiang dan berkunjung ke Tarok pertama-tama yang dapat kita lihat adalah perbedaan sarana jalan di antara kedua tempat tersebut. Sama-sama terletak di daerah yang berbukit-bukit, jalan di Tumiang buruk sedangkan di Tarok jalan cukup bagus.
Tarok merupakan sebuah kampung di Kecamatan Mempawah Hulu. Bersama dengan kampung Mame, Tarok masuk ke dalam Desa Garu
Sulit untuk disangkal bahwa jalan beraspal yang cukup bagus menuju Tarok adalah berkat proyek Transmigrasi. Lewat berbagai macam pendekatan persuasif aparat Kecamatan dan jajaran Departemen Transmigrasi pada waktu itu akhirnya kepala desa setempat menyetujui pembukaan areal transmigrasi. Namun, meski proyek transmigrasi tersebut diterima, sebenarnya ada perbedaan penerimaan antara warga Kampong Tarok dengan aparat pemerintah kecamatan, kabupaten dan jajaran departemen transmigrasi. Bagi warga kampong, kata transmigrasi sisipan yang sering diucapkan oleh aparat pemerintah tersebut berarti bahwa nantinya di pemukiman transmigrasi tersebut sejumlah warga Tarok, yang jumlahnya akan kurang lebih dengan jumlah total keluarga-keluarga yang datang dapat berbaur dalam pemukiman transmigrasi. Dengan kata lain warga Tarok membayangkan 50 persen penghuni transmigrasi adalah warga pendatang dan 50 persen selebihnya adalah warga Tarok. Harapannya adalah bahwa komunitas lokal bisa mendapat pembelajaran dari komunitas pendatang yang konon kabarnya produktifitas padinya jauh lebih tinggi dari produktifitas sawah-sawah dan ladang-ladang padi di Tarok.
Namun tidak demikian kenyataannya. Pada waktu angkatan pertama keluarga-keluarga transmigran datang di tahun 1986 mereka langsung menempati rumah-rumah di satuan pemukiman yang telah disediakan. Demikian juga angkatan transmigran berikutnya. Di mana warga Tarok akan ditempatkan di tempat pemukimannya yang baru? Bahkan untuk angkatan kedua, kira-kira satu tahun setelah angkatan pertama datang, beberapa rumah harus disiapkan cepat-cepat supaya para transmigran yang datang bisa mendapat tempat berteduh.
Mengenai pembelajaran yang diharapkan oleh warga lokal, yang terjadi malah sebaliknya. Warga pendatang, yang berasal dari daerah Banyumas dan Semarang cepat belajar dari orang-orang di Tarok. Ibu-ibu transmigran, yang mencari tambahan pendapatan dengan berjualan sayur cepat belajar bahasa Ba’ahe. Mereka cepat menyesuaiakan diri. Kemampuan ini tentu diperlukan agar mereka mendapat pelanggan dan rejeki mereka menjadi tetap. Para bapak, yang kemudian mempelajari bahwa lahan tidak begitu subur lebih memilih menanam karet, sayuran, palawija atau mengembangkan kolam ikan dibandingkan bertanam padi di sawah. Daerah ini memang mendapatkan air dari mata air di perbukitan di atasnya. Selain berkebun dan mengelola kolam ikan, para pendatang ini ada yang mengembangkan usaha pembuatan tahu dan tempe pada skala industri rumah tangga. Sampai tulisan ini dibuat, meski mengaku tidak pernah mendulang keuntungan yang terlalu besar, para pengelola pabirk tahu dan pabrik tempe di satuan pemukiman transmigrasi Tarok ini mengaku tidak pernah rugi juga. Hingga sekarang, kedua pabrik itu masih bertahan.
Keprihatinan pegiat YPB yang bertuga mendampingi Tarok dan sekitarnya adalah bagaimana pembelajaran ini menjadi berimbang. Bagaimana orang dapat saling belajar tanpa “jatuh gengsi” satu sama lain. Diyakini bahwa meskipun yang akan menjadi pembelajaran mungkin akan lebih banyak merupakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar: bagaimana mengembangkan teknik-teknik bertani, beternak, memelihara ikan, kerjasama ekonomi, dan sebagainya, dengan pembelajaran ini dua komunitas akan bertemu. Dalam pertemuan tersebut akan selalu terbangun komunikasi. Dalam komunikasi ini nilai-nilai akan dipertukarkan, akan ada pembelajaran-pembelajaran baru yang justru akan tumbuh dari reaksi satu sama lain atas karakter yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, nilai-nilai yang berbeda dan kenyataan bahwa tidak terhindarkan bagi seseorang untuk lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kultural tertentu.


3. Cerita dari Sunge Banokng

Sunge Banokng merupakan daerah bekas lahan pertanian-peternakan masyarakat Tionghoa. Hingga saat ini masih cukup sulit mendapatkan sumber sejarah yang dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana komunitas Tionghoa tersebut tinggal di daerah yang terletak agak di pedalaman tersebut. Sunge Banokng terletak di Kecamatan Menjalin. Kampung yang sekarang berstatus desa tersebut terletak di tepi jalan yang menghubungkan Toho dengan Menjalin, kira-kira 100 kilometer dari Pontianak ke arah timur laut. Jalur jalan yang membelah daerah itu memang bukan jalur yang ramai. Meskipun ada trayek yang melewati daerah itu seperti Pontianak – Bengkayang, Pontianak – Sompak, Pontianak – Anjungan - Darit dan Pontianak – Karangan – Bengkayang – Singkawang, frekuensi trayek tersebut rendah. Selepas jam 7 malam tidak ada bis lewat jalur itu lagi. Sangat besar kemungkinannya, komunitas Tionghoa tersebut tinggal di daerah Sunge Banokng berkaitan dengan cerita mengenai tambang emas. Di kecamatan tersebut memang banyak bekas tambang emas, bahkan sebagian ada yang masih digali emasnya. Dalam sejarah Kalimantan Barat, pemerintah Belanda memang pernah mendatangkan pekerja dari Tiongkok untuk dipekerjakan di pertambangan-pertambangan emas. Sangat mungkin pekerja-pekerja tambang dari Tiongkok tersebut, setelah perusahaan tambang ditutup, bergeser ke Sunge Banokng untuk ganti haluan menjadi petani.
Pada pertengahan hingga akhir tahun 60-an situasi politik di Indonesia penuh pertikaian antar kelompok-kelompok ideologi. Pada tahun 1966 Soeharto menjadi presiden, menggantikan Soekarno yang akomodatif terhadap semua kelompok ideologi. Dengan berkuasanya pemerintah yang sangat anti komunis semua kelompok maupun perorangan yang diduga mempunyai kaitan dengan komunis dibabat habis. Tidak terkecuali orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat yang memang kebanyakan mempunyai kaitan dengan BAPERKI, mendukung gerakan komunisme dan mempunyai hubungan kultural yang erat dengan negara Tiongkok yang komunis dan menganus sistem kewarganegaraan ganda. Pada masa setelah konfrontasi Indonesia – Malaysia yang dimulai oleh Soekarno, banyak pasukan yang dikirim dari Jawa dan ditambah dengan hasil perekrutan dari orang-orang Kalimantan Barat yang kemudian mendukung gerakan komunis. Penumpasan pasukan berafiliasi komunis ini kemudian disambung dengan penumpasan kelompok Tionghoa pendukung komunisme. Karena di satu sisi ingin mendapat kesan tidak terliabat sedangkan secara teknis juga mungkin pihak militer sulit membedakan kelompok Tionghoa komunis ini dengan orang-orang Dayak, maka diciptakanlah situasi di mana orang-orang Dayak terprovokasi dan menyerang serta mengusir kelompok Tionghoa ini. Komunitas Tionghoa di Sungai Banokng tidak terkecuali.
Menurut penuturan sumber-sumber yang ada di Sungai Banokng, yang tersisa dari pengusiran ini adalah anak-anak kecil yang kemudian diangkat oleh orang-orang Dayak di sekitar tempat itu. Ketika dewasa anak-anak ini kembali tinggal di Sunge Banokng. Sementara itu, sepeninggal komunitas Tionghoa Sunge Banokng ini, daerah tersebut menjadi kosong. Karena kosong inilah maka orang dari berbagai tempat tertarik untuk tinggal dan mengusahakan lahan di daerah ini. Demikianlah, maka sekarang Sunge Banokng mempunyai penduduk yang berbagai-bagai etnisitasnya: Dayak, Jawa, Melayu, Tionghoa. Bahkan sebelum tahun 1999 masih ada beberapa keluarga beretnis Madura yang tinggal di Sunge Banokng. Namun, sebagaimana karakteristik daerah yang ditinggalkan, terlepas dari bagaimana asal muasalnya kepemilikian orang yang meninggalkannya, klaim atas tanah di daerah sebagiannya bertumpang tindih.
Cerita mengenai perginya keluarga-keluarga Madura dari Sunge Banokng, meskipun merupakan imbas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar daerah itu dan jauh dari tindak kekerasan, tetap merupakan kisah yang tidak terlalu menggembirakan. Pada tahun 1997, keluarga-keluarga Madura yang tinggal di Sunge Banokng diungsikan oleh tetangga-tetangganya yang orang-orang Dayak supaya tidak kena serang orang-orang dari kampung-kampung lain. Pada saat keadaan telah normal beberapa bulan kemudian, keluarga-keluarga tersebut kembali ke Sunge Banokng. Namun pada tahun 1999 pecah peristiwa Sambas. Karena terletak di tepi jalan dan keadaan pada umumnya cukup kacau sehingga siapa saja dapat terprovokasi, keluarga-keluarga Madura tadi sekali lagi diungsikan. Yang terakhir ini membuat mereka enggan untuk kembali lagi. Tanah dan rumah pun kemudian mereka jual.
Sebagai komunitas yang mempunyai warga yang terdiri dari berbagai kelompok kultural, tentu selalu ada perbedaan-perbedaan yang mula-mula dapat menimbulkan kesalahpahaman. Namun kesalahpahaman-kesalahpahaman ini nampaknya disikapi oleh sebagian besar warga Sunge Banokng sebagai pembelajaran. Karena selalu saja upaya-upaya untuk menyelesaikan setiap kesalahpahaman. Pernah ada seorang warga yang berasal dari Jawa, ketika mendengar anaknya berkelahi dengan anak tetangganya yang orang Dayak, dia langsung berlari dari kebun menuju rumah tetangga tadi tanpa menyadari bahwa dirinya masih membawa parang. Anaknya ternyata tidak bersalah, tetapi ketika permufakatan dibuka menggunakan adat setempat, orang itu yang kemudian harus mengeluarkan syarat adat. Yang bersangkutan bertanya-tanya, karena merasa dirinya tidak bersalah. Ketika dijelaskan permasalahannya dia baru paham. Ternyata menurut adat setempat, sangat pantang bagi seseorang untuk membawa parang ke rumah orang lain, karena bagaimanapun itu dianggap sebagai ancaman pembunuhan.
Namun, menurut catatan fasilitator YPB untuk kampung ini, ada beberapa penyakit psikologis yang belum benar-benar disembuhkan yaitu sisa penyakit peristiwa 1997, sisa penyakit peristiwa 1999, klaim atas tanah yang belum semuanya selesai, keengganan-keengganan individu-individu untuk meningkatkan komunikasi dengan orang-orang yang bukan kelompoknya dan kemauan-kemauan individu-individu yang ingin dipaksakan kepada orang-orang lain. Sisa-sisa penyakit peristiwa 1997 dan 1999 lebih sering kambuh di lingkungan pasar. Anak muda yang mabok sering meneriakkan ancaman-ancaman kepada orang-orang yang berbeda etnisnya. Di kampung, klaim tanah yang belum diselesaikan akan menjadi potensi konflik yang laten.
Bagaimanapun pemecahan segala masalah selalu berasal dari kemauan untuk saling mendengar dan bertukar pikiran. Kebiasaan untuk berkumpul, saling mendengar dan bertukar pikiran ini—walaupun tidak dijalankan oleh semua warga—cukup kuat di kalangan warga. Kebiasaan ini juga yang cukup membantu fasilitator YPB bersama-sama dengan warga mencetuskan pembentukan organisasi yang dinamakan Sule Binua.
Di Sule Binua ini banyak hal dibicarakan dan dimulai. Pembentukan koperasi dimulai dengan diskusi-diskusi di forum Sule Binua ini. Dalam 1,5 tahun terakhir ini koperasi yang beranggota 62 orang tersebut telah menghimpun aset sebesar lebih dari 30 Juta Rupiah Rencana pemetaan kampung, yang bertujuan untuk menggambarkan tapal batas untuk memperjuangkan klaim secara kolektif, diperkaya dengan agenda-agenda kerja baru seperti pemetaan bata-batas lahan individu. Dengan cara masing-masing individu yang berminat dibekali pelatihan penggunaan alat pemetaan dan setelah pelatihan wajib melaith temannya, menjadikan motivasi warga meningkat dalam memperjelas batas dan dalam mengelola lahannya.
……………


4. Cerita dari Mandor Capkala

Seperti halnya Sunge Banokng, kampung-kampung di Desa Mandor Capkala adalah “daerah baru”. Kira-kira tigapuluh tahun yang lalu para pemula di desa ini membuka lahan-lahan pertanian dan tempat-tempat pemukiman. Bedanya, kalau lahan di Sunge Banokng merupakan “bekas pemukiman” tanah di Mandor Capkala benar-benar merupakan daerah baru. Sesuai dengan sejarah pembukaannya, etnisitas warga kampung-kampung di desa ini beragam. Ada Pawangi mayoritas penduduknya beretnis Melayu, kemudian Sabandut yang komposisi etnisitasnya paling beragam dan berimbang: Melayu, Dayak dan Tionghoa dan Mandor yang semua penduduknya beretnis Melayu.
Sebelum tahun 1999 ada perkampungan warga yang datang dari Madura. Namun pada tahun 1999, ketika terjadi kerusuhan, warga Mandor Capkala pada umumnya tidak cukup kuat untuk membendung serangan yang datangnya dari berbagai arah terebut.
Komposisi etnis penduduk kampung-kampung di desa yang terletak dalam wilayah Kecamatan Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang yang berbagai-bagai ini menyebabkan warganya harus kreatif mencari cara untuk bisa hidup bersama-sama dan memecahkan berbagai masalah bersama. Sebab jelas, dalam kehidupan bersama tidak mungkin digunakan cara atau tradisi salah satu kelompok saja. Yang lebih mungkin adalah mengkompromikan cara-cara dari berbagai kelompok. Inilah pandangan dasar orang-orang di Mandor Capkala mengenai bagaimana mereka harus berusaha bersama-sama dan menjaga kerukunan. Berangkat dari pandangan inilah warga di Mandor Capkala menggagas Forum Komunikasi Masyarakat Multi Etnis Binua Mandor Capkala. Tujuan utama pendirian forum ini adalah bahwa masalah salah satu kelompok di desa ini baik kalau dijadikan masalah bersama sehingga lebih banyak pendapat yang bisa disatukan untuk memecahkannya. Forum ini lebih ditujukan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan hubungan antar etnis di desa tersebut.
Warga yang mempunyai minat pada seni pun terpanggil juga untuk memperkuat ikatan antar etnis lewat kelompok kesenian. Para seniman Dayak dan Melayu membentuk kelompok tari yang diberi nama Jonggan Pangingu Batu Baya.
Di bidang usaha pertanian, para petani juga membuat kelompok-kelompok. Selain sebagai kelompok usaha pertanian, di mana mereka bisa saling berbagi pengalaman mengenai masalah pertanian, kelompok-kelompok ini juga mereka gunakan sebagai tempat untuk mendiskusikan berbagai masalah lain.
Walaupun semangat untuk berforum dan membentuk kelompok yang bertujuan untuk kebersamaan di desa ini cukup besar, ada satu hal yang jika tidak disikapi secara bijaksana akan menjadi sumber perpecahan di desa ini. Hal yang dimaksud adalah kandungan kaolin yang tidak begitu merata di kampung-kampung di desa ini. Paling tidak kampung-kampung yang memiliki kandungan bahan keramik dan porselen ini adalah Pawangi dan Sabandut. Kecenderungan ke arah perebutan sumber pendapatan ini—sekarang untuk tingkat desa kaolin ditambang untuk perusahaan dari Inggris—saat ini muncul dalam bentuk keinginan kampung-kampung tersebut ingin memekarkan diri menjadi desa. Jika memang terjadi pemekaran desa ini, maka nantinya akan ada desa yang mempunyai sumber pendapatan yang lumayan dan ada desa yang sumber pendapatannya sangat minim.

5. Cerita dari Raba

Desa Raba di Kecamatan Menjalin mempunyai cerita tersendiri bukan karena kantor Yayasan Pangingu Binua berada di Kampung Raba, Desa Raba. Tempat ini mempunyai cerita tersendiri karena mempunyai sejarah yang panjang. Pada dasawarsa pertama abad yang lalu, tempat ini sudah dijadikan pusat kegiatan pastoral gereja Katholik. Menyusul pendirian gereja adalah pendirian sekolah. Terutama dengan adanya sekolah tadi orang dari berbagai tempat datang untuk bersekolah. Karena tidak ada asrama, para pelajar ini tinggal di keluarga-keluarga. Banyak dari para pelajar ini setelah tamat tidak kembali ke kampung asalnya tetapi berkeluarga dengan orang Raba, mencari penghidupan di Raba dan menetap di Raba. Ini terjadi sudah cukup lama dan tentunya cukup membuat pola menetapnya penduduk Raba berbeda dengan pola tinggal penduduk kampung-kampung lain.
Asal usul yang berbagai-bagai ini tercermin juga pada kepemilikan kebun buah secara kolektif turunan yang dalam bahasa lokalnya disebut timawakng. Timawakng (yang mempunyai sebutan yang berbeda-beda di sub-sub suku lain namun konsep dasarnya kurang lebih sama) adalah sehamparan tanah yang merupakan bekas areal pemukiman (rumah panjang) yang kemudian ditanami berbagai macam tanaman buah-buahan, kemudian setelah berpuluh-puluh tahun menjadi milik orang sekampungan karena orang-orang yang dahulu menanamnya telah mempunyai cucu dan cicit yang menjadi (sebagian atau seluruhnya) penduduk kampung tersebut. Di Raba areal timawakng ini sangat minim dalam luasannya. Artinya, kemungkinan, tidak banyak orang-orang tua pada jaman dahulu yang “menciptakan” timawakng. Mungkin karena tetua-tetua generasi berikutnya tidak bisa melakukannya karena merupakan pendatang dari kampung-kampung lain.
Di sisi lain, letak Raba yang tidak terlalu jauh ke dalam dan sejarahnya sebagai pusat misi dan persekolahan pada jaman dahulu, dan terlabih sebagai pusat misi keagamaan, menjadikan daerah ini daerah yang “terbuka”. Efek dari tinggal di daerah terbuka ini penduduk Raba relatif lebih mudah untuk berinteraksi dengan orang luar. Pada acara diskusi penggalian masalah bersama yang difasilitasi oleh YPB, nampak bahwa boleh dikatakan semua orang di Raba berpandangan bahwa perbedaan suku dan agama bukan halangan bagi mereka untuk berinteraksi dengan orang dari tempat lain asal prinsip-prinsip tidak saling merugikan tetap dipegang.
Kenyataan sejarah sebagai bekas pusat misi keagamaan membekaskan kebiasaan-kebiasaan religius pada penduduk desa ini. Kaum perempuan sangat menonjol perannya dalam kelompok pendalaman kitab suci yang biasa disebut Kelompok Kitab Suci (KKS). Kelompok-kelompok yang lebih luas cakupannya adalah Kelompok Basis Gereja (KBG). Kedua kelompok inilah yang antara lain dimanfaatkan oleh fasilitator di kampung tersebut sebagai pintu untuk mengajak warga Desa Raba mendiskusikan masalah-masalah di kampungnya, masalah-masalah yang menyangkut diri mereka, selain masalah-masalah kegerejaan.
Walaupun agak pelan, kelompok-kelompok diskusi, dalam hal jumlah anggota dan jumlah jenis kelompok berkembang secara pasti. Ada kelompok diskusi yang anggotanya tidak hanya orang muda saja yang telah merencanakan untuk mengembangkan radio komunitas. Ada kelompok perempuan yang sambil mengembangkan ketrampilan jahit-menjahit berdiskusi mengenai banyak hal. Ada juga kelompok yang peduli terhadap lingkungan. Ada sehamparan lahan yang ditumbuhi lalang di Kampung Raba. Karena tanah itu merupakan tanah kolektif, kelompok tadi sepakat untuk bersama-sama menghijaukannya.
Menurut fasilitator YPB yang bertugas “menemani” komunitas Raba perkembangan kelompok-kelompok diskusi ini memang menantang. Namun di lain pihak harapan komunitas yang terlalu besar sementara perbaikan-perbaikan kehidupan bersama yang tidak kunjung membaik ini tentu akan memaksa fasilitator untuk sangat kreatif dalam mengkombinasikan usaha-usaha yang dapat produktif di satu sisi dan mempunyai nilai pembelajaran bersama di sisi lain.


6. Cerita dari Ambawang

Komunitas yang “ditemani” di daerah ini sebenarnya terdiri dari dua kelompok tempat yang berbeda. Yang satu ada di Korek, di Kecamatan Sungai Ambawang dan satunya lagi di Retok, di Kecamatan Kuala Mandor B. Karena mempunyai karakteristik yang hampir sama, kedua tempat tadi disatukan dalam satu cerita.
Banyak hal menarik di Ambawang, baik di Retok maupun di Korek. Pertama, daerah ini merupakan pertemuan dua etnis. Perkampungan di mana kampung orang-orang Dayak dan kampung orang-orang Madura berhadap-hadapan hanya ada di daerah ini. Namun demikian selama ini mereka tidak pernah berkonflik. Tentu dalam hidup bertetangga ada terjadi persoalan-persoalan. Namun persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi bersama. Fokus cerita ini sebenarnya justru bagaimana kedua kelompok etnis di kedua tempat di Ambawang tadi bukan hanya menyelesaikan tetapi juga mengantisipasi persoalan-persoalan di depan.
Baik Retok maupun Korek tidak ikut-ikut berkelahi pada peristiwa kerusuhan tahun 1997 dan 1999. Di Retok bahkan terjadi hal yang menarik. Ketika orang-orang entah dari kampung mana mendatangi dan menyerang pemukiman-pemukiman orang-orang Madura, orang-orang Dayak di Retok malah memasang pamabakng. Pamabakng merupakan simbol yang sakral bagi orang Dayak – khususnya dari komunitas Dayak Ba’ahe dan Salako – yang dipercayai dapat mencegah kedatangan kelompok orang yang bermaksud menyerang atau berbuat yang tidak baik. Dalam konteks perkelahian masal yang terjadi di tempat-tempat lain, maksud orang-orang Dayak Retok memasang pamabakng adalah supaya warga Madura Retok tidak menjadi target penyerangan oleh orang yang datang dari tempat entah mana saja. Sebenarnya pemasangan pamabakng pada situasi “gawat” seperti pada tahun 1997 bukannya tidak membawa konsekuensi. Orang-orang Dayak Retok sadar akan konsekuensinya. Konsekuensi terberat adalah bahwa mereka akan “tidak dipedulikan” oleh komunitas Dayak yang lain. Bagaimana kalau mereka menjadi target penyerangan? Siapa yang akan dimintai bantuan? Pada saat itu semua warga Retok sepakat untuk membuat pengamanan silang. Orang-orang Madura menjaga kampung orang Dayak sedangkan orang Dayak menjaga kampung orang Madura. Yang tidak kalah menarik di sini, kedua belah pihak sepakat untuk tidak mengijinkan orang asing—bagi kampung Dayak orang Dayak lain yang bukan warga kampung dan bagi kampung Madura orang Madura lain yang bukan warga kampung—masuk dan tinggal di kampung mereka.
Di Sungai Ambawang pada saat itu memang terjadi sebuah insiden. Tapi insiden ini cepat ditanggulangi. Namun pada tahun berikutnya, ketika terjadi peristiwa yang sebenarnya dapat memicu perkelahian antar etnis, orang-orang Sungai Ambawang terbukti dapat mengantisipasinya. Perisitwa itu adalah tertikamnya Valens, orang Dayak, pengusaha dari daerah itu,. Suatu pagi Valens ditikam oleh orang Madura di Hotel Garuda Pontianak. Berita segera menyebar. Orang-orang di Pontianak yang tahu Valens dan mendengar berita itu mulai khawatir. Selain mengkhawatirkan keselamatan Valens juga mengkhawatirkan jangan-jangan perkembangan situasi menuju pada perkelahian etnis. Ternyata yang terjadi di Sungai Ambawang bahkan sebaliknya. Tokoh-tokoh orang Madura di situ menggerakkan orang-orangnya untuk menemukan orang yang menikam Valens, sementara Pak Darus, ayah Valens, menyebarkan berita supaya orang-orang Dayak tetap tenang dan tidak terprovokasi. Keadaan dapat diatasi. Orang yang menikam Valens pun tertangkap.
Kedua cerita di atas mencerminkan betapa komunitas Madura dan Dayak di kedua Ambawang (Kuala Ambawang B dan Sungai Ambawang) sama-sama mempunyai kesadaran untuk saling menjaga supaya dapat hidup bersama-sama. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa perkelahian tidak akan pernah membawa manfaat.
Namun, meski demikian tentu ada hal-hal yang masih harus diperkuat. Karena pada dasarnya mereka sebenarnya kesendirian. Orang-orang Dayak di kedua Ambawang adalah komunitas Dayak yang jauh dari komunitas-komunitas Dayak lainnya. Demikian juga orang-orang Madura. Meskipun mereka sudah hidup bersama-sama selama sekian puluh tahun sehingga satu sama lain sudah saling tahu tradisinya, sudah saling menguasai bahasa kawan, sudah bisa menyesuaikan diri dengan undangan-undangan pesta karena ada jenis-jenis makanan yang salah satu pihak tidak boleh memakannya, masih ada juga hal yang hingga sekarang masih persoalan bagi mereka. Slah satunya adalah soal pengelolaan ternak. Komunitas Dayak di kedua Ambawang, seperti halnya komunitas Dayak lainnya, tidak dapat dipisahkan dari ternak babi karena binatang ini mempunyai nilai ritual. Namun di kedua Ambawang, babi tidak dapat dikandang karena letak areal pemukimannya berada di tanah rendah di tepi sungai sehingga air sering naik. Jika babi dikandangkan, harus seberapa tinggi kandang babi tersebut? Jika dibuat dengan ukuran yang biasa maka babi akan terendam ari saat air pasang. Jadi babi pun tidak dikandang. Karena babi tidak dikandang dan binatang ini suka dengan tanaman ubi, binatang-binatang ini cenderung mencari ubi di tanah yang agak tinggi di kebun-kebun orang Madura. Tentu ini menjadi gangguan bagi warga Madura. Selain karena agama mereka tidak memperkenankan berurusan dengan babi, juga karena babi tersebut merusak tanaman. Oleh situasi seperti ini warga Madura pun berkeputusan untuk tidak mengandangkan sapi dan kambing mereka. Celakanya binatang ini cenderung mencari tempat yang agak sejuk. Sapi perlu tempat di mana mereka dapat dengan mudah minum. Dan tempat yang memenuhi syarat seperti ini bagi ternak tersebut adalah kebun orang-orang Dayak. Walaupun nampaknya hal kecil, ini akan menjadi ganjalan bagi hubungan kedua belah pihak jika tidak dicarikan penyelesaiannya.



7. Cerita dari Sasak

A. Menjaga Keseimbangan dengan Adat

Kalau kita berkunjung ke Sasak pada waktu salah seorang warga meninggal dan kita tidak langsung menuju tempat orang yang meninggal, akan sulit bagi kita untuk bertemu para bapak di sana. Para ibu pun akan sedikit yang bisa ditemui. Sebab mereka berkumpul di rumah orang yang meninggal hingga pemakaman dilaksanakan.
Ilustrasi di atas menggambarkan suasana kerukunan di Kampung Sasak, sebuah kampung paling hilir di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas. Penduduk tidak hanya bahu membahu pada waktu kesusahan saja. Pada waktu pesta bahkan lebih banyak orang ikut ambil bagian. Sebab pesta, seperti pesta perkawinan atau pesta inisiasi anak dengan ritual yang disebut tapung tawar, adalah sesuatu yang direncanakan. Dan RT mendukung ini semua. Di RT-RT ada arisan yang bertujuan untuk menghimpun dana untuk membeli alat-alat masak memasak dan barang pecah belah sebagai inventaris RT untuk digunakan jika ada warga RT yang mengadakan pesta. Jika seorang warga berencana mengadakan pesta, sebulan sebelumnya pengurus RT mengajak warga untuk berkumpul memberitahukan hal ini. Selain untuk menyampaikan pengumuman pertemuan ini juga dimaksudkan supaya warga siap jika ada “petugas” dari RT yang datang untuk menarik “iuran” pesta. Iuran ini berupa beras, ayam dan sejumlah uang. Namun, seperti kata Pak Ilak, ketua RT III Dusun Sasak, iuran masing-masing RT berbeda-beda bentuk dan angkanya. “Itu semua tergantung dari kesepakatan warga RT yang bersangkutan”, katanya.
Sasak sendiri merupakan kampung yang unik. Kampung ini merupakan kampung Dayak yang paling hilir sekaligus merupakan kampung Melayu yang paling hulu. Di kampung ini 85 persen penduduk dari etnis Dayak Salako bertemu dengan 14 persen penduduk beretnis Melayu. Meski berbeda etnisitas dan tentu saja berbeda kulturnya, komunitas Dayak Salako dan komunitas Melayu di Sasak dapat hidup berdampingan dengan sangat baik. Ini sudah dibuktikan selama lebih kurang 40 tahun. Selama itu tidak pernah terjadi konflik antara keduanya.
Hal yang nampaknya cukup kuat mendukung terciptanya kerukunan ini adalah masih kuatnya ketaatan warga terhadap adat. Bahkan pengelolaan kehidupan bersama antara komunitas Dayak Salako dan komunitas Melayu didasarkan pada adat. Artinya, dengan adatnya komunitas Dayak Salako menghormati eksistensi komunitas Melayu sementara komunitas Melayu menghargai keberadaan komunitas Dayak Salako antara lain dengan mentaati aturan-aturan yang disepakati bersama. “Kalau kampung mengadakan balala’ (berpantang untuk keluar kampung dan menerima tamu dari kampung lain sebagai ritual penolak bala dan dilakukan satu kali dalam setahun) kami ikut. Itu perjanjian sejak kami bersama-sama mendirikan kampung ini,” kata Nawardi Darmansyah (31) Ketua RT 5 Dusun Sasak. Tentu tidak semua aturan adat berlaku wajib bagi komunitas Melayu. Hanya aturan-aturan dan ritual yang yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan kehidupan di tingkat kampung saja yang menjadi aturan bersama.
Apakah hal ini diam-diam memberatkan komunitas Melayu Sasak? Ternyata tidak. “Kami percaya aturan adat itu mengatur hal-hal demi kebaikan bersama,” demikian keyakinan Nawardi Darmansyah. Hal ini diperkuat oleh para pengurus adat di Sasak. Para pengurus adat sependapat bahwa adat sebenarnya “pengatur atau penjaga keseimbangan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan”.
Dari diskusi-diskusi dengan para pengurus adat dan anggota masyarakat luas di Sasak, dapat disimpulkan juga bahwa adat tidak otomatis menjaga keseimbangan tadi. Kalau orang masih percaya dan melaksanakan keyakinan bahwa “adat tidak dapat dikurangkan dan tidak dapat ditambah” maka keseimbangan tercipta. Dalam bahasa lain adat harus dijalankan secara konsisten dan adil. Memang sulit untuk menjelaskan kata adil. Tapi jika satu putusan adat “merupakan hasil musyawarah dari banyak pengurus adat sesuai dengan tingkatan perkara yang bersangkutan” maka keadilan ini masih bisa diharapkan. Artinya sebenarnya di dalam struktur adat ada juga mekanisme yang demokratis. Memutuskan sesuatu secara bersama-sama berarti membuka mekanisme kontrol. Ini tentu jauh lebih demokratis dibandingkan bila satu orang saja yang memutuskan. Tirani akan terjadi.
Dengan “filsafat” adat yang seperti ini, kita menjadi tidak heran bila kampung yang didiami dua komunitas yang berbeda kultur dan individu-individu yang datang dari berbagai etnisitas yang kawin dengan orang setempat (3 laki-laki dari Flores 1 laki-laki Bugis, 1 laki-laki Melayu, 1 laki-laki Sunda dan 1 perempuan Sunda yang kawin dengan penduduk setempat) kehidupan harmonis di kampung tersebut bisa terjaga.
Kuatnya ketaatan warga terhadap adat sangat berpengaruh juga terhadap rendahnya angka kasus pelanggaran adat
“Sebenarnya ada juga perkara-perkara kecil. Namun itu dapat diselesaikan di tingkat keluarga. Tapi itu pun terhitung cukup jarang. Tahun ini hanya ada satu kasus. Tahun lalu tidak ada”, kata Marius Sukisman (51), tuha binua (pemimpin adat tertinggi) untuk binua Sampayang, yang meliputi sebagian besar kampung-kampung di Kecamatan Sajingan Besar.
Hal yang cukup menarik adalah bahwa warga pendatang di Sasak tidak pernah ada yang terlibat kasus pelanggaran adat. Memang jika kita lihat komposisi penduduk di atas, warga pendatang ini memang tidak banyak jumlahnya. Namun ini banyak kaitannya dengan keyakinan para pengurus adat bahwa “kita harus memberi tahu tentang adat kita kepada setiap orang yang datang.”
“Menurut adat di sini, pendatang yang kawin dengan orang sini dicarikan saudara. Istilah sininya gambar kapala. Saudara atau gambar kapala inilah yang akan banyak memberitahu kepada pendatang tadi tentang adat di sini. Gambar kapala tadi juga berkewajiban membayar sanksi adat jika yang bersangkutan melakukan kesalahan,” tutur Marius Sukisman menjelaskan sikap penerimaan masyarakat setempat terhadap orang yang datang untuk menetap.
Penjelasan mendalam tentang mengapa warga komunitas Kampong Sasak taat terhadap aturan-aturan adat mungkin merupakan tugas para antropolog untuk memberikannya setelah terlebih dahulu meneliti. Namun orang awam pun sebenarnya dapat menghubung-hubungkan beberapa hal yang masuk akal sebagai hal-hal yang menjelaskan ketaatan terhadap adat ini. Yang pertama adalah para pengurus adat, dan juga anggota komunitas yang lain merasa berkewajiban untuk memberitahu orang yang baru datang mengenai adat istiadat setempat. Hal ini sangat masuk akal. Pendatang yang masuk ke daerah ini dan kemudian menjadi tahu tentang tata aturannya, tentu tidak akan mencoba melanggar aturan jika ia tetap ingin dianggap “kawan” oleh komunitas lokal. Yang kedua adalah bahwa sebagian besar warga kampung ini masih percaya terhadap “tulah”. Ini sebenarnya merupakan bentuk sanksi langsung dari Sang Pencipta, yang dalam bahasa lokal disebut Jubata. Yang ketiga adalah bahwa para pengurus adat menempatkan diri pada posisi penjaga keseimbangan. Tugas menjaga keseimbangan ini nampak dijalankan oleh tuha binua dan pengurus-pengurus adat yang lain. Tuha binua sebagai pemimpin adat tertinggi menterjemahkan tugas menjaga keseimbangan ini dengan berusaha bersikap netral, tidak memihak. Selain bersikap tidak memihak, tuha binua mencoba memimpin berdasarkan keteladanan. Dalam menjaga keseimbangan moral, tuha binua berusaha untuk mulai dengan dirinya menjalankan moral yang benar. Menjalankan moral yang benar ini juga termasuk dalam hal moral keseimbangan alam. Ketika hutan-hutan di sekitar kampung ini telah ditinggalkan oleh proyek-proyek HPH beberapa orang lokal mengusahakannya. Tuha binua tidak tergoda untuk melakukan hal yang sama karena yakin bahwa keberadaan hutan menentukan keseimbangan alam. Menjaga keseimbangan berarti juga tampil sama dengan yang lain. Secara ekonomi memang tuha binua tidak lebih menonjol dari warga yang lain. Dapat dikatakan bahwa pemimpin adat tertinggi binua ini merupakan orang yang biasa-biasa saja tetapi orang-orang menyeganinya karena percaya jabatannya merupakan titpan dari Jubata.

B. Konfederasi Dayak – Melayu
Pemerintah atau negara boleh saja menjalankan bentuk-bentuk administrasi kewilayahan dalam sistem desa. Namun dalam mengelola peri kehidupan antar suku, komunitas Sasak mengembangkan sistem yang unik, yang tentu paling cocok bagi diri mereka. Mereka mengembangkan pengelolaan kehidupan bersama yang bersifat masing-masing mengatur dirinya sendiri. Namun ada beberapa hal yang disepakati bersama. Mungkin bahasa teknis yang cocok untuk untuk menjelaskan sistem ini adalah konfederasi.
Seperti telah disinggung di atas, Kampung Sasak dibentuk oleh komunitas Dayak Salako yang turun dari Riam untuk mencari lahan baru, menghindari peperangan (antara TNI dan tentara Malaysia pada jaman konfrontasi – tahun 1961 – 1963) dan mendekati pasar, dan beberapa orang Melayu yang mula-mula tinggal di situ untuk mengusahakan rotan dan kayu. Beberapa keluarga dari Riam dan kampung kampung lain di perhuluan seperti Batang Air, Sungai Bening dan Sawah, juga membeli tanah yang telah dibuka oleh orang Melayu. Namun mereka secara bersama-sama juga membuka lahan baru. Pada tahun 1965 (?) warga Sasak berpikiran mereka perlu meresmikan kampung mereka yang baru. Pengakuan sebagai kampung dimintakan ke kecamatan. Pihak kecamatan pun setuju. Selain soal pengakuan dari pemerintah, para pemuka kampung ternyata memikirkan satu hal yang cukup penting. Bagaimanapun orang Dayak Salako dan orang Melayu berasal dari dua kebudayaan yang berbeda. Agama yang mereka anut pun berbeda. Orang Dayak Salako beragama Katolik dan Protestan sedang orang Melayu beragama Islam. Namun pikiran para pemuka ini adalah bagaimana dua komunitas yang berbeda latar belakang kulturalnya ini dapat hidup bersama dengan baik? Perlu disepakati semacam perjanjian. Waktu itu keluarga Melayu di Sasak masih sedikit. Jadi ditunjuklah kepala kampung Gurah, kampung yang terdekat dari Sasak, sebagai “wali” orang-orang Melayu yang berada di Sasak. Perjanjiannya memang tidak tertulis. Namun terbukti perjanjian tersebut ditaati dua belah pihak hingga sekarang. Isinya perjanjiannya kira-kira bahwa warga Melayu akan menunjuk pemimpin mereka yang akan bertanggungjawab terhadap tata tertib di lingkungan komunitas Melayu. Warga Dayak Salako mengatur tata tertib mereka berdasarkan adat. Bahkan untuk ritus adat yang berlaku untuk tingkat kampung, misalnya balala’ (pantangan untuk keluar rumah dan menerima tamu sebelum pesta padi sebagai tanda penolakan bala) diikuti oleh warga Melayu secara sukarela.
Kehidupan bersama ini memang nampak menumbuhkan sikap-sikap toleran. Apapun alasannya, keputusan para pemuka Dayak Salako di Sasak untuk mengandangkan babi peliharaan mereka dan memberi sanksi kepada siapa saja yang secara sengaja melepaskan babinya merupakan hal yang tentu sangat simpatik bagi warga Melayu. Sebaliknya, partisipasi warga Melayu dalam acara-acara adat Dayak Salako mengisyaratkan bahwa mereka juga “saudara”. Di kalangan warga Dayak Salako adat memang terasa benar-benar ditegakkan. Para pemimpin warga Melayu dalam sejarahnya juga tidak pernah main-main dalam menjaga ketertiban lingkungannya. Pemuka warga Melayu yang juga ketua RT 5 mengungkapkan sedikitnya ada 3 warga Melayu yang datang dan menetap di Sasak kemudian karena berulang-ulang melakukan perbuatan yang melanggar ketertiban dipersilahkan untuk “keluar” dari kampung. (Yang terjadi ketika ada warga yang dipersilahkan keluar kampung, dia akan kembali lagi untuk menjual hak miliknya biasanya sawah, kebun dan rumah, kemudian pergi lagi untuk selamanya).

C. Aspek Lain-lain

Pada akhir tahun 1970an hingga awal tahun 1980an perusahaan-perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) mulai memasuki wilayah yang sekarang menjadi Kecamatan Sajingan Besar. Perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah bendera PT Yamaker ini bercokol di tempat ini selama kira-kira sepuluh tahun. Hutan-hutan di tepi sungai menjadi sasaran pertama. Sesudah kayu-kayu yang bagus yang berada di tepi sungai habis, perusahaan-perusahaan ini menambah armada peralatan sehingga dapat mengambil kayu-kayu yang berada jauh dari sungai.
Orang-orang lokal ternyata tidak dilibatkan dalam bisnis ini. “Sebagai buruh penebang atau pengangkut pun kami tidak ada,” kata salah seorang warga. Di lain pihak mereka juga takut menggugatnya. “Siapa berani? Mereka semua begini,” kata sumber tadi sambil menepuk kedua bahunya, mengisyaratkan bahwa yang berada di belakang perusahaan-perusahaan tadi adalah pejabat-pejabat militer.
Dalam waktu sepuluh tahun ketika kayu-kayu pun habis, perusahaan-perusahaan itu pun pergi. Melihat bahwa di bekas beroperasinya perusahaan-perusahaan HPH masih ada sisa-sisa kayu, orang-orang yang mempunyai modal, baik orang lokal maupun orang yang berasal dari kota mulai mengusahakan sisa-sisa kayu ini. Namun sudah menjadi rahasia umum juga bahwa pengusaha lokal pun lebih suka menggunakan tenaga-tenga dari luar Kampung Sasak sebagai penebang dan pengangkut kayu. “Tenaga dari luar mau dibayar murah. Mereka juga lebih berpengalaman,” kata salah satu sumber. Orang Sasak yang tidak punya modal dan ingin mengerjakan kayu harus mengerjakannya sendiri. Artinya mereka harus pandai-pandai “mengkapling” lokasi di hutan bekas HPH.
Rusaknya hutan pasca HPH memberi dampak yang langsung terhadap kesuburan tanah persawahan. Terletak di tepi sungai besar pasang surut, persawahan penduduk Sasak sangat sensitif terhadap keseimbangan tata air. Tata air yang tidak seimbang selain akan mengakibatkan naiknya kandungan asam ke permukaan juga mempercepat pencucian unsur-unsur hara. Diskusi-diskusi mengenai pertanian mengungkap bahwa pada tahun-tahun sebelum HPH beroperasi padi dapat tumbuh subur. Kata Pak Mocon, Pangarah Uma (pejabat adat yang membidangi pertanian) Kampung Sasak,”Pada jaman itu, setelah tanah disiapkan, benih padi ditebar-tebar begitu saja pun mau tumbuh.” Jadi jelas bahwa rendahnya produktivitas padi bukan disebabkan oleh gagalnya warga setempat mengadopsi dan mengembangkan pertanian lahan basah (sebelum tahun 1960 di Riam, kampung tua mereka, mereka mengembangkan pertanian padi lahan kering) namun lebih-lebih karena tanah sudah semakin berkurang kesuburannya lantaran hutan sudah rusak. Hal yang kurang mendukung dalam kaitannya dengan hal ini adalah sistem agroforestry orang Sasak, terletak belasan kilometer jauhnya ke arah hulu dari areal pertaniah orang Sasak.
Orang-orang tua sebenarnya sering mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai akan segera habisnya kayu jika dibabat dengan cara yang sekarang. Namun mereka tidak dapat menggunakan “pasal-pasal” dalam aturan adat untuk menjerat para pemburu kayu ini. “Adat hanya mengatur boleh tidaknya orang menebang kayu yang berada di dalam wilayah adat,” kata Pak Tatang, seorang tetua kampung. “Jadi sulit bagi kita untuk menyalahkan orang yang menebang kayu itu.”
Menurut sejarahnya Sasak memang daerah “frontier”. Ada beberapa keluarga Melayu yang membuka lahan di situ. Tidak lama kemudian orang Dayak Salako Sampayang dari Riam turun ke hilir. Sebagian dari mereka membeli lahan yang dibuka oleh orang-orang Melayu ini. Sebagian lain telah membuka lahan sendiri entah bersamaan waktunya dengan pembukaan lahan oleh orang Melayu atau lebih belakangan. Sebagian besar yang lain lagi memutuskan untuk membuka lahan bersama-sama. Sejak saat itulah pendirian Kampung Sasak sedang dilaksanakan.
Sebagai tempat yang berkarakteristik “frontier” hutan yang ada merupakan hutan bebas. Dengan demikian seandainya komunitas ini ingin merestorasi hutan mereka untuk meningkatkan pertanian mereka, mereka mesti melibatkan banyak pihak untuk duduk bersama sebelum gerakan itu dimulai.

0 Comments: