Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF DI INDONESIA

Rabu, 19 Maret 2008

(SELAYANG PANDANG GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF DI KALBAR)

Oleh : Kristianus Atok

SEJARAH
Tidak terasa bahwa kegiatan yang mulai dilakukan pada sekitar bulan Mei 1993 yang lalu telah berlangsung lebih dari 15 tahun. Saya sebagai orang beruntung satu dari 4 orang di Indonesia yang pada tahun –tahun 1993 itu aktif mempelajarinya. Kami berempat itu adalah : Longgena Ginting ( mantan Direktur Walhi), Viktor Sirken ( Tual Maluku), Stefanus Masiun ( LBBT) dan Saya sendiri. Kami berempat ini di utus mengikuti pelatihan di Chiang Mai- Chiang Rai Thailand pada bulan Mei 1993 itu. Tetapi kalau mau mundur lagi kebelakang, setamat dari fakultas pertanian Untan 1991, Saya oleh Walhi Jakarta diberi kesempatan belajar dan magang pemetaan di Kawasan taman nasional Kayan Mentarang di Long Uli, Kalimantan Timur pada akhir tahun 1992(peta-peta dari sana terlampir) . Mungkin karena saya sedikit dari Orang Dayak yang sarjana yang pernah belajar Geografi dan Kartografi dan tidak berminat bekerja di perusahaan perkebunan yang lagi marak ketika itu, makanya saya di kirim magang di Kaltim. Di Kaltim saya belajar bersama Martua Sirait (WWF) dan tim dari East West center ( Jefferson Fox dan Nancy Poger). Sepulang dari Kaltim, data yang kami kumpulkan di olah lebih lanjut di kantor WWF di Jakarta. Total waktu proses magang ini sekitar 2 bulan. Nah karena saat ini kondisi Kalbar sangat memerlukan alat pembuktian untuk advokasi tanah-tanah adat Dayak maka kemudian saya ditugaskan untuk focus menekuni pemetaan (baca Latar belakang konsep dasar).
Bulan Mei 1993 saya katakan sebagai kegiatan pertama pemetaan partisipatif di Kalbar, karena pada saat itu dilakukan pemetaan kampung Sidas Daya di Kecamatan Sengah Temila. Kegiatan ini berupa pelatihan Internasional dimana fasilitatornya saya sendiri dan Masiun dibantu oleh 2 orang pelatih kami di Chiang Mai yaitu : Alix Flavele (Canada) dan Dan Scoland ( Clark University/USA). Peserta pelatihan ini 5 orang dari Sarawak, 4 orang dari Sabah dan 15 orang dari Indonesia. Peserta dari Indonesia yang masih saya ingat adalah Hawat Sriyanto, Thomas Alexander, Miden Maniamas, Petronela Regina, Ilak Dagok, Juheri, dan Sayo ada juga peserta dari Kaltim 2 orang. Metode yang dikembangkan adalah pemetaan dengan Kompas ( tanpa GPS) dengan metode survey tertutup ( semua batas diukur dengan meteran). Pelatihan ini berlangsung sukses, dimana saya sendiri semakin merasa percaya diri bahwa kampung-kampung lainnya di kalbar bisa di petakan.
Setelah pemetaan Kampung Sidas Daya, sekitar bulan Juli-Agustus 1993, saya, Hawat Sriyanto dan Alexander memetakan kampung Bukang di Kec. Simpang Hulu Ketapang. Kami di Bantu oleh pakar dari Jerman yaitu Frank Momberg. Pemetaan kampung Bukang ini menggunakan metode campuran (tertutup dan terbuka), telah pula digunakan GPS selain Kompas. Pemetaan inipun berlangsung sukses dengan hasil yang paling lengkap dibanding peta-peta pemetaan partisipatif sekarang ini.( semua tempat penting di GPS dan luasnya diukur/observasi).
Setelah pemetaan kampung Bukang, saya dengan kemampuan sendiri dan ditemani H.Lamli (SHK kalbar) memetakan kampung Simpang Dua dan Selantak ( Kec. Simpang Hulu/ kampung tetangga Bukang). Setiap kampung yang dipetakan memerlukan waktu paling cepat 10 hari, bahkan di Simpang Dua lebih dari 2 Minggu.
Pengalaman membuat 4 kampung inilah yang kemudian dijadikan justifikasi pengajuan proposal ke Ford Foundation. Saya di temani oleh Frank Momberg dan Martua Sirait, sambil kami betiga menyusun buku manual Pemetaan Partisipatif , kami menyusun proposal ke Ford Foundation. Proposal itu disetujui dan Pemetaan Partisipatif mulai dikerjakan secara lebih focus (baca konsep dasar).

PPSDAK
Untuk menaungi kegiatan ini maka Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih pada 31 Juli 1995 mendirikan Unit baru yang kemudian di beri nama PPSDAK (Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan (huruf P pertama dan huruf K pada kata ini 3 tahun kemudian diganti menjadi Pemberdayaan- Kerakyatan). Saya dipercaya untuk menjadi Koordinator unit ini.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah merekrut staff, dan sebagaimana biasa maka para senior menitip sejumlah nama untuk menjadi staff. Mereka adalah : Kanisius Haidi (STM), F Sudianto (STM), Saulus Edi (SMA), Susana (tamat WD), Nasti (SMA), Mus Muliadi (SMA), Marselus( tamat WD), Getruida (tamat WD), Agus Tamen (tamat WD), Lorensius (SMA) dan Mikael (SMA). Tahap berikut staf yang bergabung adalah Ita Natalia (Sarjana Kehutanan) dan Bagus Suratmoko (Sarjana bahasa Inggris). Semua Staff masih awam tentang pemetaan dan LSM, maka 6 bulan pertama yang dilakukan adalah pelatihan-pelatihan staff. Dalam kerangka pelatihan Staff ini kampung yang dipetakan adalah kampung Nangka (kec. Sengah Temila), pada saat ini semua staff ikut tanpa kecuali. Harus saya akui pelatihan Staff ketika itu lebih ditekankan pada aspek teknis, tidak ideologis dan politis sebagai mana tututan kebutuhan ketika itu. Hal ini terjadi karena waktu yang terkait dengan jangka waktu proyek, sehingga yang kemudian terjadi adalah mengejar jumlah kampung yang dipetakan .
Kendala yang terasa ketika itu adalah berkenaan dengan SDM(baca kapasitas Manusia) yang pas-pasan, hal ini pulalah yang punya andil mengapa aspek ideologis tidak banyak dikuasai staff. Kemauan dan kemampuan membaca rendah, sehingga walaupun banyak buku diperpustakaan yang memang sengaja dibeli agar dipelajari staff, hanya sedikit staff yang mau mempelajarinya. Walaupun demikian PPSDAK sangat berpengaruh pada tatataran nasional, yaitu mampu menginisiasi berdirinya JKPP.

JKPP
Pada bulan Mei tahun 1996 berdiri JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif), kantor sekretariatnya di Bogor hingga sekarang. Fungsinya sebagai wadah belajar, mengembangkan metodologi dan berkumpul orang/lembaga yang mengembangkan kegiatan pemetaan partisipatif di Indonesia. Programnya pada tahun-tahun pertama adalah mengembangkan kapasitas manusia yang akan mengembangkan kegiatan pemetaan di mana saja di Indonesia. Penulis beruntung dipercaya teman-teman menjadi Ketua(kadang-kadang disebut presiden) untuk pertama kalinya. Jadilah penulis berkeliling dari Aceh hingga Papua. Ada lebih dari 60 orang dari Seluruh Indonesia yang ketika itu belajar dan Magang pemetaan di PPSDAK, sedangkan yang didatangi aktivis PPSDAK dengan model pelatihan ditempat masing-masing jumlahnya lebih banyak lagi.

JPMAPP
Pada sebuah pertemuan refleksi tahun 1997, di wisma PSE Pontianak lahirlah JPMAPP (Jaringan Persaudaraan Masyarakat Adat Pemetaan Partisipatif). Lembaga ini dilahirkan untuk wadah komunikasi dan pembelajaran masyarakat yang kampung-kampungnya sudah dipetakan. Jadi pada tataran nasional PPSDAK membidani JKPP sedangkan untuk tataran Kalimantan Barat, PPSDAK membidani JPMAPP. Orang-orangnya adalah CM (Community Mapper), yaitu orang (tanpa melihat latar belakang pendidikan formal) yang ketika pemetaan dikampungnya menunjukkan kemampuan dan keseriusan mengembangkan kegiatan pemetaan. CM-CM tersebut diantaranya Lukas Kibas , dari kampung Mayau (berhasil menulis buku Bidoih Mayau), Juheri, Sayo, Judan, Sanding, Kaka, Herman, Sunawar Oat, Ikot Rikus, Paulus Luno (CO LBBT). Tokoh senior di JPMAPP seperti H. Nazarius dan Timanggong Miden Maniamas. Saat ini jumlahnya lebih dari 100 orang.
Para CM ini selain dimintai bantuannya membuat peta dikampung-kampung lainnya, juga dilibatkan dalam lokakarya yang terkait pemetaan partisipatif. Aspek yang berkembang sekali lagi adalah aspek teknis. Jika para Staff kemauannya kurang dalam mengembangkan kapasitas (walaupun ditunjang gaji dan buku-buku perpustakaan), para CM ini keadaannya lebih parah dari itu.. CM-CM inilah disamping aktivis adat lainnya yang kemudian sangat berperan pada kelahiran Yayasan Pangingu Binua (YPB).

PeFoR
Kemampuan PPSDAK mengelola kegiatan dengan membuat jaringan pada tataran Nasional (JKPP) dan pada tataran Lokal Kalbar (JPMAPP) membuat kepercayaan kepada pimpinan PPSDAK tinggi, maka Biodiversity Suport Programe-WWF mempercayakan sebuah program untuk dikelola, namanya People-Forest-Reefs (Pefor). Sekali lagi penulis beruntung menjadi pengelola program ini. Program ini 2 tahun, yaitu 1998-2000. Kegiatannya adalah memfasilitasi lembaga-lembaga (LSM) di Sumatera Barat, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan yang mengembangkan program Natural Resources Managemen termasuk didalamnya pemetaan Partisipatif. Pada saat ini PPSDAK dipimpin oleh Ita Natalia (sekarang Koordinator JKPP).

YPPN
Setelah program PeFoR berakhir, penulis dan beberapa teman aktivis lainnya pada 22 Agustus 2000 mendirikan Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN). Ada kaitan sejarah dengan program terdahulu, tetapi tidak ada hubungan kerja. Untuk tahun-tahun pertama, YPPN lebih memfokuskan pada pengembangan kapasitas manusia. Selain aspek teknis dikembangkan pula aspek ideologis. Hasil dari pencerahan ini membuat YPPN pada saat ini melihat sisi pemberdayaan lebih holistic dan tidak eksklusif. Berdasarkan kemampuan yang ada YPPN baru berkiprah di Kalimantan Barat, tetapi cita-citanya tetap berskala Nusantara. YPPN menempatkan pemetaan partisipatif sebagai alat semata (bukan tujuan) oleh karenanya targetnya bukan peta dalam arti fisik tetapi peta keberdayaan manusia ( peta interaksi sosial masyarakat). Peta fisik akan dibuat manakala peta interaksi manusia telah memungkinkan untuk itu, dan proses membuatnya berdasarkan kesadaran akan pentingnya hal itu untuk memperkuat interaksi antar komunitas. Jadi proses-proses pelatihan, pertemuan komunitas dan pengorganisasian yang dilakukan selama ini merupakan bagian dari proses kegiatan pemetaan partisipatif, yang bentuk fisik petanya masih berstatus peta mental.(baca konsep dasar, dan manual)


YPB
YPB dilahirkan tahun 2001, kebijakan pegurusnya sangat pragmatis, yaitu merekrut semua anggota CM yang berdomisili di kecamatan Menjalin, Mempawah Hulu dan Toho. Kegiatan pemetaannya mengadopsi metode yang pernah mereka pelajari di PPSDAK, hal ini amatlah wajar.
Sejak tahun 2001 ini, karena saya mengembangkan pemetaan partisipatif pada tataran sosiologis ( membangun interaksi antar etnis) tidak banyak lagi terlibat dalam kegiatan pemetaan (tanah dan SDA). Walaupun sering dilibatkan dalam beberapa pertemuan dan lokakarya, tetapi karena tidak terlibat dalam kewenangan pengelolaan kegiatan pemetaan, maka berbagai masukan untuk perbaikan metodologi mengalami kesulitan pada tataran implementasi. Kendala yang besar sekali lagi adalah SDM (kapasitas Manusia). Walaupun demikian YPB cukup produktif membuat Peta (lihat Lampiran kampung-kampung yang sudah dipetakan)

LSM lainya selain YPB
Tercatat sejumlah LSM yang didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Yayasan Pancur Kasih seperti : YPPN, Yayasan Karamigi, Yayasan Bio damar, Yayasan Pulanggana ikut mengembangkan pemetaan partisipatif di wilayah kerja masing-masing. Disamping itu LSM yang juga telah melakukannya adalah Yayasan Dian Tama dan YSDK.

PENUTUP
Demikian secara ringkas saya uraikan tentang pemetaan partisipatif di Kalbar, itu makanya saya sebut sebagai selayang pandang. Untuk lebih jelasnya saya berharap buku ini dibaca lengkap, siapa tahu pembaca mendapat ilham untuk pengembangan kegiatan pemetaan partisipatif dan yang pasti dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kegiatan ini.
Selamat membaca.
B. KONSEP DASAR
KONSEP PROGRAM PEMETAAN OLEH MASYARAKAT KALIMANTAN
BARAT

Ikhtisar

Sebagai tanggapan atas pembukaan hutan untuk pemanfaatan kayu, pengembangan perkebunan dan tidak diakuinya hak-hak adat seperti tercermin dalam rencana-rencana dan peta-peta formal yang telah berlangsung selama dua dasawarsa terakhir ini, Kami akan mengembangkan program pemetaan oleh masyarakat untuk membantu masyarakat Dayak dalam menggambarkan dan memberikan kekuatan hukum hak-hak tanah adat dan atas wilayah-wilayah hutan dan atas sumber-sumber daya yang telah dikelola oleh masyarakat secara tradisional. Peta-peta oleh masyarakat akan digunakan sebagai alat komunikasi untuk kepentingan advokasi hak-hak tersebut dan untuk mempermudah pengelolaan sumber daya berkelanjutan yang berbasis pada masyarakat. Pemetaan oleh masyarakat dipercaya dapat menjadi alat untuk memberdayakan mereka yang lemah. Program pemetaan bersasaran mentransfer teknologi pemetaan kepada masyarakat setempat untuk membantu menyeimbangkan balik monopoli yang telah ada oleh negara atas sumber-sumber daya. Selama tahap pertama program ini akan difokuskan pada pengembangan sumber daya manusia dan pada tahap kedua fokus akan diletakkan pada perluasan jangkauan pemetaan. Pemetaan akan dibagi menjadi dua skala yaitu pemetaan tingkat desa dan pemetaan seluruh wilayah adat dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan adat dan didukung dalam bidang ilmiah oleh IDRD. Dengan semakin meluasnya jangkauan pemetaan oleh masyarakat kedua skala akan bertemu dan menghasilkan peta tanah-tanah adat yang sangat akurat.
Program pemetaan ini akan dipadukan dengan program-program lain seperti riset demografis tentang jumlah pemukim hutan pada tanah-tanah yang ditunjuk sebagai hutan negara, riset tentang sistem-sistem hukum adat, pengorganisasian masyarakat, pengembangan masyarakat, dana berputar, serta pendidikan formal dan informal.
Perundang-undangan baru mengenai Tata Ruang mengakui peranan aktif dari masyarakat setempat dalam perencanaan pembangunan daerah. Oleh karena itu program ini akan dengan aktif mendorong , entah dengan advokasi atau dengan lobi, partisipasi penuh dari masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan daerah yang akan mengenai atau melibatkan tanah-tanah adat, dan pengakuan formal akan hak-hak tanah adat oleh pemerintah.

I. DASAR PEMIKIRAN

Sejak tahun 1967 hutan-hutan di Kalimantan telah dibuka untuk eksploitasi kayu dan pengembangan perkebunan termasuk Hak Pengusahaan Huta (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) , Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan proyek-proyek transmigrasi. Efek dari operasi-operasi program tersebut begitu besar: Efektifitas lembaga-lembaga pengelolaan sumber daya lokal menjadi berkurang dan kontrol masyarakat atas wilayah-wilayah hutan yang telah dimiliki dan dikelola secara historis menjadi semakin kecil; sumber-sumber air bersih terpolusi; kualitas wilayah-wilayah perburuan dan tempat-tempat mencari ikan berkurang; sumber-sumber daya alam yang non-kayu telah rusak. Bahkan tanah-tanah garapan yang produktif seperti ladang-ladang, tanah-tanah yang belum ditanami, kebun karet kecil, kebun buah dan kebun rotan telah rusak dan diambil alih terutama proyek-proyek PIR dan HTI.
Seorang pengamat yang belum paham yang terbang di atas Kalimantan Barat akan melihat baik hutan primer maupun hutan sekunder sebagai bentangan tanah yang masih liar. Penelitian akhiur-akhir ini mengenai peladang-peladang berpindah membuktikan bahwa wilayah-wilayah yang luas yang dulunya dipercaya sebagai hutan alam telah termodifikasi, terpelihara bahkan tercipta kembali oleh proses pengayaan tanah lewat cocok-tanam oleh rejim-rejim dan praktek-praktek pertanian hutan. Pemetaan dan perencanaan oleh pemerintah yang didasarkan pada interpretasi pemotretan udara dan pencitraan satelit tidak dapat mengidentifikasi sistem-sistem penggunaan tanah ini. Tidak mungkin untuk membedakan antara sebidang Tembawang dengan hutan primer, kebun karet baru dengan tanah kosong pada siklus perladangan berpindah melalui pemotretan udara. Tanah-tanah kebun yang produktif disalah namakan sebagai ladang-ladang yang telah ditinggalkan atau sebagai hutan kosong ( F. Momberg, 1993)

Konsekuensi hukum dari persepsi yang kurang tepat dari tanah-tanah yang dikelola ini adalah bahwa pemiliknya tidak dapat mendaftarkan kepemilikan atas tanah yang bersangkutan dengan Hukum Agraria (Zerner 1992). Hal ini mengisyaratkan bahwa pemetaan oleh masyarakat atau pemetaan berdasarkan partisipasi masyarakat merupakan alat yang tepat bagi pendokumentasian yang akurat atas pemakaian
tanah dan hutan masyarakat.


Pemetaan oleh Masyarakat dan Pemetaan Politik Negara

Peta...memberikan pengaruh sosial lewat segi-segi yang dihapuskan sama besarnya dengan cara penggambaran dan penonjolan segi-segi tertentu (J.B. Harley, 1993)

Para perencana kehutanan negara hanya mengandalkan peta-peta hutan Kaliumantan sejak awal tahun 1970an untuk membuat perencanaan hutan-hutan di luar pulau untuk dimanfaatkan kayunya. Rencana-rencana ini memungkinkan timbulnya hak-hak pengusahaan hutan (HPH) untuk menyediakan stok kayu-kayu keras yang berharga . Oleh karena itu peta-peta yang pertama adalah peta-peta lokasi HPH yang tidak akurat dan biasanya dirahasiakan. Batas-batas ditarik di atas peta yang hampir-hampir kosong tanpa mempertimbangkan klaim yang ada atau tanpa mempertimbangkan sistem-sistem pengelolaan hutan yang telah ada (Pramono 1991: 16, dikutip dalam Moniaga 1993: 134-135) Peta-peta di atas diganti sekitar tahun 1981 dan 1985 ketika departemen kehutanan bekerja dengan kantor-kantor wilayah pertanian dan pekerjaan umum serta dinas agraria, masing-masing mengembangkan rencana dan peta-peta hutan , yang secara kolektif dinamakan Tata Guna Hutan Konsensus (TGHK). Kategori status hutan ( hutan alam/hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan konversi, dan tanah tak terdaftar ) hanya semata-mata didasarkan pada sifat-sifat fisik geografis saja yaitu potensi tanah longsor, curah hujan dan kemiringan tanah. Tidak diperhitungkan klaim-klaim yang lebih dahulu dibuat oleh masyarakat maupun tanaman-tanaman ekonomis yang telah ditanam oleh masyarakat. Usaha pemetaan yang paling baru (1987--1990) adalah proyek RePPProt (Regional Physical Planning Programme for Transmigration ) yang merupakan usaha gabungan dari Departemen Transmigrasi, Bagian Sumber Daya tanah dan ODA (Overseas Development Administration --dari Inggris). Dengan menggunakan data Landsat dan pemotretan udara, wilayah penggunaan tanah yang sebenarnya dipeta kan dan kategori-kategori penggunaan tanah yang berbeda-beda dipertimbangkan. Seperti yang ditunjukkan oleh Sandra Moniaga (1993:135) dislrepasi antara peta TGHK dan peta RePPprot sangat menonjol. Namun demikian laporan-laporan RePPProt berbicara mengenai kelemahan-kelemahan dan pentingnya tidak dimasukkannya pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas:
Untuk tujuan-tujuan pembangunan, tanah tidak hanya harus cocok, dia harus tersedia, tanpa oleh penggarapan yang sedang dilakukan dan klaim-klaim yang ada. Peta-peta Tanah Garapan/Status Hutan pada skala 1: 250.000 menunjukkan di mana perladangan berpindah dan perladangan menetap berada, di situlah berlakunya intensitas penggunaannya. Peta-peta tersebut tidak menunjukkan batas-batas garapan tanah adat atau wilayah-wilayah adat meskipun hal ini penting dalam perencanaan yang terperinci. Jenis-jenis hutan dipetakan menurut penampakan permukaan gambar (satelit/foto udara) dan dalam kombinasi dengan jalan-jalan utama proyek logging, memberikan petunjuk mengenai potensi kayu ( RePPProt, Vol. 1:51)

Jika kartografi dan pemetaan merupakan sumber-sumber unik golongan yang kuat (berkuasa) (Harley, 1990:278), pemetaan oleh masyarakat merupakan alat pemberdayaan bagi kaum lemah. Jika peta dan kartografi dimengerti sebagai bagian dari bahasa golongan kuat, maka mengajarkan ketrampilan-ketrampilan pemetaan pada masyarakat lokal dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk baru pemberdayaan. Pentransferan (teknologi) pemetaan dapat membantu memberi imbangan balik atau sedikitnya mengimbangi monopoli kewenangan atas sumber-sumber daya oleh negara atau oleh pusat (N.L. Peluso 1994). Pada lebih dari 60 proyek di seluruh dunia sedang dilakukan pengembalian hak-hak masyarakat asli/pribumi/adat atas tanah-tanah mereka. Di Amerika Utara dan Amerika Latin gerakan pemetaan ini telah berhasil membuat garis batas, memetakan dan menyertifikat tanah-tanah adat. Di Asia tenggara hanya Filipina yang sejauh ini mempunyai pengalaman tentang pemetaan tanah adat, sementara proyek-proyek serupa di Indonesia baru akan dimulai pada tingkat yang paling awal. Dapat ditarik pelajaran dari pemetaan partisipatif yang telah dilakukan dalam proyek-proyek cagar alam di Wasur, Bunaken, Taman Nasional Ujung Kulon dan Cagar Alam Kayan Mentarang dan Arfak. Proyek-proyek pemetaan oleh masyarakat sedang akan dimulai di Bentian/Kalimantan Timur, di Maluku, di Lampung Barat dan di daerah-daerah Asmat di Irian Jaya. Dengan sedemikian sedikitnya pengalaman pemetaan di Indonesia, proyek pemetaan oleh masyarakat di Kalimantan Barat akan difokuskan pada pengembangan sumber daya manusia dan selama tahap orientasi dua tahun ini fokus akan diletakkan pada penyesuaian metodologi pada kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuan masyarakat setempat.







Segi-segi Hukum Pemetaan oleh Masyarakat atas Tanah-tanah Adat

Pada tahun 1992 Undang-undang mengenai Asas Kehutanan th, 1967 dan Undang-undang Agraria th. 1960 ditempatkan dalam konteks perundang-undangan masa sekarang dengan kedudukan yang sama. Sehubungan dengan itu, Undang-undang No. 10 th. 1992, Undang-undang No. 24 th. 1991 tentang Tata Ruang mengakui hak-hak wilayah masyarakat, hak-hak otonom,i kebudayaan dan prioritas yang disesuaikan dengan masyarakat yang secara historis lemah. Undang-undang di atas juga mengatur hak-hak suatu masyarakat untuk mengetahui apa yang sedang direncanakan di daerah-daerah tradisional, hak untuk meninjau dan mengulas rencana-rencana tersebut. Undang-undang No. 10 th. 1992 mengakui kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat atas otonomi kebudayaan dan politis. Undang-undang tersebut juga mengakui hak-hak masyarakat adat untuk berunding, berkonsultasi dan bernegosiuasi dalam forum-forum yang dibentuk untuk tujuan tersebut dan dengan prosedur-prosedur yang diatur, sehubungan dengan sifat-sifat kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah tersebut, di wilayah masyarakat tersebut tinggal dan yang akan menimbulkan impak atas masyarakat tersebut. Masyarakat tersebut mempunyai kebutuhan sekaligus hak untuk diajak konsultasi sebagai mitra yang berarti dan sebagai peserta yang berarti dalam perencanaan proyek pembangunan apapun yang akan mempunyai impak atas masyarakat yang bersangkutan dan lingkungan hidup mereka. (Seri Peraturan U.U. Indonesia 1985-1992, Zerner, 1992). Dalam konteks perundang-undangan ini, pemetaan oleh masyarakat pemetaan oleh masyarakat merupakan menjadi tepat dan sah secara hukum untuk mengkomunikasikan hak-hak atas tanah adat dengan instansi-instansi eksternal seperti BPN, BAPPEDA, dan Departemen Kehutanan.

II. SASARAN/TUJUAN

* Pemberdayaan masyarakat Dayak setempat
* Pengakuan hak-hak tanah
* Pembuatan garis batas wilayah tradisional
* Perlindungan tanah yang telah dibatasi
* Pengumpulan dan perlindungan pengetahuan tradisional
* Pengelolaan tanah-tanah tradisional dan sumber-sumber daya yang berkelanjutan
* Pengembangan sumber daya manusia

Sasaran yang paling dekat adalah melatih dan memfasilitasi masyarakat Dayak untuk menciptakan peta-peta mereka sendiri guna hak-hak advokasi tanah dan meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam menghadapi pemakai-pemakai tanah dari luar dan instansi-instansi eksternal.


III. STRATEGI

Penerapan pemetaan lokal bersesuaian dengan usaha-usaha oleh masyarakat adat dan masyarakat-masyarakat yang hidupnya tergantung dari penggarapan tanah untuk mendapatkan kembali kontrol mereka atas tanah mereka. Pemetaan oleh masyarakat lokal yang menggunakan metodologi kartografi tetap merupakan instrumen yang penting dan efektif dan berdasarkan pengalaman-pengalaman dari dua lokakarya di Sidas Daya dan Bukang penggunaan instrumen tersebut dapat membuahkan hasil yang bagus tanpa penggunaan teknologi lain. Pelatihan terhadap relawan-relawan dari kampung-kampung sekitar akan mempermudah proses pemetaan karena mereka sendiri yang akan melaksanakannya dan pemetaan oleh masyarakat akan menjangkau wilayah yang lebih luas dalam waktu yang lebih cepat daripada kalau dilakukan oleh tim pemetaan suatu lembaga swadaya masyarakat sendiri. Khususnya di wilayah-wilayah di mana hanya tersedia peta-peta topografi berskala besar atau jika desa yang bersangkutan mempunyai wilayah yang luas, GPS (Global Positioning System) menawarkan kinerja yang paling baik dalam pelatihan dan pencatatan data-data tanah dan mempunyai arti yang ekonomis sebagai investasi. Alat tersebut juga dapat mentransformasikan peta informal menjadi bentuk-bentuk kartografis yang lazim digunakan oleh badan-badan dari luar. Sistem Informasi Geografis (Geographical Information System--GIS) akan dipergunakan kemudian setelah tahap orientasi untu menyimpan peta-peta masyarakat yang mencatat data-data mengenai tanah dan menimpanya dengan batas-batas status hutan pemerintah, wilayah HPH, perkebunan dan cagar alam untuk mengkomunikasikan hak-hak tanah dengan pengguna-pengguna tanah yang lain. Selama dua tahun tahap pertama, tim pemetaan akan dilatih dengan GIS. Setelah tahap orientasi ini, metodologinya akan direvisi dan diperluas dengan suatu komponen GIS. GIS hanya akan digunakan untuk menyimpan, mengorganisasikan dan melapisi. Penggunaannya sebagai alat analisis akan dibatasi sebab semua langkah program pemetaan termasuk analisis akhiur harus dikendalikan sendiri oleh masyarakat adat. Program komputer yang sangat sederhana akan digunakan untuk menghindari kerusakan teknis, biaya-biaya yang tak terduga, dan ketidak sesuaian antara kemampuan GPS dengan kemampuan lokal. Sistem pemetaan komputer tersedia untuk tujuan-tujuan itu dan tidak meminta biaya atau ketrampilan operasional GIS yang tinggi.Untuk mengadvokasikan peta-peta masyarakat terhadap badan-badan pemerintah program pemetaan masyarakat akan melibatkan personel penghubung sebagai staf part-time, yang adalah anggota DPRD dari GOLKAR.


IV. METODOLOGI

Batas-batas desa tradisional mewakili bagian dari sistem tata-guna yang mengatur akses-akses sumber-sumber daya oleh kelompok atau perorangan. Batas-batas wilayah adat tidak selalu ada atau tidak selalu jelas di semua desa. Jika batas-batas tanah yang bergunung-gunung biasanya ditentukan melalui peperangan atau negosiasi, tanah-tanah kosong, tanah-tanah di lembah atau batas-batas kampung atau batas-batas adat sering tidak jelas. Di daerah-daerah batas desa biasa didapatkan sebidang ladang, tanah kosong, kebun-kebun karet yang dimiliki oleh perorangan atau kelompok-kelompok yang masih punya hubungan kekeluargaan dari kedua desa yang berbatasan. Jika ada hubungan kekeluargaan di desa-desa yang berbatasan mungkin masyarakat di kedua desa akan memiliki secara bersama-sama hak-hak kepemilikan atas kebun buah-buahan dan hutan. Namun demikian masyarakat-masyarakat di wilayah-wilayah tersebut di atas mengungkapkan kebutuhan akan pemetaan tanah-tanah desa dan masyarakat yang pernah mengalami pertikaian dengan perkebunan, hutan tanaman industri, rencana-rencana transmigrasi maupun HPH telah memulai usaha pembuatan batas-batas desa adat mereka dan mengungkapkan perlunya pemetaan desa.


Untuk menghindari konflik-konflik hak-hak tanah antara desa satu dengan lainnya atau antara masyarakat dalam satu desa perlulah untuk mengembangkan suatu pendekatan yang melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat. Semua penduduk desa, pria, wanita dan orang-orang muda harus didorong untuk berpartisipasi dalam latihan pemetaan lapangan. Wakil-wakil dari desa-desa sekitar harus bergabung dalam kegiatan di batas masing-masing. Semua penduduk desa dan wakil-wakil dari desa-desa sekitar harus berpartisipasi dalam rapat desa akhir untuk mengoreksi dan memeriksa hasil yang didapat dari kegiatan lapangan. Tandatangan dari semua yang ambil bagian dalam kegiatan itu mengabsahkan peta tersebut sebagai dokumen yang berkekuatan hukum untuk digunakan dalam advokasi.
Di wilayah-wilayah yang tidak terekam dalam peta yang berskala 1 : 50.000 atau lebih kecil, pelatihan akan mencakup cara penggunaan dan penerapan GPS. Pemetaan batas-batas dengan GPS adalah cara penentuan posisi yang paling akurat dan dapat memperkecil selisih antara peta-peta yang berlainan dari daerah yang sama. Karena penggunaan GPS merupakan cara yang paling cepat dan akurat untuk medata keadaan lapangan, pendokumentasian hak-hak tanah seperti tempat pemakaman, lokasi desa lama atau hutan buah-buahan, akan melibatkan penggunaan GPS sedikitnya dalam kegiatan pelatihan bagi anggota masyarakat peserta pembuatan peta.
Peta-peta pada umumnya merupakan peta-peta yang menunjukkan sumber-sumber pada skala aslinya dan mempunyai referensi mengenai koordinat garis lintang dan garis bujur sesuai dengan GPS, peta-peta yang dibuat oleh masyarakat dapat dianggap sebagai peta yang dibesarkan.

Tahap Pelatihan : Penilaian tentang Partisipasi Masyarakat Desa
Sebelum memulai pemetaan lapangan pentinglah bagi tim pemetaan untuk mempelajari dahulu dari masyarakat desa mengenai keadaan demografi, sejarah desa, tata guna tanah, hukum tradisional, dan pengelolaan sumber daya. Selama kunjungan yang pertama penilaian mengenai partisipasi masyarakat desa akan dilakukan untuk mempelajari sejauh mana pemahaman masyarakat adat akan proses pemetaan (dengan menggunakan metoda-metoda seperti (transect walk), peta-peta penggunaan tanah, sensus, diagram venn untuk analisis kelembagaan dan kalender musim)
Dalam tahap ini tim pemetaan juga akan menjelaskan tujuan-tujuan program pemetaan dan konsep keikutsertaan yang luas. Tim pemetaan harus paling sedikit memilih tiga orang wakil desa untu pelatihan jika pelaksanaan dan pelatihan pemetaan diadakan di desa lain yang berdekatan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kriteria-kriteria berikut: ketrampilan dasar pemetaan seperti kemampuan matematis dan minat untuk belajar; dan kemampuan pengorganisasian masyarakat. Paling sedikit seorang wakil harus mempunyai pengetahuan geografis mengenai tanah desanya dan batas-batasnya.

Pemetaan oleh Masyarakat versus Pemetaan Partisipatif
Lokakarya akan dilaksanakan di desa yang ditentukan dengan mengikutsertakan peserta-peserta dari desa yang bersangkutan dan peserta-peserta dari desa-desa sekitardan bukan oleh tim pemetaan yang profesional. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan suatu gerakan pemetaan yang akan selanjutnya difasilitasikan oleh relawan desa yang akan mendapat pelatihan lebih lanjut dalam pelatihan pemetaan dan pengorganisasian masyarakat. Karena itu selama tahun pertama penekanan akan diberikan pada pengembangan sumber daya manusia dan bukan pada menghasilkan peta-peta yang banyak.
Selama lokakarya di desa, penduduk desa yang bersangkutan dan wakil-wakil dari desa-desa sekitar akan belajar teknik-teknik pemetaan dasar. Secara khusus wqakil-wakil dari desa-desa lain harus dilatih secara intensif dan didorong untuk dapat memfasilitasi kegiatan pemetaan di desanya sendiri sebagai relawan.Penyebaran pemetaan akan selanjutnya didukung oleh tim pemetaan dengan peta-peta dasar dan alat-alat tulis/gambar. Tim pemetaan juga akan membantu para relawan pemetaan jika ada masalah dalam teknik-teknik pemetaan dan pengorganisasian.Relawan-relawan yang sangat terampil akan dilatih lebih lanjut di Pontianak dalam bidang pemetaan dan pengorganisasian masyarakat dan sebagai petugas community mapper yang akan menggantikan tugas tim pemetaan di lapangan yang selanjutnya akan berkonsentrasi pada koordinasi daerahnya dan pada pelatihan coummunity mapper yang lain dan pada kegiatan pemetaan seluruh daerah adat di wilayahnya yang akan didukung oleh pertemuan para tokoh adat di daerah tersebut. Peta-peta tanah adat dalam skala besar yang digunakan untuk advokasi dalam jangka dekat akan dikoreksi dan diperbaiki secara bertahap oleh pelaksanaan pemetaan per desa. Ketika suatu daerah adat telah dijangkau oleh peta-peta desa, akan terbentuk peta tanah adat yang besar yang merupakan peta hasil partisipasi masyarakat yang sangat akurat.

Pelatihan Pemetaan oleh Masyarakat
Tujuan kegiatan pelatihan bagi masyarakat setempat adalah untuk memberikan masyarakat desa pengetahuan teknis pemetaan maupun kesempatan untuk belajar bersama-sama untuk menghayati pentingnya pendekatan partisipatif yang juga mencakup desa-desa sekitar. Mereka juga akan belajar tentang bagaimana peta tersebut akan digunakan sebagai alat komunikasi untuk melindungi tanah-tanah adat atau untuk rencana pengembangan desa masa depan.
Persiapan-persiapan untuk pelatihan meliputi penyediaan peta-peta dasar untuk semua desa yang ikut ambil bagian. Jika memungkinkan peta-peta topografi akan diperbesar dengan Xerox menjadi skala 1: 25.000 dan 1 : 10.000 tergantung dari keadaan lapangan di desa yang bersangkutan. Untuk daerah-daerah yang terekam dalam peta topografi dengan skala 1 : 250.000 perbesaran biasa dilakukan sampai mencapai skala 1 : 50.000.
Kegiatan hari pertama dan kedua akan difokuskan pada pelatihan ketrampilan-ketrampilan dasar membaca dan menginterpretasikan peta-peta topografi, hal-hal yang sudah merupakan standar peta (skala, legenda, arah ), memilih dan menentukan skala dan teknik-teknik dasar survey lapangan.
Setelah itu semua peserta akan ikut dalam praktek pemetaaan batas-batas desa dan hal-hal yang penting di desa itu seperti jalan dan jalan setapak. Setelah pelatihan teori dan pengumpulan data semua peserta akan dibantu dalam kelompok-kelompok untuk menganalisis data lapangan dan menggambarkannya di peta dasar. Kemudian akan diadakan pertemuan desa untuk mengoreksi dan memeriksa kembali peta dasar yang didapat dan untuk memberi nama semua sumber-sumber alam dan kekayaan budaya dengan nama seperti yang dikenal di kampung tersebut (nama asli kampung yang bersangkutan.) Kemudian peserta dalam pertemuan tersebut dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing berisi wanita, pria dan remaja untuk mensket sumber-sumber daya alam yang ada dan tata guna tanah. Setiap kelompok akan mempresentasikan peta yang dihasilkan di hadapan semua peserta dan pada akhirnya akan ditarik kesepakatan mengenai distribusi sumebr-sumber daya dan tata guna tanah. Hari berikutnya pertemuan masyarakat desa dilanjutkan lagi untuk membahas penggunaan peta dan akhirnya menggambar rencana pengembangan sumber daya desa. Terakhir sekali peta yang dihasilkan ditandatangani oleh semua peserta pertemuan desa.

Pelatihan Pemetaan bagi Pelatih
Para petugas community mapper, koordinator pemetaan desa,agen-agen CA , CO - CO dari LBBT akan diberi pelatihan tingkat mahir mengenai PRA, teknik-teknik pemetaan dan pengorganisasian masyarakat. Kunjungan-kunjungan silang dengan proyek-proyek pemetaan lainnya (antara lain PLASMA, WWF, Kayan Mentarang ) akan memberikan sumbangan bagi pengembangan sumber daya manusia lebih lanjut.

Pendekatan Terpadu terhadap Hak-hak Tanah Adat dan Pembangunan yang Berkelanjutan
Program pemetaan tanah adat akan dikaitkan dengan program-program Pancur Kasih , IDRD, dan LBBT, yang berfokuskan pada daerah-daerah yang sama untuk mencapai pada sasaran maksimum penggunaan peta sebagai alat advokasi, pengembangan masyarakat dan pengelolaan sumber saya yang berkelanjutan. Program penelitian IDRD atas hukum-hukum adat akan memberikan latar belakang pengetahuan yang penting tentang hak penggunaan tanah, tentang kewilayahan dan lembaga-lembaga adat dan membantu pemetaan tanah adat dalam jangkauan besarnya. Program penelitian tentang keadaan demografi penduduk yang bermukim di wilayah hutan yang didanai dengan hibah dari Ford akan dikaitkan dengan program pemetaan. Data kependudukan yang didapat dari penelitian demografis dan data-data sumber daya yang didapat dari pemetaan desa akan dipadukan dan dianalisis dengan GIS. Dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa 74 hingga 92 persen wilayah tanah negara dikelola dikelola oleh Departemen Kehutanan, perpaduan antara pemetaan dengan penelitian kependudukan dan GIS yang bertumpang tindih dengan status hutan yang ada akan membuktikan bahwa tanah hutan tidaklah kosong tetapi telah dikelola oleh masyarakat penduduk asli (masyarakat adat). Memadukan kedua program tersebut akan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi pengambilan keputusan di kemudian hari. (Fox, 1994 )
Bidang kerjasama yang lain adalah Program Pengembangan Pedesaan Pancur Kasih yang berfokus pada pengembangan desa ( menyelenggarakan dana berputar, proyek-proyek pertanian berskala kecil, pendidikan formal dan informal). Agen-agen CA pada Proyek Pengembangan Pedesaan akan mendapat pelatihan dasar mengenai PRA dan pemetaan masyarakat untuk menggunakan peta sebagai alat komunikasi untuk mengembkan rencana-rencana pengelolaan sumber daya desa. Mereka juga akan membantu dalam hal persiapan sosialisasi proses pemetaan di desa-desa, termasuk penentuan para relawan dan community mapper. Agen-agen tersebut akan memantau dan jika perlu membantu proses pemetaan oleh masyarakat.
Untuk tujuan advokasi, proyek pemetaan akan bekerjasama dengan LBBT dan CO-CO nya di lapangan untuk mendapatkan pengakuan yang penuh atas hak-hak tanah adat. Daerah-daerah di mana masyarakat adat akan terkena oleh dampak pembangunan skala besar akan menjadi prioritas dalam kegiatan pemetaan.

VI. Daerah Sasaran

Selama tahun pertama daerah-daerah sasaran pemetaan oleh masyarakat desa adalah :

* Kabupaten Ketapang, kecamatan-kecamatan Simpang Hulu , Sungai Laur dan Sandai. Selama tahun pertama program pemetaan akan menjangkau 20 dusun.

* Kabupaten Pontianak, kecamatan Sengah Temila
Kecamatan ini terdiri dari 19 desa dan 121 dusun. Di kecamatan ini, sebagaimana di sebagian besar daerah di Kabupaten Pontianak, penduduk aslinya adalah suku Dayak Kanayatn. Selama tahun pertama program pemetan akan menjangkau 10 dusun.
Jadi pemetaan tanah adat secara keseluruhan akan menjangkau tanah-tanah adat suku Kanayatn, Simpang, Laur, Keriau, Pawan dan Jeka.
Kalau pada tahun pertama program akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, tahun kedua program akan diperluas sampai 40 dusun. Program akan berlanjut dengan 30 dusun di Kabupaten Pontianak dan Ketapang dan 10 di dusun di Kabupaten Sanggau. Program dapat dijadwalkan kembali jika ada daerah yang rawan konflik yang dijadikan prioritas.




























C.
IDEOLOGI PEMETAAN PARTISIPATIF
UNTUK PEMBARUAN AGRARIA

PENGANTAR

Ada kesan saat ini pemetaan partisipatif sedang mengalami masa surut (baca= kering inovasi konsep). Untuk itu, saya tertarik mengetengahkan tulisan ini, karena beranggapan bahwa konsep pemetaan partisipatif harus disesuaikan dengan perjuangan perjuangan masyarakat akar rumput. Kerangka persoalan lainnya yang hendak saya disikapi adalah terjadinya reorganisasi hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dipicu oleh TAP MPR RI NO XV/ MPR/ 1998 , yang dilanjutkan dengan pemberlakuan UU No.22/1999 dan UU No. 25/1999, yang kemudian kedua UU ini diganti dengan UU No 32/2004. Suatu hubungan kekuasaan yang hendak dipromosikan oleh Undang-undang ini adalah Otonomi daerah , yang berarti penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sekalipun undang-undang baru ini telah mengurangi penyerahan kewenangan tersebut, masih terdapat peluang untuk mempertjuangkan pembaruan agraria pada aras lokal.
Pemanfaatan sumber daya agaria merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Kebutuhan sosial ekonomi dimaksud bila dikategorisasikan menurut sector di bedakan ke dalam bidang pertanian, perikanan, perkebunan, industri, perdagangan, sarana dan prasarana dalam pembangunan, dan lain-lain. Peran penting sumberdaya lahan dan pembangunan soial-ekonomi menjadi makin penting seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk yang relative tinggi,keadaan ini akan terus memberi tekanan-tekanan kepada permintaannya (demand for land).dari sisi persediaan lahan (supply)pada waktu tatanan ruang tertentu (suatu wilayah,atau kawasan kota), persediaan lahan tetap(fixed), sehingga nilai dan fungsinya meningkat seiring dengan perubahan waktu.
Dewasa ini, sumberdaya lahan makin langka. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya akumulasi modal terhadap sumberdaya lahan yang di lakukan oleh pihak tertentu. dengan kata lain, sumberdaya lahan merupakan sumberdaya penting yang dapat menjadi bagian penting dan sangat menentukan eksistensi kehidupan mahluk hidup (manusia,hewan dan tumbuhan). misalnya pada aras rumah tangga tanah memiliki arti penting sebagai alat produksi dan bahkan ’dimaknai’ sebagai sumber utama dalam kehidupan rumah tangga petani. Pada aras Negara, komunitas atau masyarakat, tanah adalah sumberdaya pambangunan. Demikianlah, lahan manjadi bagian yang ’mendinamisasi’ hubungan-hubungan diantara pemanfaat sumberdaya ini khususnya bagi manusia.
Kepentingan terhadap tanah ini berimplikasi pada ’interest’ pemanfaat sumberdaya agaria misalnya dalam pembangunan lahan yang dalam ini dipahami sebagai tanah (ruang/space)merupakan salah satu sumberdaya utama untuk melaksanakan program pembangunan. Dengan kata lain, ketersediaan tanah marupakan faktor yang menentukan dalam banyak program partanian.Tujuan pambangunan pertanian dapat di pastikan selalu berorientasi pada peningkatan produksi dan kualitas hasil pertanian termaksud upaya diversifikasi jenis tanaman yang ditanam. Namun, ketersediaan tanah semakin berkurang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan program dan rencana pembangunan dan juga perubahan kebijakan pihak yang terikat melalui upaya konversi lahan.
Konversi lahan pertanian dapat ‘diibaratkan’ sebagai suatu perubahan sosial yang juga terjadi “beriringan” dengan perubahan ruang dan waktu. Konversi lahan juga dapat mengakibatkan perubahan sosial /komunitas. Salah satu faktor konversi tersebut adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Implikasi dari pertambahan jumlah penduduk ini mencakup berbagai aspek. Secara kuantitas dapat meningkatkan kepadatan geografis suatu wilayah. Demikian juga dengan daya dukung (carrying capacity) suatu wilayah dapat berkurang jika pertambahan penduduk wilayah tersebut makin meningkat.
Implikasi pertumbuhan penduduk secara sosiologis dalam suatu masyarakat adalah kepadatan agaria (gangguan terhadap lingkungan) yang makin tinggi. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk merupakan ‘determinan’perubahan sosial/komunitas. Ketersediaan lahan juga sangat menentukan corak struktur sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, artinya, perubahan ketersediaan dan tipe penguasaan lahan akan mempengaruhi sistem sosial.
Menurut Thalla (1972)sebagaimana di kutip sapari iman A (1993),fungsi kota adalah (1)production center,yakni kota sebagai pusat produksi,baik barang setengah jadi;(2)center of trade and commerce,yakni kota sebagai pusat perdagangan dan niaga,yang melayani daerah sekitarnya;(3)political capital,yakni kota sebagai pusat pemerintahan;(4)cultural center,yakni kota sebagai pusat kebudayaan;(5)health and recreation,yakni kota sebagai pusat pengobatan dan rekreasi dan (6)divercified cities,yakni kota-kota yang berfungsi ganda atau beraneka.fungsi kota yang di sebut terakhir adalah fungsi kota yang banyak diperankan oleh kota-kota baik di luar negri maupun di Indonesia.
Otonomi harus dibaca dan diimplementasikan sebagai “hak dan wewenang yang dikembalikan kepada warga masyarakat untuk mengatur urusan mereka sendiri”. Penyerahan kewenangan ini memang disatu pihak akan mendekatkan rakyat pada pembuat kebijakan pemerintah. Namun, dipihak lain, penyerahan kewenangan ke pemerintah daerah tanpa kendali langsung dari rakyat mengandung dua kemungkinan implikasi, pertama : bisa terjadi “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintahan pusat beralih ke pemerintahan daerah”, dan kedua, ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menjalankan wewenang yang dilimpahkan tersebut.
Jadi, pokok persoalanya terletak pada (1) bagaimana masyarakat biasa secara langsung maupun tidak langsung melakukan berbagai upaya pengendalian terhadap roda organisasi pemerintahan daerah, (2) bagaimana perpolitikan pemerintah daerah dapat mengahsilkan kebijakan yang melayani kepentingan-kepentingan rakyat, dan bukan justru, atas nama otonomi daerah, terjadi penguatan eksploitasi, penindasan dan penaklukan masyarakat, khususnya masyrakat adat.
Pemanfaatan sumber daya agaria merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Kebutuhan sosial ekonomi dimaksud bila dikatagorisasikan ke dalam bidang pertanian, perikanan, perkebunan, industri, perdagangan, sarana dan prasarana dalam pembangunan, dan lain-lain. peran penting sumberdaya lahan dan pembangunan soial-ekonomi menjadi makin penting sering meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk yang relative tinggi, keadaan ini akan terus memberi tekanan-tekanan kepada permintaannya (demand for land). dari sisi persediaan lahan (supply)pada waktu tatanan ruang tertentu (suatu wilayah,atau kawasan ), persediaan lahan tetap(fixed), sehingga nilai dan fungsinya meningkat seiring dengan perubahan waktu.
Dewasa ini, sumberdaya lahan makin langka.salah satu faktor penyebabnya adalah adanya akumulasi modal terhadap sumberdaya lahan yang di lakukan oleh pihak tertentu.dengan kata lain, sumberdaya lahan merupakan sumberdaya penting yang dapat menjadi bagian penting dan sangat menentukan eksistensi kehidupan mahluk hidup (manusia,hewan dan tumbuhan).misalnya pada aras rumah tangga tanah memiliki arti penting sebagai alat produksi dan bahkan’dimaknai’sebagai sumber utama dalam kehidupan rumah tangga petani. pada aras Negara, komunitas atau masyarakat, tanah adalah sumberdaya pambangunan. Demikianlah lahan manjadi bagian yang ’mendinamisasi’ hubungan - hubungan diantara pemanfaat sumberdaya ini khususnya bagi manusia.
Kepentingan terhadap tanah ini berimplikasi pada ’interest’ pemanfaat sumberdaya agraria misalnya dalam pembangunan. Lahan yang dalam ini dipahami sebagai tanah (ruang/space) merupakan salah satu sumberdaya utama untuk melaksanakan program pembangunan. Dengan kata lain, ketersediaan tanah merupakan faktor yang menentukan dalam banyak program partanian. Tujuan pambangunan pertanian dapat di pastikan selalu berorientasi pada peningkatan produksi dan kualitas hasil pertanian termaksuk upaya diversifikasi jenis tanaman yang ditanam. Namun, ketersediaan tanah semakin berkurang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan program dan rencana pembangunan dan juga perubahan kebijakan pihak yang terikat melalui upaya konversi lahan.
Konversi lahan pertanian dapat ‘diibaratkan’ sebagai suatu perubahan sosial yang juga terjadi “beriringan” dengan perubahan ruang dan waktu. Konversi lahan juga dapat mengakibatkan perubahan sosial /komunitas. Salah satu faktor konversi tersebut adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Implikasi dari pertambahan jumlah penduduk ini mencakup berbagai aspek. Secara kuantitas dapat meningkatkan kepadatan geografis suatu wilayah. Demikian juga dengan daya dukung (carrying capacity) suatu wilayah dapat berkurang jika pertambahan penduduk wilayah tersebut makin meningkat.
Implikasi pertumbuhan penduduk secara sosiologis dalam suatu masyarakat adalah kepadatan agraria (gangguan tarhadap liangkungan) yang makin tinggi. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk merupakan ‘determinan’ perubahan sosial/ komunitas. ketersedian lahan juga sangat menentukan corak struktur sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Artinya, perubahan ketersediaan dan tipe penguasaan lahan akan mempengaruhi sistem sosial.

MEMAHAMI AGRARIA

Memahami agraria, sesungguhnya tidak lepas dari memahami sumberdaya alam. Memang bahwa kesamaan konsep agraria dan konsep Sumber daya alam masih dalam perdebatan dan belum memiliki batasan yang jelas termasuk dalam undang-undang pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat (TAP MPR) No. IX Tahun 2001. Sitorus (2002), mengemukakan bahwa lingkup agraria itu terdiri dari dua yaitu obyek agraria dan subjek agraria. Obyek agraria adalah sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik sementara subyek agraria adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut.
Menurut UUPA 1960, pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi,air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. “(pasal 1 ayat 2).” Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula bumi bagian bawahnya serta yang berada dibawah laut” (pasal 1 ayat 4). “dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia” (pasal 1 ayat 5). “yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut “(pasal 1 ayat 6). Dengan merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960 itu, Sitorus (2002) menyimpulkan beberapa jenis sumber-sumber agraria yaitu:
Tanah, atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan perternakan. Petani memerlukan tanah untuk lahan usaha tani. Sementara peternak memerlukan tanah untuk padang rumput.
Perairan. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan perupakan arena penangkapan ikan (fishing ground) komunitas nelayan.
Hutan. Inti pengertian “hutan” disini adalah kesatuan frola dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) diluar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agrarian ini secara histories adalah modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas perhutanan, yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata keaktifan local.
Bahan tambang. Jenis sumber agrarian ini meliputi ragam bahan tambang / mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi” (di bawah permukaan dan dibawah laut) seperti minyak, gas, mas, biji besi, timah, intan, batu-batu mulia, frosfat, pasir, batu, dan lain-lain.
Udara. Jenis sumber agrarian ini tidak saja merujuk pada “ruang di atas bumi dan air” tetapi juga materi “udara” (co2) itu sendiri. Arti penting materi “udara” sebagai sumber agrarian baru semakin terasa belakangan ini, setelah polusi asap mesin atau kebarakan hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia. Dalam hal ini, tidak hanya manusia yang mengalami gangguan, tetapi makhluk lainnya, yang hidup diatas sumberdaya tersebut. Dengan demikian, gangguan pada suatu sumberdaya berimpikasi kepada gangguan terhadap makhluk hidup yang berada dalam ekosistem tersebut. Dalam pandangan antroposentrisme, ekspolitasi terhadap sumberdaya alam/agrarian merupakan hal yang biasa karena alam dipandang sebagai ‘berkah’ bagi manusia. Berbeda dengan pandangan ekosentrisme yang memandang alam sebagai sumberdaya bagi semua makhluk hidup dalam suatu ekosistem.











Table Perbandingan Pengertian Maknawi Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Agraria

No. Aspek Pembanding Sumberdaya Alam Sumberdaya Agraria
1. Spesial-keruangan Tidak terbatas (permukaan bumi dan di atas ruang permukaan bumi) Lebih terbatas pada fisik (permukaan bumi)
2. Subtansial-material Termasuk hasil-hasil pemanfaatan sumberdaya ini. Misalnya produktivitas hasil pertanian Mancakup tanah, perairan, hutan, bahan, tambang, perkebunan, dan lain-lain
3. Instrumental-pencapaian tujuan bagi kehidupan Untuk kesejahteraan sumberdaya makhluk hidup. Dibedakan menjadi dua yaitu sumber alam penghasil energi dan penghasil bahan baku Untuk kesejahteraan masyarakat
Sumber : Sihaloho, Martua, (2004 )

Struktur Agraria
Struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak yang terkait dengan sumberdaya agraria. Dengan kata lain, hubungan-hubungan sosio-agraria dapat menjelaskan bagaimana struktur agraria merupakan gambaran dari struktur masyarakat. Menurut Urlich Planck (1993), Hukum agraria dalam pengertian sempit adalah hukum pertanahan yang memiliki cirri-ciri yang berbeda-beda. Cirri-ciri tersebut berkaitan satu sama lain dan hubungannya terhadap keseluruhan hukum agraria bisa diukur. Keseluruhan hubungan inilah yang disebut Planck sebagai struktur agraria.
Memahami struktur agraria dapat berangkat dari Jurgen Habermas (1990) tentang dua dimensi tindakan manusia yaitu kerja (tindakan teknis terhadap obyek) dan interaksi atau komunikasi (tindakan sosial terhadap subyek). Dari dua tesis ini dapat dikatakan bahwa tindakan manusia dalam bidang keagrariaan juga mengandung dimensi-dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dari dua dimensi tersebut, secara deduktif dapat dirumuskan dua preposisi dasar analisis agraria sebagai berikut: pertama, ketika subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; kedua, ketika subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Selanjutnya (Sitorus (2002) menggambarkan hubungan antara subyek agraria dengan obyek sebagai hubungan teknis dan hubungan antar subyek agraria sebagai hubungan sosial agraria. Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria selanjutnya menggambarkan struktur agraria suatu masyarakat (wilayah tertentu).
Struktur agraria yang dimaksud dalam tulisan ini adalah menunjuk pada hubungan antar berbagai status sosial menurut penguasaan sumber-sumber agraria. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi-hasil”,”pemilik dengan penyewa”,”pemilik dengan pemakai”, dan lain-lain. Contoh lain yang menggambarkan adanya perbedaan akses individu/rumah tangga terhadap sumber agraria adalah hubungan sosial produksi agraria . Pola hubungan ini sudah ada sejak tahun 1931 di 19 daerah hukum adat Indonesia (Scheltema, 1985).
Selain hubungan teknis dan hubungan sosial agraria di atas, dapat dipahami hubungan ekologis, sosial-politis dan sosial-profuktif. Hubungan ekologis yang dimaksud adalah yang terjadi akibat hubungan teknis antara subyek agraria merupakan hubungan antar subyek-subyek agraria pada aspek kekuasaan dan wujud nyata dari praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya agraria tersebut.
Cara produksi dapat menggambarkan tipe struktur agraria. Dengan kata lain, cara produksi juga akan ditentukan oleh siapa sumberdaya agraria tersebut dikuasai termasuk dalam hal pengembilan keputusan. Tipe-tipe cara produksi yang mungkin eksis dalam suatu masyarakat, dengan salah satu diantaranya tampil dominan, adalah (Jacoby, 1071;Wiradi,2000:183):
Tipe Naturalisme: sumber agraria dikuasai oleh komunitas local, misalnya komunitas adat, secara kolektif;
Tipe Feodalisme: sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah” yang biasanya juga merupakan “patron politik”.
Tipe Kapitalisme: sumber agraria dikuasai oleh non-pemerintah yang merupakan perusahan kapitalis;
Tipe Sosialisme: sumber agraria dikuasai oleh Negara atas nama kelompok pekerja; dan
Tipe Populisme/neo-populisme: sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna.

Tipe-tipe ideal tersebut di atas tidak mungkin ditemukan secara mutual ekslusif dalam suatu masyarakat karena tidak ada suatu masyarakat dengan struktur agraria yang murni naturalis, feodalis, kapitalis, sosialis, ataupun populis/neo-populis. Hal yang lebih realistis adalah dua atau lebih tipe struktur agraria sama-sama eksis dalam suatu masyarakat, tetapi dengan dominasi salah satu tipe-tipe lainnya (yang menjadi marginal), (Jacoby, 1971;Wiradi,2000).
Memahami cara produksi terhadap pemanfaat sumberdaya agraria berhubungan dengan mode of production. Pada awalnya Marx menggunakan istilah mode of production untuk mengidentifikasi unsur utama dari suatu tahap tertentu dari sejarah produksi dengan memperlibatkan bagaimana bentuk dasar ekonominya dan saling hubungan sosialnya. Dalam hal ini, cara masyarakat secara actual dengan mode of production,dan menekankan pada cara total kehidupan masyarakat, aktivitas sosialnya, dan kelembagaan sosialnya.
Selanjutnya, dalam pandangan Marx, saling hubungan produksi ini berkaitan pada tahap pertumbuhan/perkembangan ekonomi. Misalnya adanya kelas bangsawan dan budak (patrician and slavery), ‘Lord and serf’ dan kapitalis dan tenaga kerja upahan (Morrison, Ken, 1995). Hal ini dapat diadaptasikan pada hubungan produksi agraria yaitu adanya tuan tanah dengan penggarap atau buruh tani,adanya investor (tuan tanah) dengan petani penggarap atau buruh tani, dan praktek-praktek kesaling hubungan produksi lainnya.
Ketika memahami struktur agraria dengan aspek kehidupan masyarakat pedesaan maka konsep struktur agraria tidak lepas dari pola penguasaan sumberdaya agraria (tanah), pola nafkah agraria, pola hubungan produksi agraria, distribusi asset agraria, subyek agraria terhadap sumberdaya agraria. Pola penguasaan ini juga berhubungan dengan bagaimana hubungan subyek-subyek agraria dalam memanfaatkan sumberdaya agraria yang ada.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria secara khusus terkait dengan kebutuhan subyek agraria. Dengan kata lain berhubungan dengan sumber mata pencaharian, yang dalam hal ini lebih dipahami sebagai sumber mata pencaharian utama/pokok. Dengan demikian, beberapa sumber mata pencaharian yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya agraria adalah pendapatan dari farming, non-farming dan off non-farming. Pola nafkah agraria tidak selalu dipahami dari bagaimana sumberdaya agraria dimanfaatkan langsung, tetapi akibat dari tidak akses dan pengelolaan tidak langsung juga dapat dipahami sebagai pola nafkah agraria. Di samping itu, pola nafkah rumah tangga berkaitan dengan bagaimana strategi bertahan hidup rumah tangga tersebut.
Dharmawan (2001), membagi lingkup strategi nafkah keluarga menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) strategi nafkah rumah tangga petani strata bawah. Strategi ini terdiri dari dua, yaitu (a). mengerjakan berbagai jenis pekerjaan (tipe multiple employment strategy). Strategi ini dikenal dengan pola nafkah ganda dan sering dipakai oleh rumah tangga petani miskin untuk bisa mempertahankan hidupnya karena mereka hanya mempunyai tenaga, sedangkan modal dan keahlian yang dimiliki sangat terbatas; (b). penyebaran tenaga rumah tangga. Ukuran anggota keluarga potensial untuk membantu ekonomi keluarga; (2) strategi nafkah keluarga petani menengah. Strategi ini terdiri dari dua strategi, yaitu (a) strategi persiapan pertumbuhan, (b) strategi produksi rumah tangga dan (c) strategi keluarga nafkah petani ; (3) dan strategi keluarga petani atas yaitu mengembangkan asset.
Selanjutnya hubungan produksi agraria menggambarkan bagaimana distribusi asset agraria dan juga pola formasi asset atau capital. Dalam hal ini, penguasaan terhadap sumberdaya agraria yang luas berimplikasi dengan penguasaan capital lain seperti uang, teknologi, dan juga akses terhadap kekuasaan. Hal ini juga digambarkan dengan ciri masyarakat agraria dimana satu dasar pelapisan sosial masyarakat adalah kepemilikan terhadap sumberdaya agraria (tanah).
Hubungan asset yang disinggung di muka pada dasarnya merupakan hubungan antar subyek-subyek agraria dalam memanfaatkan sumberdaya agraria baik secara langsung maupun tidak langsung. Sumberdaya agraria juga sekaligus menjadi faktor produksi penting yang jumlahnya makin terbatas sementara kepentingannya makin tinggi dalam pertumbuhan ekonomi dan juga pertumbuhan penduduk. Dua faktor penting sumberdaya agraria ini menjadi butir pokok pertimbangan dalam pengelolaan, manajemen pertanahan yang diatur dalam kebijakan dan peraturan perundangan lainnya.
Pada masyarakat agraris, luas kepemilikan tanah menjadi salah satu dasar pelapisan sosial masyarakat. Dalam hal ini tanah memiliki symbol ‘kekuasaan’, khususnya bagi tuan tanah dan symbol ‘ketidakmampuan’ bagi ‘tunakisma’, dan fungsi kolektifikasi bagi masyarakat atau komunitas adat.

Pemetaan Tanah sebagai upaya pembaruan Agraria

Persoalan sumber-sumber agraria senantiasa menjadi isyu penting pada pasca bergulirnya reformasi di Indonesia karena selain sebagai faktor produksi juga dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan hubungan sosial dan perkembangan budaya masyarakat. DiIndonesia, isyu penting dalam persoalan agraria ini antara lain mengenai ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agrarian, khususnya masalah tanah.
Secara historis,masalah ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria ini sesungguhnya sudah lama terjadi,sejak zaman pemerintahan colonial Belanda, Jepang, Demokrasi Terpimpin,Orde Baru dan lebih parah pada belakangan ini. Di era reformasi tahun 1998, masalah tersebut belum juga mendapat perhatian serius dari pemerintah walaupun sejak pemerintah Orde Baru telah sangat bergejolak.
Berdasarkan TAP MPR No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan pemanfaatan Sumberdaya Alam. kita sudah dapat meyaksikan keinginan pemerintah dalam menangani kasus permasalahan pertanahan. Hingga saat ini tindak-lanjut dari ketetapan tersebut belum menunjukan titik terang yang pasti dan jelas walaupun beberapa undang-undang sudah dibentuk dalam rangka implementasi ketetapan. Upaya Pemetaan partsisipatif tanah-tanahg rakyat merupakan model upaya pembahuruan agrarian. Langkah ini dilakukan sebagai respon atas persoalan agraria di Indonesia. Persoalan-persoalan tersebut adalah sengketa/konflik agraria (dengan derajat, intensitas dan eskalasi yang berbeda) masih banyak terjadi ketimpangan struktur disribusi penguasa tanah. Implikasi dari ketimpangan ini pada akhirnya menyebabkan kemiskinan, kesenjangan dan ketimpangan sosial yang makin ’menajam’.
Persoalan agraria diatas dapat juga dibedakan menjadi persoalan agraria lingkungan, agraria politik, dan persoalan aspek sosial. Persoalan agraria-lingkungan.menyangkut permasalah yang terjadi akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang ‘kurang’ramah lingkungan dan atau cenderung eksploitatif. Persoalan agraria politik adalah persoalan hukum/kekuasaan dan kepentingan. Saat ini sedang terjadi pertarungan ide dan gagasan dalam mewujudkan pembaruan agraria melalui TAP MPR No IX tahun 2001(Wiradi,2003). Persoalan agraria ‘aspek sosial’adalah kemiskinan, kesenjangan dan ketimpangan sosial (polarisasi sosial).
Sejalan dengan permasalahan agraria-politik, Gillian Hart (1989) mengemukakan kebijakan/kekuasaan di tingkat makro dilakukan oleh elit Jawa (Indonesia) dan Thailand yang sangat aktif mengakumulasi sumberdaya pertanian dan non-pemerintah. Lebih lanjut, Husken dalam Gillian Hart (1989) menjelaskan elit yang dominan terlibat langsung dalam aliansi bisnis dengan penjabat supra desa kadang-kadang memiliki koneksi dengan pedagang Cina (dalam hal ini pedagang Cina tidak terlibat dalam pertanian).
Pandangan tanah sebagai sumberdaya dalam pertanian dapat juga dilihat dari arti penting tanah bagi pemanfaat hasil-hasil pertanian. Petani yang akses terhadap sumberdaya tanah berpenghasilan dari sector pertanian. Demikianlah tanah menjadi sumberdaya agraria yang penting bagi subyek-subyek yang ingin memanfaatkannya. Hal ini berkaitan dengan bagaimana subyek agraria ‘memaknai’ tanah yang selanjutnya ‘perilaku’ dan tindakan subyek untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya tersebut.

Implikasinya Konversi Lahan Terhadap Akses Sumberdaya Agraria dan Dampak Terhadap Kesejahteraan

Konversi lahan adalah proses alih fungsi khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian ke lahan pertanian. Konversi yang disebut pertama (dari non-pertanian-pertanian menjadi pertanian) merupakan proses konversi yang disebut dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Sementara yang disebut pertama secara terus-menerus akan mengalami perubahan dengan laju konversi yang tinggi tidak untuk keperluan pertumbuhan industri dan memenuhi kebutuhan permukiman penduduk yang hingga kini masih relative tinggi (reit pertumbuhan penduduk 1.35; tahun 1990, hasil perhitungan pertumbuhan penduduk secara geometric).
Dua faktor penting yang mempengaruhi konversi dari pertanian ke non-pertanian adalah pertumbuhan industri dan permukiman. Hal ini diikuti dengan ‘keberpihakan’ pemerintah terhadap swasta dan pemerintah itu sendiri. Mengapa demikian? Karena kebijakan pemerintah tidak jarang juga dibuat dan dilanggar oleh pemerintah khususnya dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang juga tidak sesuai dengan implementasi di lapangan. Faktor keberpihakan ini akan berimplikasi pada permasalahan hasil (produksi) pertanian, termasuk permasalahan-permasalahan pokok bagi komunitas petani yang tidak akses dengan lahan pertanian.
Faktor lainnya dalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, ‘marginalisasi’ ekonomi/kemiskinan ekonomi. Faktor yang disebut terakhir dipengaruhi oleh motivasi untuk berubah dari warga yang menginginkan perubahan.
Dalam konteks pembangunan, perubahan peruntukan lahan dapat terjadi pada lahan pertanian. Konversi pada lahan pertanian ini berimplikasi pada berbagai aspek, baik sosial ekonomi, politik dan sosial budaya. Demikian juga dengan perubahan struktur agraria yang terjadi khususnya menyangkut pola penguasaan tanah. Pola nafkah dan pola hubungan produksi.

Konversi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria
Data sensus tahun 1993 menunjukkan bahwa periode tahun 1983-1993, sekitar 936.000 ha lahan pertanian terkonversi pada peruntukkan lain. Dari 936.000 ha tersebut, 425.000 ha adalah lahan sawah dan 510.000 adalah bukan sawah. Dengan demikian rata-rata luas lahan yang terkonversi dalam periode sepuluh tahun tersebut adalah 40 ha/tahun. Makna penting yang dapat diketahui dari kenyataan ini adalah ‘ancaman’ pada ketahanan pangan di aras nasional dan sumber mata pencaharian keluarga diaras mikro.
Selanjutnya data sensus pertanian 1973, 1983, 1993 memberikan gambaran mengenai penguasaan tanah yang semakin timpang tersebut. Angka rata-rata luas usaha tani pada periode tersebut menunjukkan gejala polarisasi dalam masa 1973-1993, yaitu peningkatan luasan usahatani pada lapisan >2,00 ha, dan penurunan rata-rata luasan usahatani gurem (<0,50 forest="">), dry cultivation area (balubutatn/bawas), wet cultivation area (papuk/bancah, gente’/tawakng), community plantation area (kabon gatah , kompokng kalampe, kompokng buah) area of silviculture system and cultural conservation (timawakng )

The concept blends perfectly lands, resources and their functions for human life. In this concept, resources should be managed in commensurate with the carrying capacity of the environment.


II. Palasar Palaya and Modern Land Use

It is quite impossible that lands exist without space. Lands without space is like sand in a sack. It is formless and has no fix position and it can be moved anywhere. Palasar palaya’ is the land and the space in one wholeness. Its boundaries are the (oral) agreement(s) among two or more groups in earlier times. Controls are exercised by both human being and nature. Nature will apply sanctions against human being who breaks the rules. And this sometimes applies mysteriously.

What about the concept of modern land-use? In July to October 1997 haze blanketed the atmosphere of Kalimantan and other parts of Indonesia. The haze came out of the forests on fire which was aggravated by El-Nino phenomenon (the heating of sea in the Pacific because of holes in the ozon layer above which causes dry air effect). People burnt down logs and bushes when they cleared land for plantations. The fire was out of control and set the forests on fire. But why they did the burning? This is because modern people neglect natural norms in arranging spatial allocations. Converting lands to another function in large scale (thousands of hectares) is an example of practices that neglect natural norms.

Modern land-use is determined by economical functions of space. This is the opposite of traditional land use (palasar palaya). Modern land-use is macro (general) while traditional land-use is micro (specific). To compare the two see the following

Table 1
Modern and Traditional Land-Use

No Modern Land-Use Traditional Land-Use
01 Protection Forest Tanah Karamat
Panyugu
Padagi
Ulu Ai,
Bukit Nang Tingi
Batu nang Aya,
Patunuan
Kadiaman
Kayu nang Aya’
Panamukng/Panyantu’atn

02 Wet Cultivation Papuk/bancah
Tawakng
Gente
Tamunan

03 Dry Cultivation Mototn
Tabuk
Tanyukng
Kabon gatah
Kompokng Buah

04 Limited Production Forest Pararoatn/Parokng
Udas pangesekatn




III. Palasar Palaya and the Contents

When boundaries of palasar palaya’ is first set, the consideration is based on:
a. natural riches in it,
b. the history of migration of the community who manages it

a. natural riches

For the early generation natural riches were materials which were extracted from nature that could be use to sustain their existence without prior process. These were sago, types of tubers, etc (as carbohydrate sources), catches, games (as protein sources), fruits (as vitamin and mineral sources) and certain tree trunks and tree bark for construction and material for clothing. In the development the they added up the types of the things they utilized and increased the variations and diversification of the sources. (See table 2 and 3)

b. history of migration

As an illustration let’s follow the migration of early generation of population of Kampung Nangka in the sub-district of Menjalin, in the rRegency of Pontianak, West Kalimantan, as follows:

The first generation of Nankga populaton came from Timawakng Babah Are. The were: Bocong, Sampe, Gati, Longken, Nyantom, Manto and Tuah. From Timawakng Babah Are they moved to Tumiang then moved to Kamuri’ and at last to Nangka. (Timawakng Nangka is at located behind the house of Yeri’s father’s house in Kampung Nangka).

When they settled in Nangka they set up parokngs in Piangu, Tangket, Kubita, Latokng, Jungkung and Tima. Long after Parokng Jungkung developed into a quite big settlement. Those who settled in Jungkung set up parokngs in Pak Mundi, Lago’. The sketch of their migration is as follows.




Babah Are

Tumiang Raba

Kamuri Konyo Duling

Piangu
Nangka Pak Mundi

Latokng
Tangket Jungkukng
Tima’
Kubita


Genealogy tracing estimate that Timawakng Babah Are dates back to 1250 AD.

What would you say of the sketch? The sketch depicts the territory of Palasar Palaya of Kampung Nangka at present. If we measured all of it with mapping equipment we would produce a map of palasar palaya’.


IV. Palasar Palaya’ and Participatory Mapping

Palasar Palaya’ has been set up to prosper its inhabitants. On the one hand the inhabitants increase in number from time to time while on the other the palasar palaya’ does not expand. Therefore a measurement is needed to make further planning. One of the way to measure is to map it participatorily.
Participatory mapping is an activity of making maps which involves all members of a community in the area to be mapped. All people involved in the activity play equal roles and do things equally. The objective is that the maps produced meet a standard required by mapping technology. The maps are also effective and optimal. It is effective in the sense that the maps are readable and understandable by both the people who are accustomed to using maps and by less educated community members. It is optimal in the sense that the maps are utilized dynamically.

V. Palasar Palaya’ and the Present Situation of the Communities

Most of the community members within the palasar palaya’ are generally poor and powerless. Meanwhile they possess lands with resources. What is actually happening? The following story can serve as an illustration.

In a rural program planning meeting a government officer would say to the people,’ In this occasion I will ask you all to implement drinking water project. The program has been planned long before to help you cope with the drinking water problem. As we know water is scarce in this area both in wet and dry seasons. Do you agree with the program?

The above story indicates that the program does not belong to the people. The planning is top-down. In such planning the people tend to be treated as object.

The participatory mapping offers these steps: first the local people map their resources in the palasar palaya’. Then analysis is done and then the local people are facilitated to make planning over their palasar palaya’. To optimize the result the facilitators can involve third parties (funding agencies or the government). This is a bottom-up planning.

VI. Conclusion

The existence of the Dayaks is undoubtedly indicated by their resource management system in the concept of palasar palaya’. Along the history the Dayaks live the concept.

Will this system endure? The answer depends on the present Dayak generation. Their understanding of the concept and supporting bodies or individuals play quite important role.
















Table 2
LIST OF TREE SEPCIES IN PALASAR PALAYA



No. Nama Lokal/
Indonesia
Local/
Indonesian
Name
Nama Botanis
Scientific Name Distribusi Menurut Kampung Sasaran
Distribution According to the Target Village

Lokasi
Habitat
Habitat
Location
T
Sk M
KK K
B
r R
s
B

P
D
r
C
l
h

1. Ansamat Eurya nitida korth v v v v v V KK
2. Ansurai Dipterocarpus oblongifolius v v v v v HA
3. Babolok Saurauia spp v v v KK, HA, AL
4. Bahau Rhizopora apiculata BL v v Br
5. Belian Eusideroxylin zwageri T. et B. v HA
6. Bengkal Timonius borneensis Val v v HA, Br
7. Benuah Shorea lamellata Foxw v v v v v v HA
8. Benuang Octomeles sumatrana Miq v v HA
9. Beranggas Carallia brachiata Merr v v v HA
10. Bingir Ploiarium alternifolium Melch v v v v v v HA, Br
11. Bintanung Trichospernum javanicum Bl v v v v v v HA
12 Cempedak air Artocarpus teysmannii Miq v v HA
13. Damar bindang Agathis borneensis Warb v v v v v HA
14. Durian Durio lissocarpus Mast v v v v v v Tb
15. Empedu Dryobalanops fusca V. sl v v v v v v HA
16. Empening Fithocarpus dasytachuys Miq v v v v v v HA, KK
17. Empulut Chaetocarpus castanocarpus Thw v v v HA
18. Engkaras-Garu Aquilaria microcarpa Baill v v v v v v HA, R
19. Engkirai Trema amboinensis Bl v v v v HA
20. Julutung Dyera costulata Hook f. v v v v v HA
21. Jering Pithecellobium jiringa Prain v v v v KK
22. Kabaca Mellonorrhoea wallichii Hook f. v v v v v HA
23. Kandis Cratoxylon formosum Dyer v v v v v v KK
24. Kapas-kapas Sandoricum emarginatum Hiern v v v HA
25. Kapua Artocarpus elasticus Reinw v v v v v v HA,KK
26. Kebaong Shorea virwacwns Parijs v v v v v v
27. Keladan Dryobalanops beccarii Dyer v v v v
28. Kelampai Elateriospermum tapos Bl v v v
29. Kembang semangkok Scaphium macropodum J. Beum v v HA
30. Kemayau Canarium Odontphyllum Miq v v v v v v HA
31. Kemenyan Styrax benzoin Dryandi v v v v v v HA
32. Keminting hutan Mezzettia spp. v HA
33. Kempas Koompassia malaccensis Maing v v v v v v HA
34. Kepayang Scaphium macropodum J. Beum v v HA
35. Keranji Dialium spp. v v v v v v HA, Tb
36. Keruing Dipterocarpus spp. v v v v v HA
37. Ketapang Koompassia excelsa Taub v v v v v v HA
38. Kontoi Shorea spp. V v v HA
39. Kubita Alstonia angustifolia Wall v v HA
40. Kumpang Myristica spp. V v HA
41. Langir Xanthophyllum spp. v v v v v
42. Leban Vitex pubescens Vahl v v v v v v KK, AL
43. Mahang kangin Macaranga trichocarpa Muell v v v v v v HA
44. Majau Shorea spp. V v v v v v HA
45. Malaban Aporosa sphaeridophora v v v HA
46. Manggis hutan Garcinia mangostana L. v v v v v v HA
47. Mating kangin Croton argyratus BL. v v v HA
48. Mayam Breynia racemosa Mull ing. V v v v KK, AL
49. Medang Alseodaphne spp. V v v v v v HA,KK, AL
50. Melaban gamang Tristania spp. V v v HA
51. Melimposo Laplacea spp. V v v v v v AL, Br
52. Menggeris Koompassia malaccensis Maing v v v v v v HA
53. Mengkajang Xylopia altissina Boerl. V v v HA, Br
54. Mentangur Calophyllum spp. V v v v v v HA
55. Mentawa Artocarpus anisophyllus Miq. V v v v v v Tb
56. Mentibu Dactylocladus stenostachyus v v v HA
57. Menyalin Xanthophyllum spp. V v v HA, KK
58. Meranti Shorea spp. V v v v v v HA
59. Nyato Palaquium cochlearia H.J.L. v v v v v v HA, KK
60. Pansi Elaeocarpus stipularis BL. v v v v v HA, KK
61. Pekawai Durio kutejensis Becc v v Tb
62. Pelai Alstonia scholaris R. Br. V v v v v v HA, Br
63. Pelanjau Pentaspadon motleyi Hook f. v v v v v v HA, Br
64. Pengerawan Shorea spp. V v v v HA
65. Penyau Dicterocarpus crinitus Dyer. V v HA
66. Petai papan Parkia singularis Miq. V v v HA
67. Piangu Horsfieldia irya Warb v v v HA,Br
68. Pudu Artocarpus kemando Miq. V v v v v v HA,KK
69. Raba Dehaasia curtisii Gamble. V v v KK
70. Rambai hutan Aporosa arborea Muell. Arg v v HA, Tb
71. Ramin Gonystylus bancanus Kurz. V v v v v v HA, Br
72. Rengas Melanorrhoea wallichii Hook v v v HA
73. Resak Gotylelobium flavum Pierre v v v v v v HA, KK
74. Resak Tembawang Vatica rassak BL. v v v HA, KK
75. Sengkuang Dracontomelon mangiferum BL. v v v HA, Br
76. Sikup Garcinia celebica L. V V Tb, HA
77. Simpur Dillenia excelsa Gilg. V V V V V V HA
78. Sindur Sindora leiocarpa De Wit V HA
79. Sungkei Peronema caensncens Jack V HA, AL
80. Tamo Calophyllum spp. V V V V V V HA, Br
81. Temperujan Saraca sp. V V V V V Br
82. Tampui Bacearea sp. V V V V V V HA, Tb, KK
83. Tapang buntak Peltophorum sp. V V V HA, KK
84. Tekam Hopea sangal Korth v V V V V V HA, Br
85. Terindak Shorea seminis V. Sl. V V V HA
86. Temau Cratoxylon srborescens BL. v V V V V V Br
87. Tembesu Fragraea fragrans Roxb. V V V V HA, Br
88. Tengkawang Shorea stenoptera Burck V V V V V V Tb
89. Tengkawang tungkul Shorea gijsbertsiana Burck V V Tb
90. Teradu Scorodocarpus borneensis V V HA
91. Terap Artocarpus elasticus Reinw. V V V V V V HA, AL, KK
92. Terentang Camprosperma auriculata Hook f. V V HA
93. Ubah Eugenia spp. V V V V V V HA, Br, KK, AL
94. Ubah besi Parastemon urophyllum A. V V V V V HA, Br
95. Ubah merah Garcinia sp. V V V V V HA, Br



AL = Areal Perladangan = Hill Farming Area
Br = Berawa = Swamp Area
HA = Hutan Adat = Customary Forest
KK = Kebun Karet Rakyat = People’s Rubber Garden
Tb = Tembawang = Agroforestry




Table 3
LIST OF MAMMALS IN PALASAR PALAYA’



No. Nama Lokal/Indonesia
Local/Indonesian Name Nama Zoologis
Scientific Name Distribusi menurut kampung
Distribution according to target village Lokasi Habitat
Habitat Location
T
SK M
KK R
B
L K
BR PDR C
LH
1. Tikus kijang Echinosorex gymnurus v v v v V v HA, AL
2. Tikus hutan Hylomys suillus v v v v V v HA, AL, Tb
3. Tikus cocok Suncus etruscus v v v v V v AL
4. Tikus huma Crocidura fuliginosa v V v AL
5. Tikus rumah Suncus murinus
6. Tikus cerucut/cerurut Crocidura monticola v v v v V v TP, AL
7. Tupe bukit Tupaia Montana v v V v HA
8. Tupe masak tarap Tupaia dorsalis v v V v HA< al =" Areal" ladang =" Hill" br =" Berawa" ha =" Hutan" adat =" Customary" kk =" Kebun" karet =" Rubber" tb =" Tembawang" tp =" Tempat" pemukiman =" Settlement">

0 Comments: