Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

MENGEMBANGKAN BUDAYA DAMAI DI KALBAR

Jumat, 14 Maret 2008

by : Kristianus Atok

PENGANTAR
Provinsi Kalimantan Barat dianggap sebagai daerah rawan konflik.(Human Right Watch). Terdapat tiga argumentasi yang berkembang dalam menjelaskan latar belakang (background) terjadinya konflik tersebut, yaitu (1) perbedaan budaya antara kedua kelompok etnis yang bertikai sebagai faktor utama; (2) argumentasi marjinalisasi (the marginalization argument), melihat proses marjinalisasi penduduk setempat, khususnya kelompok etnis Dayak, akibat dari berbagai kebijakan pembangunan yang diprogramkan pemerintah namun sangat merugikan penduduk setempat, sebagai akar dari munculnya resistensi dan perlawanan dari penduduk setempat terhadap segala sesuatu yang berasal dari luar, dan (3) argumentasi manipulasi politik (the political manipulation argument), bertolak dari penilaian bahwa faktor budaya dan faktor sosial, ekonomi meskipun diakui berperan, tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya konflik etnis yang berskala besar.
Dalam proses sosial, pertemuan komunitas yang berbeda latar belakang kehidupan sosial budaya dalam satu pemukiman akan menghasilkan alternatif, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif sebagai perwujudan proses interaksi sosial. Menurut Rahardjo (1984:144) interaksi sosial yang positif akan timbul apabila pertemuan itu mampu menciptakan suasana hubungan sosial yang harmonis dalam masyarakat. Kondisi ini bisa dicapai jika ada rasa saling menghargai dan mengakui keberadaan setiap etnik, mengurangi dan memperlunak hal-hal yang bisa menyebabkan timbulnya benturan atau konflik serta terbuka dalam bertoleransi. Hal yang bersifat negatif muncul bila pertemuan beberapa golongan etnik itu menimbulkan suasana hubungan sosial yang tidak harmonis karena adanya perbedaan sikap dalam memandang suatu objek yang menyangkut kepentingan bersama.


Konflik dalam suatu masyarakat merupakan suatu keadaan ketidakharmonisan hubungan sosial yang pada dasarnya disebabkan oleh “perbedaan dalam pandangan, dalam persepsi, dalam sistem nilai” (Winardi, 1991:5).Sistem nilai yang dianut oleh masyarakat dalam cara memandang sesuatu hal yang dianggap baik dan buruk, ukuran baik atau tidak baik itu belum tentu sama. Perbedaan nilai budaya itu tidak jarang menimbulkan ketegangan dan kesenjangan, dengan hal yang tak terelakkan adalah bahwa mereka punya kecenderungan kuat memegang identitasnya masing-masing. Kecenderungan orientasi kedalam yang kuat ini merupakan faktor yang kuat ini merupakan faktor yang dapat menimbulkan konflik.

PERDAMAIAN DAN HARMONI
Di Sevilla, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu untuk menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. Hasil pertemuan itu menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif berperang berdasarkan sifat biologisnya. Perang adalah hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), suatu fenomena organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan informasi yang bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan motivasional. Singkatnya, Penyataan Seville menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa ada jenis tanggung jawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok manusia untuk menciptakan perdamaian (Salam, 2005:4 ).
Selanjutnya Salam (2005:5) mengatakan bahwa Hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah berbagai konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah (illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan, sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo ke penolakannya .
Agresi bukanlah sifat dasar bawaan atau naluri/instink melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi Seseorang memperoleh sifat agresi dengan cara mempelajarinya dari rumah, sekolah, dan dari interaksinya dengan lingkungan pada umumnya. Interaksi dalam msyarakat itu membantu memusatkan dan memicu sifat agresi yang terpendam terhadap musuh. Konsep ini penting, terutama ketika konflik itu bersifat etno-nasional atau sektarian. Konsep keharmonisan hubungan antar etnis dapat diartikan sebagai kondisi kehidupan bersama antar kelompok etnik yang dinamis guyub/selaras, rukun/serasi dan saling menguntungkan/seimbang. Ketiga unsur ini berlaku secara sinergis, dan dikatakan dinamis karena dalam realitas hubungan sosial tidak ada yang ekstrim harmonis atau sebaliknya ( Nugroho, Fera, et all , 2004 :77). Hubungan antar etnis dalam negara multi etnis seperti Indonesia adalah persoalan yang sangat penting. Ada tiga faktor yang menentukan corak hubungan antar kelompok etnis dalam suatu masyarakat majemuk, yaitu (1) kekuasaan, (2) persepsi, dan (3) tujuan. (Pelly, Usman, 1989 :1) Di katakannya bahwa kekuasaan merupakan faktor yang utama dalam menentukan situsasi hubungan antaretnis tersebut, sedangkan faktor-faktor lainnya ditentukan oleh faktor utama ini. Adapun faktor kedua adalah persepsi, dalam hal ini adalah cara pandang etnik tertentu terhadap etnik lainnya, yang kemudian dikenal sebagai stereotype. Sedangkan faktor ketiga adalah tujuan (interes), dalam hal ini adanya kecendrungan menyatunya kelas dan kelompok etnis, karena kedua kategori sosiologis ini merupakan kelompok interes memperkuat Modal Sosial
Menurut Fukuyama (2005:19-20) Modal sosial(social capital) dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka . Substansinya terletak pada radius kepercayaan yang ada pada masyarakat. Pada tataran operasionalnya berhubungan dengan : tradisi masyarakat, jaringan sosial , pendidikan, dan pranata sosial yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari Jaringan sosial berkenaan dengan hubungan antar manusia melalui norma-norma dan nilai bersama Kunjungan silaturahmi antar penduduk dapat dipakai sebagai contohnya. Selain itu jaringan sosial dapat diamati pula pada terbentuknya institusi-institusi local yang dibentuk masyarakat dan kepemimpinan yang mengurusinya Kepemimpinan local yang umum adalah yang merujuk pada kepemimpinan tradisional yang informal. Menurut Slamet dan Velsink (dalam Antlov, 2001 ;46), tipe-tipenya adalah orang kuat setempat, dan Kyai. Menurut Weber (dalam Kleden 112) kepemimpinan ditentukan oleh legitimasinya. Ada tiga legitimasi tersebut yaitu : legitimasi tradisional, kharismatis dan rasional. Legitimasi tradisional adalah seorang pemimpin diterima karena kewibawaan dan rasa hormat kepada asal-usulnya. Legitimasi kharismatis adalah seorang menjadi pemimpin karena pembawaan, bakat, dan keunggulan-keunggulan istimewa pribadinya sedangkan legitimasi rasional adalah seseorang diakui sebagai pemimpin berkat kecakapannya dalam bekerja dan mengatasi persoalan dan juga berkat hasil kerjanya yang didukung oleh cara, metode, system, dan prosedur yang rapi dan baku. Institusi local yang dimaksud adalah institusi yang merupakan bagian dari kesejarahan dan organisasi rakyat yang masih hidup. Adat menurut Koentjaraningrat (2000:10-11) adalah wujud ideel dari kebudayaan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu (1) nilai budaya, (2) norma-norma, (3) hukum, (4) aturan khusus. Institusi adat merujuk kepada norma karena berkait dengan peranan dalam masyarakat. Institusi adat menjadi penting karena didalamnya terkandung makna kepemimpinan lokal dengan sistem kekuasaan yang melekat padanya. Alat kekuasaan ini lebih bersifat moral spiritual yaitu pada keyakinan pada hubungan-hubungan yang seimbang antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dan hubungan yang seimbang antara manusia dengan penciptanya. Institusi adat yang menempatkan dirinya pada ranah moral spiritual menyebabkan institusi ini masih hidup di komunitas . Kepemimpinan dalam institusi ini tidak hanya mempertahankan kepercayaan orang banyak, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri institusi ini. Pranata (institution) adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat Koentajaraningrat, (2000)Di dalam kehidupan masyarakat, pranata sosial yang merupakan alat untuk mengatur perilaku kehidupan anggota masyarakatnya adalah Hukum adat . Pospisil dalam Koentjaraningrat (2000:22-23) mengatakan bahwa hukum adat adalah suatu aktivitas pengawasan sosial Salah satu sumber modal sosial terpenting dalam masyarakat dewasa ini ialah sistem pendidikan. Sekolah sejak dulu dirancang tidak semata-mata mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan tetapi juga berusaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan budaya tertentu yang dirancang untuk menjadikan muridnya menjadi warga masyarakat yang lebih baik (Fukuyama, 2005:316). Selanjutnya Fukuyama mengatakan bahwa pemerintah mampu membentuk modal sosial ini tetapi bisa juga menghancurkannya Tulisan ini bermaksud memberikan pengetahuan kepada kita semua untuk bekal membangun budaya damai di Kalimantan Barat.

0 Comments: