Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

MODAL SOSIAL BUDAYA DAMAI DI SEBANGKI

Rabu, 07 Mei 2008


Oleh : Kristianus Atok

PENGANTAR
Sebangki adalah sebuah daerah khusus yang sangat bermakna di Kabupaten Landak. Di daerah ini hidup dengan tenang dan nyaman orang Madura yang di daerah lain di Kabupaten Landak sudah tidak ada lagi. Sejak tahun 2003, YPPN dan juga YPB aktif memfasilitasi interaksi antar berbagai suku bangsa dalam membangun budaya damai di daerah ini. Berikut ini kami sajikan berbagai temuan penting terkait modal sosial untuk membangun budaya damai tersebut .

A. Apa itu Modal Sosial ?
Modal sosial(social capital) dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka . Substansinya terletak pada radius kepercayaan yang ada pada masyarakat. Pada tataran operasionalnya berhubungan dengan : tradisi masyarakat, jaringan sosial , pendidikan, dan pranata sosial yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Norma-norma yang membentuk kapital sosial dapat berkisar dari norma resiprositas (imbal balik) antara dua teman bertingkat ke atas hingga ke doktrin-doktrin yang terartikulasi secara rumit dan terinci seperti dalam Kristianitas atau Konfusianisme. Norma-norma itu harus siap pakai dalam relasi antar manusia yang actual; norma resiprositas berada secara in potentia dalam hubungan saya dengan semua orang, tetapi hanya teraktualisasi dalam hubungan saya dengan teman-teman saya. Dengan definisi ini, kepercayaan (trust), jaringan, masyarakat sipil dan sebagainya semua bersifat epiphenominal, yakni yang muncul sebagai akibat dari kapital sosial tetapi bukan merupakan kapital sosial itu sendiri.
Proses pembentukan modal sosial oleh masyarakat berjalan rumit dan sering sulit. Pada umumnya, proses itu memakan waktu beberapa generasi. Modal social dapat dibuat melalui investasi langsung dalam pendidikan dan pelatihan-pelatihan.

B. MODAL SOSIAL PADA ORANG MADURA

1. KEPEMIMPINAN LOKAL
Kepemimpinan local yang umum adalah yang merujuk pada kepemimpinan tradisional yang informal.), tipe-tipenya adalah orang kuat setempat, dan Kyai. kepemimpinan ditentukan oleh legitimasinya. Ada tiga legitimasi tersebut yaitu : legitimasi tradisional, kharismatis dan rasional. Legitimasi tradisional adalah seorang pemimpin diterima karena kewibawaan dan rasa hormat kepada asal-usulnya. Legitimasi kharismatis adalah seorang menjadi pemimpin karena pembawaan, bakat, dan keunggulan-keunggulan istimewa pribadinya sedangkan legitimasi rasional adalah seseorang diakui sebagai pemimpin berkat kecakapannya dalam bekerja dan mengatasi persoalan dan juga berkat hasil kerjanya yang didukung oleh cara, metode, system, dan prosedur yang rapi dan baku.
Pada masyarakat Madura, sebutan untuk ulama atau kiai seperti diatas adalah Keyae. Seorang kiai adalah orang yang tinggi pengetahuan agamanya. Biasanya seorang Keyae, memiliki atau memimpin sebuah pondok pesantren. Tetapi, dapat juga karena ia memiliki darah keturunan dari seorang Kiai. Sampai saat ini, unsure keturunan itu merupakan factor penentu penyebutan seseorang sebagai Kiai. Apalagi factor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang karismatik, maka anak-anaknya, secara otomatis, juga akan disebut oleh masyarakat Madura sebagai kiai. Ia akan mudah mempengaruhi dan mengerakkan masayarakatnya.
Dalam masyarakat madura, kiai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kiai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kiai akan lebih dihormati kalau ia memiliki charisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan di laksanakan umatnya (orang madura). Pejabat dan orang kaya di sini, masih hormat kepada kiai. Setelah kiai, pejabatlah yang dihormati masyarakat madura. Ia symbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium tangan kiai. Orang kaya dihormati kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, di kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, ilmunya (ilmu dunia), dan baru hartanya.”
Di Sebangki belum ada orang yang disebut Keyae itu, tapi mereka memiliki pemimpin informal atau Tokoh. Tokoh memiliki arti penting bagi warga dalam mengatur dan mengarahkan atau mengayomi kehidupan bermasyarakat .Walaupun ada sebagian kecil yang menyatakan kurang puas terhadap kebijakan yang diambil oleh tokoh terutama oleh koordinator, akan tetapi sebagian besar masyarakat mengikuti setiap arahan dan penjelasan yang diasampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan koordinator. Begitu juga terhadap setiap konflik yang muncul maka tokoh-tokoh masyarakat dan koordinator berperan sebagai penengah yang akan menampung semua aspirasi kedua belah pihak yang berkonflik. Kemudian tokoh-tokoh masyarakat dan koordinator meberikan penjelasan silang sumber konflik atau akar permasalahan kepada kedua belah pihak serta mengeluarkan kebijakan lansung yang tidak memberatkan atau mengganggu bagi kedua belah pihak.
Orang Madura di Sebangki sejarah asal-usulnya berasal dari Bangkalan. Mutmainah, (2002) mengatakan bahwa Seluruh kiai di Bangkalan masih terikat dalam jaringan kekerabatan yang luas dengan ulama karismatik di Jawa dan Madura, yakni Sjaikhona Kholil. Ia dalah pendiri pondok pesantren Sjaikhona Kholil di Bengkulu pada tahun 1875. Di pesantren itu, pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari atau sesepuh NU, alm. K.H. As’ad Sjamsul Arifin, dan Bung Karno pernah belajar ilmu agama. Karena aspek histories itu, hubungan antar kiai bersifat hierarkis. Baik secara sosial maupun secara politik (kekuasaan local), kiai memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan masyarakat Bangkalan. Dalam kekuasaan politik local, peranan birokrat dan lembaga legislative local, serta blater bersifat subordinasi terhadap kedudukan kiai.
Tokoh Madura penting di Sebangki adalah Pak Yusuf atau lebih dikenal Pak Tiyab. Ketokohannya menjadi kuat karena sejumlah kebijakan yang diambilnya berpengaruh sangat kuat bagi masyarakat Madura di daerah ini. Beliau pernah menjadi Kepala desa tahun 1989 sampai 2001. Kemampuannya memimpin sangat baik, sejumlah kasus penting ditangani dengan keras namun berbuah perubahan perilaku yang positif bagi terhukum.


2. REDUKSI KEBUDAYAAN (RUMAH DAN PEMUKIMAN )
Pola-pola pemukiman tradisional orang Madura terwujud dalam taneyan lanjang (halaman panjang). Deretan rumah yang terbagun dalam kesatuan permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan. Masing-masing penghuninya terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak-anak perempuan itu menikah, suami akan menetap di rumah yang telah disediakan oleh orang tua perempuan (matrilokal). Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah setelah mereka menikah dan menetap dirumah yang telah disediakan oleh orang tua istrinya. Dalam hal ini, anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga mereka atau keluarga intinya (Wiyata, 1989). Struktur pemukiman tradisional itu lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan Madura dalam keluarganya.
Di Sebangki, taneyan lanjang, masih dapat dirasakan dan telah menjadi karakteristik pemukiman Madura. Hanya saja rumah-rumah orang madura tidak lagi menunjukan kesan “mengerikan” sebagaimana kesan penulis yang ketika masih kanak-kanak hidup sekampung dengan orang Madura di Desa Setom Mempawah Hulu. Kesan penulis dulu bahwa dinding rumah orang madura dipenuhi berbagai jenis parang yang membuat rasa takut. Tetapi di Rantau Panjang, rumah-rumah orang Madura yang penulis singgahi tidak menunjukkan hal seperti itu lagi. Sungguh kontras dengan pengalaman penulis dimasa kanak-kanak. Kondisi rumah penduduk orang madura di Rantau Panjang yang demikian menurut penulis adalah cerminan dari adaptasi orang Madura terhadap lingkungannya, dimana mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tidak perlu ditakuti. Menurut penulis perubahan tampilan rumah yang demikian telah memenuhi criteria sebagai modal social orang Madura dalam berinteraksi dengan suku bangsa lainnya di Sebangki.

3. TRADISI MEMBAWA SAJAM HILANG

Manusia hidup sangat dipengaruhi tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka . Sztompka mengatakan bahwa tradisi adalah (1) kebijakan turun-temurun, tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai-nilai yang kita anut kini serta di dalam benda- benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi menyediakan fragment warisan histories yang kita pandang bermanfaat.(2) tradisi memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup , keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada; (3) tradisi menyediakan symbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok; (4) tradisi membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan terhadap kehidupan modern (2004:74-76). Menurut Fukuyama (2005:270), tradisi penting sekali untuk memahami norma-norma karena orang sering bertindak bersadarkan kebiasaan, bukan atas dasar pilihan rasional.
Orang Madura memiliki tradisi membawa senjata tajam kalau akan bepergian, menurut mereka hal itu dilakukan untuk menjaga keselamatan dirinya. Tradisi ini telah membuat kesan bahwa orang Madura akan menggunakan senjata tajam kalau menemui persoalan dengan orang lain, walaupun sebenarnya tidaklah demikian. Tetapi karena banyaknya kasus penggunaan senjata tajam oleh orang madura, maka kesan suku bangsa ini menggunakan senjata tajam menjadi alat pembenar. Tradisi demikian tidak ditemukan di rantau Panjang, hal ini menurut penulis merupakan adaptasi orang Madura dengan lingkungannya dan sebagai representasi bahwa mereka menjauhi kekerasan. Perubahan tradisi ini dapat disebut sebagai modal social orang Madura berinteraksi dengan orang lain.

4. KEHIDUPAN AGAMIS YANG TAAT
Dapat dikatakan bahwa Islam merupakan identitas orang madura (Maulana, 1992). Agama islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial, seperti tampak pada cara berpakaian. Mereka (Kaum lelaki) selalu mengenakan songko’ (kopiah) dan sarung, terutama pada saat menghadiri upacara ritual, sholat jumat, bepergian, atau menerima tamu yang belum dikenal. Menonjolnya ciri keislaman orang madura itu ditandai pula oleh banyaknya pondok pesantren, dan lembaga itu menjadi tujuan utama menuntut pendidikan keagamaan. Namun, dalam kategori tertentu, islam di Madura tidak dianggap islam murni, tetapi disebut “islam local” (Woodward, 1989: 69-70), yaitu islam yang bercampur adat, seperti abangan atau agama Adam di Jawa (Geertz, 1989).
Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang madura mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh kiai, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.
Orang madura pada dasarnya berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam. Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak terpisah dari dunia gaib. Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang teratur dan harmonis.
Kehidupan beragama ini sangat terasa di Rantau panjang, kegiatan seperti yasinan dan pengajian di masjid-masjid selalu ramai dipenuhi umat. Banyak orang Rantau panjang yang belajar agama Islam di beberapa pesantren di Pontianak dan bahkan di Jawa dan Madura. Ada pula kelompok yang mendalami agama dengan bergabung dalam tarekat/tarokat. Kondisi ini menurut penulis merupakan modal sosial yang penting, karena manusia yang bermoral dan berakhlak dengan penguasaan agama yang tinggi hidupnya semakin baik dan toleran terhadap orang lain. Penguasaan agama yang tidak penuh biasanya melahirkan kelompok militan dan fanatisme tinggi.

Kelompok Yasinan
Kegiatan Yasinan merupakan aktivitas sosial yang khas . Kegiatan yasinan ini dihadiri oleh sebagian besar warga yang terutama kepala-kepala keluarga. Kehadiran sebagian besar warga dalam kegiatan yasinan dijadikan moment penting oleh tokoh maupun warga yang memiliki informasi, usulan, rencana daqn sebagainya yang menyangkut dengan kepentingan orang banyak secara cepat dan efektif.


5. ADAT TOLAK BALA DAN JUK BUMI
Asal-usul Adat tolak bala atau Robo’an dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek moyang suku Madura, baik itu di Madura sendiri ataupun suku Madura perantau, (suku Madura Rantau Panjang). Awal mulanya suku Madura masuk Desa Rantau Panjang, mereka selalu melakukan adat Robo’an Tolak Bala’ ini hingga sampai sekarang. Alasan mengapa mereka mengadakan adat ini, supaya tidak terjadi mala petaka atau dengan kata lain sebagai penangkal bermacam-macam penyakit dan bencana. Adat ini biasanya dilakukan setiap kali seseorang atau sekelompok orang akan mendiami suatu tempat yang baru.
Adat Robo’an Tolak Bala’ sangat erat kaitannya dengan konflik, dimana dengan adanya upaya pencegahan supaya jangan terjadi konflik, satu-satunya hal yang harus dilakukan masyarakat setempat adalah adat Robo’an Tolak Bala’.Menurut Mus Muliadi Turunnya bala’ yaitu pada hari rabu terakhir di bulan safar tahun hijriah karena setiap pekerjaan dan perbuatan manusia tidak terlepas dari pengawasan Allah SWT. Allah maha mengetahui juga maha penyayang bagi alam semesta. seperti terjadi konflik, kerusuhan antar etnis yang berlainan suku. Kalau kita renungi dan hayati dengan secara mendalam manusia kadang-kadang tidak sadar terhadap tingkah lakunya sendiri, yang benar-benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar, sehingga menimbulkan gejolak. Dan apabila gejolak tidak kita padamkan akan menimbulkan bermacam-macam malapetaka bagi kita. Bahkan tidak tertutup kemungkinan timbulnya konflik berkepanjangan yang menimbulkan pengungsi besar-besaran.
Adanya ritual adat tolak bala ini menunjukan bahwa orang Madura suka perdamaian dan ini adalah modal sosial yang penting.

6. BUDAYA CAROK YANG TIDAK TERJADI LAGI
Dalam studi tentang carok, Wiyata (2002:170-185) mengungkapkan bahwa harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura, menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya “lebih baik mati daripada hidup menanggung malu” menjadi referensi dan perbuatan carok.
Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang telah bersuami tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan symbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau perempuan ditapsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.
Dasar pembela terhadap istri (abilabi binek) tersebut ditemukan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron (1986), dalam ungkapan, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya (Islam), sekaligus menginjak-nginjak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan perwujudan dari martabat dan kehormatan suami karena istri adalah landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Wiyata, 2002:173).
Kasus Carok terakhir yang pernah terjadi di Sebangki adalah Carok terhadap Subai, tahun 1983. Diceritakan oleh Supandi kasusnya sebagai berikut :
Terjadi di Kampung Rantau Panjang, Desa Rantau Panjang Th 1983 : Umi pernah berpacaran dengan Samsiar dan mereka pernah berfoto bersama selagi masih pacaran. Karena bukan jodoh, hubungan mereka pun putus. Umi berpacaran lagi dengan Suba’i, sampai akhirnya mereka bardua menikah. Pada suatu hari Suba’i menemukan foto tersebut. Suba’i mengira telah terjadi perselingkuhan, antara Umi dan Samsiar. Kemudian Suba’i mendatangi Samsiar dan memukulnya. Tumoi saudara sepupu Samsiar tidak terima perbuatan Suba’i, ia kemudian mendatangi Suba’i dan membunuhnya dengan celurit. Kasus ini dibawa dan diselesaikan oleh Kepolisian, Resort Mempawah. Kemudian Tumoi dikenakan hukuman penjara selama 12 tahun. Setelah keluar dari penjara, Tumoi pulang ke Pulau Madura.
Sudah lebih dari 10 tahun ini tidak terjadi kasus Carok lagi di Sebangki, hal ini sangat membantu pemahaman orang tentang Madura bahwa mereka menjauhi kekerasan, hal ini juga bisa dibaca sebagai tingginya moralitas orang Madura di Sebangki. Tidak adanya kasus Carok ini telah menjadi modal sosial yang menyebabkan orang Dayak dapat hidup berdampingan dengan mereka.


7. PEMETAAN SOSIAL (PENCURI, PENJAHAT, DLL)

Selain kepercayaan yang teguh akan agama ,orang Madura ada juga yang menyimpang dari jalan agama, mereka bermain judi, mabuk-mabukan, sabung ayam, main togel dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dilarang oleh agama. Orang-orang demikian dipetakan oleh pemimpin komunitasnya, dan apabila terjadi perbuatan yang dilanggar agama, orang-orang berkenaan dipanggil oleh pemimpin komunitas untuk dimintai bantuannya menemukan si pelaku.
Di Rantau panjang misalnya, menurut Supandi dan dibenarkan oleh Pak Tiyab dan lainnya, apabila terjadi kasus pencurian misalnya, maka orang-orang yang telah diidentifikasi sebagai biasa mencuri langsung dicurigai dan langsung diberi tanggungjawab untuk menemukan si Pencuri tersebut, karena apabila tidak maka yang biasa mencuri tersebutlah yang melakukan pencurian tadi. Model seperti ini sangat efektif dalam mengurangi terjadinya pencurian di Rantau Panjang.


8. ADANYA SARANA AGAMA
Penduduk Rantau Panjang di dominasi oleh suku madura, yang sudah tentu menganut agama Islam, yaitu sekitar 97 % sedangkan sisanya diantara masyarakat rantau panjang yang beragama non Islam adalah suku Tionghoa sekitar 3 %. Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, masyarakat Madura sangat menerapkan tata krama atau aturan agama yang telah dianut dari zaman nenek moyang mereka. Tata krama itu berupa perintah ataupun larangan agama yang tertera di dalam Al-Quran yang harus dilakukan atau dihindari, hal ini dikarenakan penerapan agama yang sudah melekat dan menjadi pedoman hidup pada orang Madura yang ada di rantau panjang.
Adanya Prasarana ibadah di berupa: Masjid 3 buah, dan Surau-surau di Rantau Panjang telah menjadi modal sosial yang penting bagi peningkatan moral umat dan memupuk pengetahuan agama yang tinggi.

9. KEGIATAN KEBUDAYAAN DAN JARINGAN SOSIAL
Jaringan sosial berkenaan dengan hubungan antar manusia melalui norma-norma dan nilai bersama. Kunjungan silaturahmi antar penduduk dapat dipakai sebagai contohnya. Selain itu jaringan sosial dapat diamati pula pada terbentuknya institusi-institusi local yang dibentuk masyarakat dan kepemimpinan yang mengurusinya.
Di Sebangki ada sejumlah kegiatan kebudayaan yang bertautan dengan ritual agama yang dapat dimaknai sebagai modal sosial mereka, yaitu : Idhul Adha, Idul Fitri, Maulid Nabi, Istighotsah, salawatan dan Rokat Juk Bumi.
Kesenian tradisional penduduk rantau panjang yaitu kesenian suku madura yang bernama “sandur”. Dimana kesenian ini sangat diminati oleh penduduk rantau panjang. karena menurut suku madura rantau panjang, kesenian tersebut merupakan ciri khas budaya suku madura. Di dalam kesenian sandur tersebut terdapat atraksi pencak silat, dimana para penonton / orang yang hadir dari luar daerah rantau panjang dapat menyumbangkan keahliannya dalam atraksi tersebut. Hal tesebut dapat mempererat hubungan kekerabatan dan rasa persatuan antar masyarakat.


C. MODAL SOSIAL PADA ORANG DAYAK

1. ADAT BUAH TANGAH

Adat Buat Tangah dilaksanakan di dalam rumah sebelum kegiatan bahaupm menyangkut penyelesaian sengketa. Jadi adat ini adalah upaya meredam emosi akibat perselisihan. Bisa juga diartikan bahwa adat ini adalah hukuman atas perbuatan ringan ( tindak pidana ringan ) dan yang ditimpakan kepada pelanggaran yang dapat berdamai dengan lawannya tanpa campur tangan orang ketiga.

2. ADAT PAMABAKNG


- Adat pamabakng mempunyai dampak yang sangat positip mengupayakan penyelesaian komplik sejarah damai. Bahaudin Kay mengatakan bahwa : Bala yang akan menyerang setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng.

Makna yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah :
1. Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan :
a. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
b. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat.
c. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
2. Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan :
a. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat
b. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembahan kepada jubata. Pamabakng tetap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.


3. LEMBAGA ADAT
Lembaga adat merupakan bagian dari kesejarahan dan organisasi rakyat yang masih hidup. Adat menurut Koentjaraningrat (2000:10-11) adalah wujud ideel dari kebudayaan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu (1) nilai budaya, (2) norma-norma, (3) hukum, (4) aturan khusus. Institusi adat merujuk kepada norma karena berkait dengan peranan dalam masyarakat. Institusi adat menjadi penting karena didalamnya terkandung makna kepemimpinan lokal dengan sistem kekuasaan yang melekat padanya. Alat kekuasaan ini lebih bersifat moral spiritual yaitu pada keyakinan pada hubungan-hubungan yang seimbang antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dan hubungan yang seimbang antara manusia dengan penciptanya. Institusi adat yang menempatkan dirinya pada ranah moral spiritual menyebabkan institusi ini masih hidup di komunitas . Kepemimpinan dalam institusi ini tidak hanya mempertahankan kepercayaan orang banyak, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri institusi ini.




4. PRANATA ADAT YANG MASIH KUAT
Pranata (institution) adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat Koentajaraningrat, 2000: 14).
Di dalam kehidupan masyarakat, pranata sosial yang merupakan alat untuk mengatur perilaku kehidupan anggota masyarakatnya adalah Hukum adat . Pospisil dalam Koentjaraningrat (2000:22-23) mengatakan bahwa hukum adat adalah suatu aktivitas pengawasan sosial, yang harus memenuhi empat attributes of law yaitu : (1) attribute of authority yang merujuk kepada adanya suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat untuk membuat keputusan-keputusan terhadap ketegangan sosial; (2) attribute of intention of universal application. Attribute ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dimaksudkan sebagai keputusan yang berjangka panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan datang; (3) attribute of obligation, attribute ini menjelaskan bahwa keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban dan hak-hak para pihak yang bersengketa; (4) attribute of sanction, attribute ini berkenaan dengan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.

5. MILE SAMIH MANOTONG
Mile Samih Manotong adalah gambaran khas bagi orang Samih, untuk mengidentifikasikan dirinya tidak pernah mau terlibat kekerasan dalam segala bentuk. Walaupun seringkali terjadi aksi kekerasan yang melibatkan sesama orang Samih, namun mereka yakin bahwa itu adalah hal biasa. Konflik bagi mereka adalah bagian dari hidup, namun konflik yang mengarah pada “pembersihan “ manusia, sangat tabu dilakukan oleh suku ini. ( Pari Burung, Agak,2004 )
Secara lebih mendalam, makna yang terkandung dalam kata-kata itu merujuk pada “ketidak-inginan” masyarakat untuk terlibat dalam aksi kekerasan terutama yang membawa embel-embel etnik. Hal ini telah dibuktikan pada konflik kekerasan 1997, dimana dengan tegas masyarakat didaerah ini menolak untuk terlibat dengan cara “mengembalikan” mangkok merah (ajakan untuk berperang) dengan “mangkok putih”, yang berarti menolak. Ini pertama kali fenomena mangkok putih muncul.
Sebelumnya orang Samih dikenal dengan tipikalnya yang sangat keras, tak mengenal takut. Mereka sangat berani bila harga dirinya diinjak-injak. Mereka juga sangat tidak mau nama besar Samih rusak karena perbuatan warganya sendiri ( Mahadi, Kerekng,2004 ). Sebelumnya baru mendengar nama Samih saja, bagi sebagian suku diluar mereka, telah menyebabkan bulu kuduk merinding. Samih selain terkenal dengan sikap pemberaninya, juga dikenal sebagai tanah yang penuh Magic, berbagai ilmu hitam diidentikkan dengan suku ini. Tidaklah heran, banyak suku luar yang takut berhubungan dengan orang-orang Samih, apalagi berkunjung kekampungnya. ( Minel, Kerekng,2004 )

6. ADANYA PEMETAAN TANAH ADAT (WILAYAH KELOLA)

Peruntukan lahan di dalam wilayah kampung, menurut pemahaman warga terdapat :
1. Kawasan hutan yang dilindungi atau dicadangkan untuk masa depan. Di dalam kawasan ini setiap individu bebas memungut hasil (berburu, atau mengambil kayu untuk keperluan pribadi non-komersial). Kawasan ini adalah milik kolektif masyarakat hukum adat. Anggota dari masyarakat hukum adat lain diperkenankan memungut hasil setelah mendapat persetujuan dari masyarakat hukum adat setempat.
2. Kebun buahan-buahan, tengkawang. Kepemilikan lahan ini biasanya milik seorang individu atau keluarga, demikian pula pohon dan buah-buahannya. Tetapi ketika buahnya matang dan jatuh, maka setiap orang memiliki hak untuk memiliki hak untuk memungut dan menikmati buah tersebut.
3. Lahan perkebunan karet, biasanya karet lokal beberapa tahun terakhir ada pengenalan untuk karet unggul. Lahan ini adalah milik individu yang menanam tumbuhan di atasnya. Tetapi ketika individu yang bersangkutan memiliki keturunan maka lahan dan tanaman yang tumbuh di atasnya dapat diwariskan kepada anaknya, atau milik keluarga. Karet merupakan jenis yang paling populer, paling dikuasai budidayanya, paling diminati dan menjadi andalan untuk menunjang kehidupan ekonomi masyarakat Dayak.
4. Sawah. Pengetahuan bercocok tanam sawah, diakui masyarakat berasal dari Cina pendatang yang pada tahun 1914 dan peristiwa PGRS/Paraku di usir dari wilayah pedalaman. Dengan input tehnologi yang masih rendah, pengolahan sawah masih belum intensif.
5. Ladang dan Bawas. Bawas merupakan tanah pertanian yang sedang diistirahatkan (masa bera), pemberaan ini dilandasi pemikiran untuk mengembalikan kesuburan lahan, biasanya dilakukan dalam siklus 5-15 tahun. Dengan demikian menurut mereka sebenarnya tidak ada lahan yang terlantar. Panjang masa bera dapat dijadikan indikator kecukupan lahan untuk mendukung sistem gilir balik tersebut, di Tarekng rata-rata sklus 7 tahun. Untuk lahan-lahan jenis ini biasanya merupakan lahan keluarga yang bila sudah dibagi ke ahli warisnya bisa menjadi milik pribadi.
6. Tanah pekuburan dan tanah keramat. Tanah pekuburan adalah milik kolektif. Tanah keramat, lahan-lahan yang di atasnya terdapat tempat-tempat pemujaan yang suci adalah juga milik masyarakat. Bahkan untuk tempat pemujaan di Bukit Ohak dimiliki oleh masyarakat di dua Binua (Ohak dan Batukng). Tanah-tanah ini adalah lahan yang tidak dapat diladangi atau diambil kayunya, dengan sistem perlindungan diserahkan sepenuhnya pada Sang Kuasa.
7. Lahan perkampungan. Lahan ini terdiri dari rumah dan halaman individu-individu. Di dalam kawasan ini juga terdapat tempat untuk beternak (mendirikan kandang ayam atau kandang babi).
8. Sungai dan danau untuk perikanan. Bagian ini dimiliki secara kolektif, dan dengan begitu tidak diperkenankan adanya sekelompok orang melakukan klaim sepihak atas kepemilikan/kepengusaan aset ini.
Desa Agak telah membuat peta pada tahun 1998-1999 yang lalu, peta ini dapat menjelaskan berbagai sistem pengelolaan tanah berdasarkan adat orang Dayak seperti yang diuraikan diatas. Menurut Mahadi, ketika peta akan dibuat, mereka sudah memberi tahu orang Madura di Sei Layang. Adanya Peta ini dapat memberi batas terhadap perluasan penggunaan tanah oleh orang dari Desa tetangga termasuk orang Madura. Apabila peta ini telah dikomunikasikan dengan baik maka peta inipun dapat berguna untuk penyelesaian konflik yang terkait Sumber Daya Alam di Kecamatan Sebangki.


7. ADANYA SARANA SEKOLAH
Salah satu sumber modal sosial terpenting dalam masyarakat dewasa ini ialah sistem pendidikan. Sekolah sejak dulu dirancang tidak semata-mata mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan tetapi juga berusaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan budaya tertentu yang dirancang untuk menjadikan muridnya menjadi warga masyarakat yang lebih baik (Fukuyama, 2005:316). Selanjutnya Fukuyama mengatakan bahwa pemerintah mampu membentuk modal sosial ini tetapi bisa juga menghancurkannya.
Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Sebangki berdasarkan jenisnya meliputi sarana dan prasarana penunjang pendidikan dari berbagai tingkatan adalah sebagai berikut: untuk gedung SD ada 13 buah, guru ada 53 orang, murid ada 1.849 orang, jumlah gedung SMP ada 2 buah, Guru ada 9 orang, jumlah murid ada 396 orang, tidak ada gedung SMU dan SMK.



1 Comment:

KOMUNITAS VIPERS said...

saya sudah baca buku bapak yang ini, satu kata...."salut"