Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL BAGI MASYARAKAT DAYAK DI KALIMANTAN

Sabtu, 22 Maret 2008

by Kristianus Atok

1. Pulau Kalimantan dihuni oleh penduduk asli Dayak. Diseluruh Pulau Kalimantan diperkirakan populasinya sekitar 6 000 000 jiwa. Mereka terdiri lebih dari 400 sub-suku. Kelompok yang besar seperti Iban, Salako (Kanayatn), Kenyah, Kayan, Taman, Ngaju, Kadazan. Mereka hidup dengan cara bertani. Sistem pertanian mereka masih menerapkan metode tebas-bakar (slash-and-burn atau swidden) dan metode rotasi.
Metode ini berkaitan erat dengan kesuburan tanah dan keseimbangan alam. Di daerah Kalimantan yang minus gunung berapi, kesuburan tanah bergantung pada humus yaitu; penguraian unsur-unsur kesuburan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Metode tebas-bakar mempercepat proses penguraian ini. Abu hasil pembakaran pepohonan dan tetumbuhan ini menjadi unsur penyubur tanah. Sistem rotasi lebih ditekankan pada pengaturan siklus hutan—ladang—hutan. Rotasi yang baik memberi kesempatan pada bidang tanah tertentu untuk mengembalikan kesuburannya sebelum digunakan kembali untuk budidaya padi lewat proses pembawasan (fallowing). Ideal atau tidaknya “jeda” pembawasan ini akhirnya tergantung pada luas tidaknya lahan yang tersedia bagi satu komunitas.
2. Sejak tahun 1967, hutan-hutan Kalimantan mulai dieksploitasi oleh Perusahaan HPH, HTI, Perkebunan sawit berskala besar. Sejak itulah masyarakat Dayak mengalami krisis lahan pertanian. Karena lahan pertanian semakin berkurang, menyebabkan pertanian dengan system rotasi tidak dapat berjalan secara sempurna. Artinya orang dayak terpaksa harus kembali menggarap tanah yang sebenarnya belum saatnya untuk digarap lagi. Selain itu pada saat itu pulalah masyarakat Dayak mulai mengalami krisis perubahan iklim sebagai akibat dari penebangan hutan secara besar-besaran. Iklim berubah secara tidak teratur musim kemarau dan musim hujan hampir tidak bisa dipisahkan lagi. Musim kemarau dan musim hujan menjadi lebih panjang dari waktu yang seharusnya. Hal ini mengakibatkan banjir atau musim kemarau secara berkepanjangan. Saat tanaman membutuhkan air justru musim kemarau, sebaliknya saat tanaman membutuhkan sinar matahari justru terjadi musim hujan. Sistim pertanian Dayak terhimpit oleh tekanan berkurangnya lahan pertanian oleh berbagai mesin perusahaan kayu dan tertekan pula oleh berubahnya iklim global.

3. Dalam hal hubungan antara tanah Kalimantan dengan kenyataan bahwa hutan di pulau ini (dahulu) adalah hutan-hutan yang lebat, Victor T. King menjelaskan bahwa hal ini merupakan hasil dari siklus pelapukan yang cepat dari tumbuh-tumbuhan hutan yang dibantu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi . Unsur-unsur hara tersedia karena pembusukan tetumbuhan yang cepat terjadi lantaran kelembaban yang tinggi yang dikarenakan curah hujan yang tinggi dan suhu yang tinggi. Unsur penyubur tanah ini bertumpuk-tumpuk di dasar hutan dan tidak pergi tersapu air karena terhalang oleh akar-akaran berbagai tanaman besar dan kecil. Unsur penyubur tanah tersebut juga tidak “menguap” karena tertutup oleh dedaunan pohon-pohon yang tinggi.

4. Kalender pertanian dan kalender budaya berubah. Ada 23 tahapan kegiatan pada perladangan orang Dayak (Atok,2000), khususnya Dayak kanayatn di Kalimantan Barat. Tahapan-tahapan ini sangat dipengaruhi oleh ikllim yang selama ini terjadi di Kalimantan. Tahapan pertama adalah Ngaranto yaitu pencarian lokasi ladang yang sesuai, yang dilakukan berdasarkan ilmu perbintangan dan musim yang sesuai. Kegiatan ini dilakukan pada awal musim kemarau (lihat juga Nieuwenheuis, 1894). Dilakukan bulan Maret. Saat ini dilakukan b ulan Mei atau juni. Karena perubahan waktu ngaranto ini maka seluruh tahapan berikutnya juga berubah. Akibat perubahan yang signifikan ini, maka event-event budaya yang mengikuti ritual perladangan ini akhirnya hilang, karena pada saat tersebut kondisi alam sudah tidak sesuai lagi dengan ritual budaya yang seharusnya terjadi. Hilangnya budaya ini menyebabkan anak-anak Dayak sangat mudah mengadopsi budaya asing, akibatnya telah terjadi krisis kebudayaan yang hebat bagi orang Dayak.

5. Padi dan serealia umumnya sangat peka terhadap perubahan suhu udara meskipun kecil. Bagian reproduktif yang dinamakan spikelet akan menjadi steril jika suhu meningkat, sehingga mempengaruhi produktivitasnya (Murdiyarso,2003). Dengan semakin berkurangnya hutan dan perubahan iklim global, maka pertanian padi masyarakat Dayak semakin berkurang produktivitasnya. Hal ini sangat berkaitan dengan kalender pertanian di atas. Iklim tidak menentu, sehingga pengetahuan local yang selama ini dianut menjadi tidak mampu lagi menjangkaunya. Dengan demikian perubahan iklim global mempunyai andil yang besar terhadap hilangnya kearifan dan pengetahuan local orang Dayak

6. Selain pada padi, pohon buah-buahan juga sangat mudah dipengaruhi perubahan iklim global, dalam 10 tahun terakhir ini, Durian berbunga sepanjang tahun namun hanya sedikit yang menjadi buah dan kualitas buahnya sangat rendah. Akibatnya harga jual juga rendah . Dulu setahun sekali, buahnya banyak sekali. Dalam 10 tahun ini, tidak ada pohon durian yang berbuah banyak, banyak bunganya guggur. Waktu massa kecil saya…..

7. Iklim global berpengaruh pula pada perikanan rakyat, khususnya yang menggunakan system keramba. Banyak usaha perikanan rakyat model ini bangkrut karena pengaruh suhu air yang meningkat menyebabkan ikan-ikan mati (Koran local, Akcaya, senin 9 Maret 2004).

8. Banjir. Akibat curah hujan yang tinggi yang disertai dengan intensitas yang tinggi, menyebabkan banjir dan erosi. Daerah perhuluan sungai Kapuas (800 km dari tepi laut), tidak pernah banjir sebelumnya, namun dalam 5 tahun terakhir ini setiap tahunnya banjir. Demikian pula daerah Aliran Sungai Sambas dan daerah aliran sungai lainnya. Akibat banjir ini prasarana jalan raya rusak dibanyak tempat. Kawasan perkotaan seperti Pontianak setiap tahun banjir dan merusak prasarana yang ada seperti telepon dan air bersih. Dengan demikian perubahan iklim global menyebabkan pembiayaan pembangunan meningkat.

9. Penderita penyakit seperti beri-beri, Typus, Cholera, Dysentri, demam berdarah meningkat. Di banyak kampung yang mengalami kekeringan lama di musim kemarau dan musim banjir penduduknya menderita penyakit TCD, sedangkan dimusim hujan yang menyebabkan kawasan pemukiman selalu tergenang air menyebabkan mewabahnya penyakit Demam berdarah.

10. Eksistensi Dayak akan hilang. Kesinambungan Pelayanan Alam telah berkurang seiring terjadinya perubahan iklim global yang ditandai oleh tidak menentunya volume sumber-sumber air, hal ini mendorong bahkan memperluas kemiskinan rakyat khususnya di kampung karena selain produktivitas pertanian yang rendah juga mengalami penderitaan akibat berbagai penyakit, dan ini merupakan ancaman jangka panjang. Eksistensi masyarakat dayak akan hilang karena alam tidak mampu melayani kehidupannya.
11. Wabah hama belalang melanda sebagian besar pulau Kalimantan. Wabah ini disebabkan oleh terjadinya perubahan iklim mikro yang sangat signifikan di Kalimantan karena hutan-hutan sudah banyak yang hilang. Bagi ekosistem Kalimantan Hutan adalah jantung dan napas kehidupan, sedangkan bagi orang Dayak hutan merupakan guru, kehidupan dan apotik hidup bagi orang Dayak (Bosco, 2004). Dari hutan orang dayak belajar tentang adat dan belajar berdamai dengan alam. Hutan juga merupakan kehidupan bagi orang Dayak, karena hutan merupakan sumber nafkah. Selain itu hutan juga merupakan apotik, karena didalam hutan banyak terdapat tumbuhan yang dapat dijadikan obat dikala orang dayak sakit. Kini sandaran kehidupan orang Dayak mendekati kepunahan. Hutan yang hilang dan telah terjadinya perubahan iklim global memicu berbagai wabah alam yang semakin mempersulit kehidupan Dayak.

12. Miskin sistemik dan masif . Produktivitas Petani Dayak, tidak pernah beranjak dari kedudukannya yang sangat rendah untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraannya sendiri. Bertentangan dengan penjelasan yang menyesatkan bahwa produktivitas kerja adalah cerminan sederhana dari tingkat teknologi dan efisiensi produksi. Rendahnya produktivitas petani Dayak merupakan akibat dari telah berubahnya iklim secara signifikan disamping kebijakan-kebijakan Negara yang melakukan penekanan sistematis atas nilai tukar produk petani, pengurangan atau penghapusan subsidi input produksi, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang diskriminatif terhadap bentuk-bentuk traditional hak dan kuasa rakyat atas tanah serta terhadap kemampuan lokal untuk menghasilkan bahan pangan. Selama penanganan perubahan iklim global tidak ditangani serius dan politik produktivitas Pertanian tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan produk tani, dan selama pemerintah tidak menerapkan syarat perlindungan pada rakyat dari pengambilalihan untuk fungsi non pertanian dan kepentingan perusahaan besar, maka Masyarakat Dayak akan tetap miskin.

14. Memupuk karakter kekerasan Orang Dayak. Sebelumnya terkenal sebagai manusia yang mencintai perdamaiaan. Hal ini terungkap dalam beberapa pribahasa yang mengungkapkan keariban local seperti; “ tidak mati ular mencuruk akar akar, kalau berpergian jangan membawa ayam jantan tetapi bawalah ayam betina. Namun karena dihimpit oleh permasalahan yang bertubi-tubi ditambah dengan alam yang semakin panas, membuat orang Dayak berubah menjadi manusia yang tempramental dan emosional. Hal ini membentuk karakter kekerasan dalam diri orang Dayak.

15. Situasi Pengelolaan hutan Saat Ini memicu percepatan perubahan iklim Global. Kartodihardjo (1999) mengambarkan,bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya hutan saat ini bersifat paradoksal. Kebijakan pengusahaan hutan cenderung membela pencapaian target kuantum produksi kayu gelondongan. Sementara itu, instrumen untuk memelihara kelestarian lingkungan tidak berjalan secara efektif, sehingga kerusakan tetap melaju dengan kecepatan yang menghawatirkan. Pada saat yang sama,sinyal dunia internasional seperti pola pengelolaan yang peduli lingkungan (Winter,1987 dalam Calleribach et.al.,(1993) tidak segera mewarnai kebijakan pemerintah dan tidak segera merubah etika bisnis perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang kehutanan. Selanjutnya Kartodihardjo(1999) mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dari muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradoks itu, antara lain:
1. Menyehatkan para kondisi agar asumsi-asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi dengan baik. Prakondisi itu antara lain: adanya kepastian tataguna lahan, kayu dihutan dipandang sebagai aktiva tetap, pemerintah memiliki data produksi yang akurat sebagai dasar untuk menentukan nilai Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan( IHH) yang harus dibayar, dan mencegah kolusi antara aparat pemerintah dengan pihak swasta.
2. Memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal alam. Hal itu antara lain tercermin dalam bentuk pemberian insentif pada pola usaha yang menghasilkan hutan yang lebih lestari; dan sebaliknya memberikan pinalti terhadap kegiatan usaha yang menghasilkan terjadinya degradasi kualitas hutan.
3. Memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal social.Modal social itu antara lain berupa tatanilai dan pengetahuan-unggul lokal yang dalam kurun waktu yang panjang telah memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemeliharaan kualitas sumber daya hutan.
4. Menghentikan pengkambinghitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan. Selama ini organisasi pemerintah dan masyarakat selalu diberi label sebagai organisasi yang “ tidak mumpuni “, dan sebaliknya organisasi swasta sebagai organisasi yang ” mumpuni “; karena itu kerjasama dengan swasta senantiasa dijadikan sebagai “obat “ untuk mengatasi “ketidakmampuan”. Kenyataannya, hal itu justru menghasilkansengketa kepentingan.
5. Memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan. Permintaan pasar terhadap komoditi kayu jauh melampaui tingkatan produksi lestari kawasan hutan yang tersedia. Kesenjangan itu, yang mencapai jutaan meter kubik pertahun, dalam kenyataannya dapat dipenuhi dari penebangan berlebihan baik yang dilakukan secara resmi maupun tidak resmi. Dukungan nyata yang dimaksud disini adalah menyediakan perangkat hukum yang jelas, melakukan law-enforcement, dan menjalankan system insentif yang rasional.

16.Saya berpendapat Tatanilai tentang Hutan harus dibangun kembali .Jika tatanilai itu diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka hutan memiliki nilai yang berbeda di mata setiap stakeholder. Bagi masyarakat (setempat), hutan merupakan habitat tempat mereka mengantungkan kehidupan perekonomiannya serta mengejawantahkan kehidupan budaya dan spiritualnya. Karena itu, masyarakat setempat akan sangat menjaga keberadaan hutan itu, karena keutuhan hutan itu akan menjamin keutuhan identitas masyarakatnya..Bagi swasta, hutan mungkin hanya sebagai komoditas yang setiap saat dapat ditransformasikan menjadi uang tunai. Menebang lebih banyak dan menjual lebih banyak menjadi tujuan-antara swasta,dalam rangka mewujudkan fungsi-tujuannya untuk memaksimumkan keuntungan. Nilai hutan bagi pemerintah sangat plastis. Dalam konsideran-konsideran pelbagai peraturan perundang-undangan, hutan kerap digambarkan secara amat “religius” sebagai suatu “rahmat Tuhan”. Tapi publik bisa dibingungkan: Dimana Tuhan diletakkan tatkala hutan-lindung-pinus ditebang habis untuk dijadikan bubur kertas? Tentang masyarakat pun, terdapat perbedaan pemaknaan. Dunia Internasional sangat percaya bahwa masyarakat akan mampu bertindak sebagai pengelola sumber daya hutan. Sementara itu pihak swasta, dan kadang pemerintah, kerap memandang masyarakat sebagai ancaman terhadap keamanan usahanya.

17.Kini telah banyak dikembangkan model-model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat. Pemerintah Indonesia pun mencoba mengadaptasikannya; namun umumnya telah mengalami bias. Misalnya, terminology community diadaptasi sebagai “masyarakat”, yang memiliki pengertian yang sangat luas. Padahal community itu dimaksudkan untuk merujuk pada pengertian masyarakat dalam cakupan yang sangat spesifik, yaitu pengertian “masyarakat setempat” dalam konteks sosiologi (Soekanto,1995). Masyarakat setempat merujuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu yang memiliki batas tertentu dan memiliki interaksi sosial yang lebih besar di banding dengan penduduk diluar batas wilayahnya (Soemardjan,1962); serta merujuk suatu lokalitas yang jelas dan adanya sentimen (perasaan) se-“masyarakat-setempat” yang kuat (Maclver dan page, 1954).

18.Perbedaan nilai hutan menurut masing-masing stakeholder serta perbedaan pemaknaan terhadap masyarakat, menghasilkan situasi sarat sengketa. Pada gilirannya, persengketaan itu akan menurunkan suatu kelembagaan dan keorganisasian yang juga sarat sengketa. Semua ini memicu kerusakan hutan yang tidak terkendali, yang pada gilirannya ikut menyumbang perubahan iklim global.


Daftar Pustaka
1. Poole, Peter, Indigenous Peoples, Mapping & Biodiversity Conservation, The Nature Conservancy,1995
2. Dove, Michael R., Living Rubber, Dead Land, and Persisting System ini Borneo Indigenous Representations of Sustainability, dalam Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania
3. King, Victor T, The Peoples of Borneo, 1993
4. Pemerintah Propinsi Dati I Kalbar, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Tahun 2008, Pemda Kalbar, 1995
5. Fred Plog, et al, Anthropology, Decisions, Adaptation, and Evolution, New York, 1980
6. Kottak, Conrad Phillip, Anthropology, the Exploration of Human Diversity, McGraw-Hill, 1994
7. Kristianus Atok, Kumpulan Tulisan tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan Barat (1996 – 2000), 2003.
8. Tobias, N. Terry, Chief Kerry’s Moose, a guidebook to land use and occupancy mapping, research design and data collection, A Joint Publication of the Union of BC Indian Chiefs and Ecotrust Canada, 1997
9. P. Bagus Suratmoko, Looking for Alternatives in Resource Management through Participatory Land Suitability Map-Based Planning in Pursuit of Village Economic Step Up and Alleviating Forest Pressure in Desa Santaban, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, West Kalimantan, observasi dan hasil diskusi dengan masyarakat Sasak, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, 2003





0 Comments: