Jumat, 23 Maret 2012
Nowadays ethnical celebration is
happening in Indonesia. The trigger is the uncontrollable identity politics. In
west Kalimantan, for instance, a struggle for the identity politics has
succeeded in forming new governments in district levels. The
new district governments are always
based on the dominant ethnic groups in
the area. The political impact of the identity politics can whip up the
ethnical spirit by giving hegemony to ethnic monitory in the area. According to
the writer, this could become “ethnic nationalism”. Theoretically, identity
politics is actually a struggle of a group or marginal people (periphery)
politically, socially as well as culturally and economically. Based on the
writer’s study, various ethnic conflicts happening in west Kalimantan relate to the
identity politics and the resistance towards the hegemony of the
ruler. The conflict never stand alone;
the often rise before of after a political
occurrence in West Kalimantan. Various conflicts observed in Reformation
Order era, indicate that they have a
correlation with identity politics and a
fear towards a hegemony that might be
done by a ruling ethnic elite. It can be concluded that the ethnic conflicts in
west Kalimantan are the forms of effort of an ethnic group to show their existence, since its people have been threatened, or for a
long time they have been marginalized systematically, so that their spirit to
fight against hegemony rise. Identity politics appearing in the forms of
cultural institution such as ethnic
customary council could be explained as the ethnic systematic efforts to strengthen their identity which, at the
end, could become a prospective “ethnic nationalism”.
Key words : Politics, identity,
conflicts, nationalism, ethnic, hegemony.
1. PENDAHULUAN
Orde Reformasi dan Otonomi Daerah yang dijalankan sejak
1999 telah memunculkan kembali masalah identitas etnik di Indonesia, tak
terkecuali di Propinsi Kalimantan Barat. Identitas etnik menjadi perdebatan
publik karena issu ini bersentuhan langsung dengan politik kekuasaan.
Di
Propinsi Kalimantan Barat identitas etnik bahkan telah menjadi acuan dalam merubah administrasi pemerintahan.
Sampai akhir pemerintahan rezim Orde Baru
tahun 1998, propinsi ini hanya terdiri dari 7 kabupaten/ kota. Sepuluh
tahun kemudian yaitu tahun 2011 jumlah kabupaten/kota telah menjadi 14
kabupaten/kota. Peningkatan ini sangat signifikan, yakni 100 %.
Sekarang ini sedang menjadi diskusi publik tentang
pembentukan Propinsi Baru di Kalimantan Barat. Kelak propinsi ini akan
dinamakan Propinsi Kapuas Raya, wilayah propinsi Kapuas Raya ini meliputi
kabupaten – kabupaten di pedalaman seperti Sanggau, Sekadau, Sintang,
Melawi, dan Kapuas Hulu yang nota bene kawasan yang
didominasi oleh Etnik Dayak.
Beberapa kelompok etnik sekarang telah memiliki wilayah
kekuasaan (teritori) tersendiri, misalnya Kabupaten Sambas menjadi teritori
Melayu Sambas dan Kabupaten Pontianak menjadi teritori Melayu Mempawah,
Bengkayang teritori Dayak Bekati, Landak teritori Dayak Kanayatn, Sekadau
teritori Dayak Mualang, Melawi teritori Dayak Keninjal dan Melayu Pinoh, Kayong
Utara teritori Melayu Kayong.
Adapun di Kawasan kabupaten seperti Sintang sedang
berlangsung perjuangan Dayak Ketungau untuk membentuk kabupaten sendiri. Di
kabupaten Kapuas Hulu Dayak Iban, Taman, Kantu dan Suhaid sedang berlomba-lomba
pula memekarkan kabupaten baru. Di Kabupaten Ketapang saat ini sedang berlangsung
perjuangan Dayak Simpang,dan Dayak Keriau untuk mendirikan kabupaten baru. Di
kabupaten Sanggau sedang berlangsung perjuangan Dayak Bidayuh dan Dayak Tayan
untuk mendirikan kabupaten baru.
Sementara itu etnik Cina dan Madura yang terusir akibat konflik-konflik
yang melibatkan mereka terkonsentrasi di sekitar perkotaan. Bersama Bugis dan
Jawa, keempat kelompok etnik tersebut menjadi mayoritas di beberapa lokasi kota
perdagangan penting di Kalbar seperti Kubu Raya, Kota Pontianak dan kota
Singkawang. Adapun Singkawang telah menjadi teritori Cina Bukan hanya dari
aspek demografis, melainkan juga simbolis.
TINJAUAN TEORITIS
Pembahasan
paper ini, penulis dekati dengan teori hegemoni yang dikemukakan oleh
Antonio Gramsci.
Beliau adalah seorang pemikir
Neo-Marxis kelahiran Ales, Sardinia, Italia pada 22 Januari 1891 dan meninggal
di Roma, 27 April 1937. Gramsci dikenal melalui terjemahan dari kumpulan catatannya ketika beliau di penjara,
yang kemudian dibukukan dengan judul Quqreni del Carcere atau Selection from
the Prison Notebooks (1927-1937) yang merupakan buku harian yang ditulis
dipenjara antara tahun 1929 dan tahun 1935. dari buku inilah berbagai macam
pemikiran Gramsci dikenal. Diantaranya adalah pemikirannya tentang intelektual
organik, kritiknya terhadap pendidikan politik indoktrinasi dan pendidikan
sebagai penindasan, yang kemudian mendorongnya menjadi polopor pemikiran
popular education dan participatory training yang menekankan pada kesadaran
kritis. Pemikiran Gramsci juga berkisar pada sejarah Italia
yang kemudian memunculkan konsep tentang subalterm, mereka yang bukan
dominan/kelompok inferior dalam sejarah negara Italia. (Gramsci, 1971).
Dalam
konteks makalah ini akan diuraikan lebih detail tentang konsep hegemoni dari
Gramsci untuk menganalisis pergolakan subaltern “korban” kekerasan politik.
Teori hegemoni Gramsci dibangun atas dasar premis pentingnya ide dan tidak
mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mana agar
yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa
mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari
itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang
dimaksud Gramsci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral
dan intelektual” secara konsensual. Dalam konteks ini, Gramsci secara
berlawanan mendudukkan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok
atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang ia
namakan “dominasi”, yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.
Titik
awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan
dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,
melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan
ideologis.Teori hegemoni Gramsci mensyaratkan penggunaan kekuatan koersif
negara hanya sebagai pilihan terakhir ketika “kesadaran spontan menemui kegagalannya”.
Lebih jauh hal ini menunjukan bahwa kecenderungan kelompok berkuasa
mengandalkan kekuasaan koersif negara untuk menjaga kekuasaannya hanya
menunjukan kelemahan ideologis maupun kulturnya dari pada keperkasaannya.
Sebuah hubungan hegemonic ditegakkan ketika kelompok subordinat menerima
ide-ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa seperti layaknya punya mereka
sendiri. Dengan demikian legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang
karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma, dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan
sendiri oleh kelompok subordinat.
Dalam
bahasa lain, hegemoni tidak pernah diperoleh begitu saja tetapi harus selalu
diperjuangkan. Hal ini jelas menuntut kegigihan yang luar biasa dari kelas yang
berkuasa untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dalam berbagai
kekuatan sosial.. Apabila suatu saat terjadi peristiwa di mana hegemoni kelas
yang berkuasa mengalami krisis dan situasi ini tidak segera dibenahi,
kemungkinan besar yang akan terjadi adalah bahwa kekuatan kelas yang melawan akan mengambil alih. Namun seandainya pada
saat krisis itu terjadi, pertentangan terlalu hebat antar-kekuatan sosial,
kelas sosial terpisah dari partai-partai dan bentuk organisasi serta
orang-orang yang meminpin organisasi itu tidak lagi diakui oleh kelas (fraksi)
mereka sebagai wakil terjadilah peristiwa yang dinamakan sebagai krisis
perwakilan. Situasi seperti ini amat berbahaya karena terbuka kemungkinan
munculnya pemecahan masalah melalui kekerasan atau munculnya aktivitas dari
kekuatan yang tudak dikenal yang diwakili oleh orang-orang yang kharismatik.
HEGEMONI DAN KONFLIK ETNIK
Di Kalimantan Barat, konflik yang bernuansa
Suku-Agama-Ras (SARA) lebih-lebih menyangkut hubungan antar suku bangsa, bukan
hal baru. Jejaknya biasa diruntut sejak tahun 1967, saat terjadi anti Tionghoa
di kawasan ini. Bahkan lebih jauh lagi, pada 1770-1854, yakni konflik antar
warga Tionghoa, Melayu dan Dayak (Siahaan, 1994:1). Pengamatan cermat
menunjukan, sejak itu di wilayah ini secara historis banyak diwarnai oleh aksi
dan konflik rasialis[1]. Warna-warna tadi tampak manjadi gejala, yang selalu
berulang dengan interval waktu lebih pendek. Pemicu konflik sebenarnya acapkali
sepele, misalnya menyabit rumput di tanah orang lain ( kasus1997), perkelahian
kecil (1982), soal menganggu istri orang ( 1992 ) atau hanya karena
persenggolan ( 1994 ), perebutan perempuan ( 1996 ) dan penagihan hutang ( 1999
). Namun, persoalaan sepele itu kemudian meluas ke wilayah rawan, hingga
menimbulkan kejengkelan, khususnya antara suku-suku Dayak dan Madura, dan lainnya
antara suku Melayu dan suku Madura. (Kristianus, 2009: 33)
Konflik terakhir terjadi antara suku-suku Melayu dan
Madura terjadi pada februari-april 1999 dan oktober 2000 yang tidak sedikit
menimbulkan korban jiwa dan benda di kedua belah pihak. Dampaknya bahkan sampai
hari ini orang Madura belum bisa kembali ke kabupaten Sambas.
Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar
terpecah-belah dalam peperangan antar suku Dayak atau populer disebut ’Kayau’. Ketika itu orang Dayak baru mengenal politik yang sangat
terbatas, mereka hanya berpikir untuk menghabisi orang lain yang masuk dan
mencari hasil hutan di wilayah mereka karena dianggap musuh. Atas prakarsa Kolonial Belanda, orang Dayak
kemudian berhasil menciptakan perdamaian di antara mereka pada konggres di
Tumbang Anoi pada tahun 1894. Marko
Mahin (2007:1) menjelaskan hal ini
sebagai berikut :
Oorlog voeren makkeiijker is dan vrede sluiten. Berperang jauh lebih mudah dari berdamai. Tanpa pernah tahu
akan pepatah tua Belanda itu, pada tanggal 22 Mei hingga 24 Juli 1894,
para panglima perang, kepala adat dan kepala suku Dayak berkumpul di Tumbang
Anoi. Dusun kecil di hulu sungai Kahayan itu menjadi saksi sejarah bagaimana
orang-orang yang selama ini bertikai, bertemu untuk membincangkan perdamaian.
Rapat 34 hari itu berhasil menciptakan era baru di bumi Kalimantan. Peradaban yang tanpa peperangan dan pemenggalan kepala telah lahir. Kesepakatan bersama pun diambil yaitu: menghentikan kebiasaan perang antar suku (asang) dan pemenggalan kepala (hakayau). Menghentikan kebiasaan balas dendam (habaleh-bunu). Sejak itu tidak ada lagi korban kepala manusia dan perbudakan. Denda adat (jipen) yang dulunya dalam rupa manusia diganti dengan uang. Hukum adat diberlakukan sebagai sistem peradilan suku. Bagi mereka yang haus akan ceritera eksotik yang bertemakan headhunters, kopfjäger atau koppensneller, Toembang Anoi 1894 merupakan antiklimaksnya.
Rapat 34 hari itu berhasil menciptakan era baru di bumi Kalimantan. Peradaban yang tanpa peperangan dan pemenggalan kepala telah lahir. Kesepakatan bersama pun diambil yaitu: menghentikan kebiasaan perang antar suku (asang) dan pemenggalan kepala (hakayau). Menghentikan kebiasaan balas dendam (habaleh-bunu). Sejak itu tidak ada lagi korban kepala manusia dan perbudakan. Denda adat (jipen) yang dulunya dalam rupa manusia diganti dengan uang. Hukum adat diberlakukan sebagai sistem peradilan suku. Bagi mereka yang haus akan ceritera eksotik yang bertemakan headhunters, kopfjäger atau koppensneller, Toembang Anoi 1894 merupakan antiklimaksnya.
Ketika Kolonial Belanda tiba di Kalimantan Barat, daerah
ini sudah merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling
bersaing, semua sultan adalah Melayu atau Dayak yang sudah menjadi Islam
(Thambun Anyang, 1998 : 11) dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda
& Jepang. Dayak yang kemudian menjadi rakyat biasa menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina
merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu[2],
namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif.
Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga
beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa
kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan
pendidikan yang besar[3],
dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik Dayak[4].
SEJARAH
PERPECAHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HEGEMONI
Mengenai penduduk asli Borneo ada baiknya kita perhatikan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Museum Sarawak. Dilaporkan bahwa komunitas
pertama yang mendiami pulau Borneo ini adalah manusia di gua Niah yang telah
hidup sejak 50.000 tahun sebelum Masehi. Gua Niah merupakan satu kawasan studi
arkeologi yang penting diwilayah
Serawak, Malaysia timur, dan juga di Asia Tenggara, terletak disekitar 110 km
di selatan kota Miri. Gua ini telah diteliti oleh Museum Sarawak mulai tahun
1954. Banyak peninggalan purbakala yang
ditemukan didalam gua ini yang
mengisyaratkan pernah dihuni oleh manusia antara 50.000 – 40.000 tahun sebelum
masehi.
Jadi, jika kita mencermati uraian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa penduduk asli Borneo sesungguhnya berasal dari ras yang sama.
Ras Melayu bukan hanya mendiami Borneo
tetapi kepulauan Nusantara. Oleh sebab itu ras Melayu meliputi seluruh suku
bangsa yang ada di Nusantara . Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ketika
persoalan politik dikaitkan dengan identitas , sebutan ras Melayu tidak
bergaung. Terminologi Melayu kemudian
dikaitkan dengan Islam. Menurut Anwar
Din (2008:13-15),
Orang Melayu terbentuk dari berbagai etnik. Sebagiannya terdiri dari
masyarakat di Semenanjung Tanah Melayu, yaitu
orang Kelantan, orang Terengganu, orang Kedah, orang Pahang, orang Johor, orang
perak dan orang Melaka. Sebagian lagi berasal dari keturunan Jawa, Sunda, Bugis-Makasar,
Minangkabau, Banjar, Mandailing, Krinci, Riau, Boyan, Aceh dan Jambi. Selain
itu, terdapat komunitas-komunitas lain seperti orang Arab, India, Siam, Cina,
dan erofah beragama Islam yang menjadi Melayu. Dasar penyatuan Melayu adalah
agama Islam dan bahasa melayu.
Selanjutnya Anwar
Din mengatakan, Stamford Raffles begitu cemburu dengan Islam, namun beliau
mengakui sumbangan Islam dalam pembentukan orang Melayu. Menurut Raflles :
The most obvious
and natural theory on the malay origin is that they did not exist as a separate
and distinct nation until the arrival of the Arabians in the Eastern Seas .
At the present day they seem to differ from the more original nations, from
which they sPemilung in about the same degree, as the Chuliahs of Kiling differ
from Tamil and Telinga nations on the Coromandel coast, or the Mapillas of
Malabar differ from the Nairs, both which people appear in like manner with the
Malays, to have been gradually formed as nations, and separated from their
original stock by the admixture of Arabian blood, and the introduction of the
Arabic language and Moslem religion.
….
I cannot but consider the Malayu nation as one people, speaking one language,
though spread over so wide a space, and preserving their character and customs,
in all the maritime states lying berween the Sulu
Seas and the Southern Oceans, and
bounded longitudinally by Sumatra and the western side of Papua or New Guinea
(Raffles, 1816 : 103)
Dapat
kita katakan dari uraian tersebut bahwa Raffles telah mempunyai gambaran yang
jelas tentang ‘batas wilayah’ kawasan penempatan ras Melayu, yang kemudian kita
kenal sebagai ‘alam Melayu’, ‘Dunia Melayu’, atau ‘Nusantara’.
Selain
dari konsep bahasa, Raffles juga menambahkan
dengan memasukan konsep sejarah
untuk ras Melayu. Kosepnya itu
adalah Salalatus-Salatin (Peraturan segala Raja-raja) sebagai sejarah Melayu.
Selengkapnya Syamsul AB dalam dalam
Yusuf Ismail dan Rahimah, 2000: 194-195 mengatakan
“Dapat kita katakan bahwa Raffles, sebagai ahli perintis, telah meletakan
dasar dan kerangka epistemologi ilmu kolonial Melayu, berdasarkan skema klasifikasi
dan teori sosial Erofa, melalui konsep ’bangsa Melayu berdasarkan
bahasa’,’konsep wilayah Melayu’,’konsepsi sejarah Melayu’ dan ’konsep ras
melayu’. Singkatnya, apa yang telah dilakukannya ialah meletakan dasar berpikir
atau ’ paradigma Raffles’.
Selain itu ada pengertian Melayu yang lebih luas dan
universal daripada pengertian Melayu secara agama, geografis dan etnis. Konsep itu adalah ”Alam Melayu” seperti yang dikemukakan oleh James T.
Collins (2005). Menurutnya konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berdasarkan
pada peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia Tenggara. Dalam konsep ini
melayu tidak hanya sebatas etnis dan agama (Islam) melainkan semua komponen
semua penduduk Asia Tenggara yang bahasanya dipertuturkan menggunakan bahasa
Melayu. Dari konsep ini dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa orang-orang dari etnis apapun di Asia Tenggara ini,
sekalipun tidak beragama Islam, termasuk kedalam keluarga besar Melayu asalkan
mereka berbahasa melayu. Melayu ini dapat dikategorikan sebagai Melayu ”tua”.
Menurut Munawar
(2003:5) Suku Melayu di Kalimantan Barat
pada hakekatnya terdiri dari orang Melayu asli yang berasal dari Sumatera atau
Semenanjung Malaka dan yang berasal dari orang-orang Dayak dari proses
Islamisasi. Sekarang antara keduanya tidak lagi dapat dibedakan mana yang asli
dan mana yang bukan.
Orang
Dayak[5] adalah
penduduk asli (indigenous
people) pulau Kalimantan atau Borneo .
Menurut asal- usulnya, mereka ini adalah
imigran dari daratan Asia , yakni Yunan di Cina
Selatan . Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid (Coomans,1987) yang kini
tidak ada lagi, serta ras Australoid (Mackinnon,1996). Selanjutnya adalah
kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM. Kelompok imigran
terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu
ras Mongologid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990).
Pengaruh
Agama
Harus diakui bahwa agama memiliki kekuatan luar biasa
untuk menghimpun manusia. Bahkan kemudian agama menentukan identitas manusia. Identitas yang dikaitkan dengan agama inilah awal
terbentuknya politik identitas. Kejadian ini diperkuat ketika kolonialisme
menguasai Kalimantan. Dalam urusan agama ini, kolonial Belanda yang menerapkan
politik pecah-belah telah menimbulkan suatu ketegangan antara suku-suku bangsa di
Kalimantan Barat. Islam ditemukan pada 80 persen lebih wilayah Sambas,
sepanjang sungai Kapuas sampai ke Putussibau, sepanjang sungai mempawah, sungai
Landak, Sungai Pawan dan Sukadana. Tetapi di bagian pedalaman yang jauh dari
aliran sungai agama Kristen berkarya disitu oleh karena Belanda telah membatasi
penyebaran Islam kesana. Penyekatan di Sungai Kapuas dilakukan Belanda dengan
mendirikan gereja di Sejiram, bahkan gereja disini adalah yang pertama di
Kalimantan Barat. Hingga kini di Kalimantan Barat perasaan suku sangat kuat, dan
jelaslah bahwa agama Kristen dan agama Islam tidak sukses mengatasi sentimen
ini.
Dewasa ini istilah Melayu digunakan sebagai
kontras Dayak . Istilah Melayu tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi
sebagai referensi Islam kontras non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang
Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam
dan bukan karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan.
Di Kalimantan Barat, Orang Dayak yang masuk Islam di
sebut Senganan, sehingga dapat dikatakan
bahwa sembilan puluh persen orang Melayu di Perhuluan Sungai kapuas, sungai
Landak, sungai Mempawah dan juga di Sambas adalah Senganan. Merujuk Coomans
(1987:31) di Kalimantan Timur orang Dayak yang masuk Islam disebut ’Halo’.
Coomans (1987:32) mengatakan bahwa Penggunaan istilah itu menekankan gagasan
orang Dayak, bahwa mereka yang masuk agama Islam memisahkan diri dari segala
ikatan sosial semula, membuang segala adat yang diwariskan dari nenek Moyang.
Bahkan untuk menjaga agar mereka tidak najis, hubungan sosial dengan
keluarga-asal semakin dikurangi. Hal itu berarti bahwa persatuan genealogis
(keturunan) mereka tinggalkan dan mementingkan persatuan lokal sebagai
persatuan umat. Sementara bagi orang Dayak ikatan keturunan sangat penting.
Thambun Anyang (1996: 78) mencatat satu hal yang sangat
menarik mengenai proses perpindahan
agama ini. Pada waktu zaman kolonial masyarakat suku Dayak yang ingin
melanjutkan sekolah yang didirikan kerajaan terlebih dahulu harus masuk Islam
supaya tidak diejek sebagai orang kafir atau orang yang dihina sebagai pemotong
kepala.
Dapatlah dikatakan bahwa
agama Islam merupakan ikatan religius, politik, dan sosio ekonomis
sekaligus. Orang Dayak yang mengubah
identitasnya menjadi Melayu dan kemudian mereka diakui sebagai Melayu oleh
orang Melayu telah menjadi issu yang penting dalam kaitan dengan persaingan
politik identitas di Kalimantan Barat sampai saat ini.
Hegemoni
Etnik
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia , yaitu
antara tahun 1945-1949 Kalimantan Barat berada dalam pengaruh NICA[6]
dengan status daerah Istimewa dibawah pemerintahan
Sultan Hamid II, ketika itu beliau adalah Sultan Kesultanan Pontianak. Sultan
Hamid ialah salah seorang tokoh politik pada masa itu yang menghendaki bentuk Nasionalisme
Indonesia berupa Federal yang terhimpun dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg
( BFO )[7]. Bukan Nasionalisme Federal yang Republik Indonesia
Serikat[8]
(RIS) yang tidak lagi berhubungan dengan kerajaan Belanda. Sultan Hamid juga menjadi ketua delegasi
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), sebagai pihak ketiga dalam perundingan
Belanda-Indonesia, pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Agustus 1949. Hasilnya,
kerajaan Belanda setuju menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia Serikat
pada 27 Desember 1949.
Atas ketokohannya
itu, Pada Januari 1950, Presiden Soekarno mengangkat Sultan Hamid sebagai
Menteri Negara Zonder Porto Folio. Tugasnya, merancang dan merumuskan gambar
lambang negara. Pada Februari 1950, tugas tersebut selesai dengan diresmikannya
lambang Garuda Pancasila. Diangkatnya Sultan Hamid dapat dimaknai sebagai
pengakuan eksistensi politik etnik Melayu ketika itu.
Tanpa diduga, tak
berapa lama setelah tugas pertamanya
menyelesaikan lambang Negara Indonesia, terjadilah “pemberontakan” Angkatan Perang Ratu Adil di
Jawa Barat yang dipimpin oleh kapten KNIL Raymond Westerling. Mereka hendak
melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Anggota-anggotanya ialah mantan
tentera KNIL di Nasionalisme Pasundan. Westerling[9]
telah merancang kabinet bayangan bersama kolonel KNIL Syarif Hamid. Berikutan
dengan peristiwa itu Sultan Hamid
ditangkap, diadili dan dipenjara selama 10 tahun.
Di
penjara, Sultan Hamid tak bisa berbuat banyak ketika Soekarno membuat kampanye
membongkar RIS dan BFO. Struktur nasionalisme federasi, yang memberi kekuasaan
lebih besar kepada daerah, hanya berumur delapan bulan. Pada 17 Agustus 1950,
Presiden Soekarno membubarkan RIS dan BFO. Soekarno kemudian membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga sekarang.
Jatuhnya Sultan
Hamid kemudian berdampak pula terhadap jatuhnya pamor hegemoni etnik Melayu di
Kalimantan Barat. Selain itu kebijakan
politik Orde Lama yang membubarkan Kerajaan-kerajaan Melayu , antara 1950
hingga 1956 juga berpengaruh serius. Namun yang paling serius adalah akibat
dari pembunuhan massal banyak pemimpin, oleh kolonial Jepang di Mandor (1944-45). Sehingga
bisa dikatakan bahwa Etnik Melayu pada ketika ini mengalami krisis
kepemimpian yang parah. Sultan Hamid
juga tak bisa berbuat banyak ketika Daerah Istimewa Borneo Barat diubah menjadi
Provinsi Kalimantan Barat pada 1957.
Sementara itu, pada Pemilu pertama tahun 1955 , Partai Persatuan Dayak menang
mayoritas di Kalimantan Barat. Oleh karena itu Ketua partai tersebut yaitu JC
Oevang Oeray[10]
seorang Dayak Kayan dinobatkan sebagai Gubernur Kalimantan Barat. Selain itu
etnik Dayak juga menduduki 4 posisi
bupati dari 7 kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Etnik Dayak pada masa ini
melakukan hegemoni terhadap etnik Melayu dengan menguasai posisi pegawai-pegawai
pemerintahan lainnya. Perilaku Gubernur Oevang Oerai yang menarik pada periode
ini adalah banyak memberi beasiswa
kepada pemuda/i Melayu untuk melanjutkan
sekolah di Jawa.
Dari
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada era Orde Lama (ORLA), etnik Dayak
melakukan hegemoni dengan menguasai peranan strategis pada pemerintahan dan
politik di Kalimantan Barat. Sedangkan etnik Melayu pada masa ini mengalami
marginalisasi.
Marginalisasi
etnik
Bertolak belakang
dengan rejim ORLA, pada masa Orde Baru
(ORBA) Etnik Dayak terhegemoni dan dimarginalisasikan, rumah-rumah panjang mereka dihancurkan dengan dalih sanitasi
jelek. Budaya Dayak benar-benar hancur akibat dari kebijakan ini. Perlakuan yang tidak adil ini membuat,
karakter-karakter kekerasan dalam budaya mengayau[11] seolah tumbuh kembali. Padahal budaya ini
sudah lebih dari 100 tahun telah hilang[12].
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kelompok etnik Dayak
justru mengalami penjajahan dari negeri sendiri. Hak dan kedaulatan mereka
dipasung dengan perundang-undangan, kawasan adat mereka sering di serobot tanpa
kompromi (alasan tanah nasionalisme) dan yang paling tragis dan sangat
menghancurkan Dayak sebagai masyarakat adat adalah ketika diberlakukannya UU No
5 tahun 1974 dan 1979 tentang Pemerintahan Desa, dimana segala sesuatu harus
seragam. Kedua UU ini adalah bentuk pengingkaran dan penghianatan terhadap
cita-cita para pendiri Republik Indonesia yang mencantumkan falsafah negara
Bhinneka Tunggal Ika. Falsafah ini dilanggar dan bahkan diinjak-injak dengan
memakai simbol pembangunan[13].
Kebijakan penyeragaman yang dilakukan pemerintahan ORBA
lebih dikenal dengan istilah “ Jawanisasi”.
Rakyat tabu membicarakan suku, agama dan ras (SARA). Model pemerintahan lokal dihapus dan digantikan dengan
sistem di pulau Jawa. Yekti Mauneti (2004: 2)
menjelaskan dalam bukunya identitas Dayak sebagai berikut :
Pemerintahan Orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat
melalui bahasa dan etinisitas. Sepanjang masa berkuasanya pemerintahan Orde
baru, Nasionalisme berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi
kepentingan ‘pembangunan nasonal’ (misalnya, demi mempromosikan pariwisata).
Jadi, ada ruang bagi perbedaan-perbedaan etnis asalkan tidak membahayakan
‘kepentingan nasional’. Memang, ideology Nasionalisme Indonesia “ Bhinneka
Tunggal Ika” secara eksplisit mengakui perbedaan budaya dan peran perbedaan
budaya ini menetukan karakter bangsa Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang
plural dan toleran. Tetapi sekarang tampaknya Nasionalisme telah kehilangan
kendali atas proses-proses identitas budaya yang dulu pernah dicoba untuk
diseragamkan guna kepentingan-kepentingan pembangunan Nasionalisme. Sekarang
sejak jatuhnya pemerintahan Suharto, tampaknya diberbagai daerah urutan
prioritasnya sudah secara efektif dibalik. Sekarang, pemikiran-pemikiran
tentang pembangunan nasional dan modernisasi nasional telah digantikan dengan
konflik-konflik berbasis-etnis yang berkaitan dengan isu pembangunan yang tidak
merata dan marginalisasi masyarakat asli(adat).
Pada masa ini kebijakan politik berupa transmigrasi juga
dilakukan secara besar-besaran. Kebijakan transmigrasi ini telah menimbulkan
kepanikan pada suku-suku asli, terutama Dayak. Karena sebagian besar lokasi
transmigrasi di tanah-tanah adat etnik Dayak. Mereka tidak senang dengan suku-suku luar[14] yang mencaplok teritorinya.
Pembiaran Konflik-Kekerasan
Pada masa transisi
peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru yaitu tahun 1966-67 terjadi kekerasan
berbau SARA yang parah. Kekerasan ini melibatkan identitas etnik yaitu antara Dayak dengan Cina.
Kekerasan ini terasa ganjil karena sebenarnya kedua etnik ini memiliki hubungan
yang erat. Pada tahun terakhir pemerintahannya, Gubernur Oevang Oerai ditekan agar mengusir etnik Cina dari kawasan
pedalaman Kalimantan Barat. Pengusiran ini berkaitan dengan penumpasan anggota Partai
Komunis Indonesia dan PGRS-Paraku[15].
Dalam posisi kekuasaan yang lemah, Gubernur Oevang Oerai akhirnya terpaksa
mengikuti kebijakan dari pusat, yaitu dengan memobilisir etnik Dayak untuk
mengusir etnik Cina dari kawasan pedalaman.. Jamie Davidson[16]
, menyebut pembantaian 1967 sebagai “membangunkan kembali budaya kekerasan” di Kalimantan Barat.
Kedatangan banyak etnik lain dari berbagai kawasan
Indonesia ke Kalimantan Barat telah
menimbulkan ketakutan pada etnik asli yaitu Dayak. Dari sekian banyak suku luar
yang datang, suku Madura adalah yang paling berani[17]
. Faktor “menantang” inilah yang kemudian menyebabkan kedua suku hidup dalam
keadaan “siap berperang”[18]. Sedikit saja ada konflik antar keduanya, tidak terlalu
sulit untuk menjadi besar (kekerasan). Akibat berbagai perlakuan diskriminatif
yang dialami kelompok etnis Dayak pada Masa Orde Baru, mereka menjadi sangat
mudah emosi. Mudah panas. Hanya dipicu oleh persoalan yang sangat sepele,
dengan mudah membangkitkan kemarahan komunal.
Rentetan perkelahian kedua ini, jejaknya dimulai pada
tahun 1968 . Kekerasan pada masa itu dipicu oleh pembunuhan terhadap Sani
(Camat Sungai Pinyuh yang orang Dayak Kanayatn) oleh Sukri warga Madura.
Pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh penolakan Camat tersebut untuk melayani
pengurusan surat keterangan tanah pada
hari minggu karena Camat itu akan ke Gereja.
Kejadian ini terjadi pada awal tahun 1968. Kematian Sani
kemudian tersebar ke kampung-kampung Dayak. Tanggapan spontan kemudian tak
dapat dihindari , etnik Dayak yang masih diselimuti suasana hati ”pengusiran
etnik Cina” kemudian membakar dan
membunuh enik Madura di beberapa kecamatan seperti Mempawah Hulu, Menjalin,
Toho, Anjungan dan kawasan-kawasan pedalaman lainnya. Setelah kasus ini,
kejadian konflik terus berulang, yang meletusnya berdekatan dengan peristiwa
politik.. Selengkapnya mengenai konflik yang melibatkan etnik Dayak di Kalbar penulis
sajikan dalam bentuk tabel, agar lebih ringkas. Lihat tabel di bawah ini.
Tabel
1
KEKERASAN
ETNIK DI KALBAR DENGAN PERISTIWA
POLITIK
No.
|
Waktu
|
Lokasi
|
Keterangan
|
1.
|
1966-67
|
Kabupaten Sambas,
|
Konflik etnik Dayak dengan Cina. Seluruh
etnik Cina diusir dari kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat. Konflik
ini didukung oleh Militer yang dikaitkan dengan penumpasan PKI dan
PGRS-Paraku. Pada masa ini terjadi penggulingan Gubernur Oevang Oerai dan 4 orang
Bupati dari etnik Dayak
|
2.
|
1968
|
Anjungan,
Kabupaten Pontianak
|
Konflik enik Dayak dengan Madura, Konflik
dipicu oleh pembunuhan terhadap Sani (Camat Sungai Pinyuh yang orang Dayak
Kanayatn) oleh Sukri warga Madura. Pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh
penolakan Camat tersebut untuk melayani pengurusan
|
3.
|
1976
|
Di Sungai pinyuh, Kabupaten Pontianak
|
Konflik
etnik Dayak dengan Madura, Konflik dipacu oleh terbunuhnya seorang Dayak
Kanayatn, yaitu Cangkeh asal Liongkong/Sukaramai yang dilakukan oleh seorang
warga Madura yang mengambil rumput di tanah milik korban. Peristiwa ini
terjadi sebelum Pemilu tahun 1977
|
4.
|
1977
|
Di
Singkawang, kabupaten Sambas
|
Konflik ini, Dipicu oleh terbunuhnya
seorang Dayak Kanayatn anggota Polri bernama Robert Lanceng oleh seorang
warga Madura. Sebelum kejadian, korban menegur adik perempuannya agar jangan
pergi keluar rumah malam hari bersama pemuda Madura tersebut. Peristiwa ini
pada tahun yang sama dengan PEMILU
dan sebelum pemilihan Gubernur
|
5.
|
1979
|
Kabupaten
Sambas
|
Konflik dipicu oleh pertengkaran
masalah hutang yang menyebabkan Sakep (seorang Dayak Kanayatn) diserang oleh
tiga orang Madura. Dua Dayak Kanayant lainnya hampir terbunuh. Konflik ini
merupakan dampak dari kekecewaan dari etnik Dayak karena hanya sedikit etnik
Dayak yang duduk di lembaga legislative dan eksekutive.
|
6.
|
1982
|
Pak
Kucing, Kabupaten Sambas
|
Konflik dipicu oleh pembunuhan
terhadap Sidik seorang warga Dayak Kanayatn oleh Aswandi seorang warga Madura
karena korban menegur Aswandi yang mengambil rumput disawah miliknya tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu. Pada tahun ini juga dilaksanakan PEMILU.
|
7.
|
1983
|
Sungai
Enau, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak
|
Konflik dipicu oleh Dul Arif seorang
warga Madura yang melakukan pembunuhan atas seorang warga Dayak Kanayatn yang
bernama Djaelani karena masalah tanah.
Peristiwa terjadi setelah PEMILU dan menjelang pemilihan Gubenur
|
8.
|
1992
|
Pak
Kucing, Kabupaten Sambas
|
Konflik dipicu oleh pemerkosaan
terhadap anak Sidik (yang terbunuh ada tahun 1982) yang dilakukan oleh
seorang warga Madura. Peristiwa terjadi pada masa yang sama dengan PEMILU.
|
9.
|
1993
|
Kotamadya
Pontianak
|
Konflik massal dipicu oleh perkelahian
antar pemuda Dayak dengan pemuda Madura yang mengakibatkan perusakan dan
pembakaran terhadap Gereja Paroki Maria Ratu Pencinta Damai dan Persekolahan
Kristen Abdi Agape. Peristiwa ini terjadi setelah PEMILU dan menjelang
Pemilihan Gubernur.
|
10.
|
1994
|
Tubang
Titi, Kabupaten Ketapang
|
Konflik dipicu oleh penusukan seorang
Dayak oleh seorang Madura yang sedang bekerja diproyek pembangunan jalan.
Pada masa ini dilaksanakan pemilihan Bupati
Sintang. Calon Dayak dikalahkan etnik Melayu karena ada pengkianatan.
|
11
|
28
Des 1996
|
Sanggau
Ledo, Kabupaten Sambas
|
Konflik dipicu oleh tertusuknya
Yakundus dan Akim, dua pemuda Dayak Kanayatn di Sanggau Ledo oleh pemuda
Madura, yaitu Bakri dan empat temannya. Konflik ini terjadi menjelang Pemilu.
|
12.
|
15
Jan–28 Feb 1997
|
Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten
Sanggau Kapuas, dan Kotamadya Pontianak
|
Konflik Dayak-Madura
di daerah kabupaten Sambas mulai mereda, tetapi kemudian meledak lagi setelah
terjadi penyerangan terhadap kompleks persekolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan.
Dalam peristiwa ini dua perempuan Dayak Jangkang (Sanggau Kapuas) dan Dayak
Menyuke (Landak) luka-luka. Kemudian, terbunuhnya seorang warga Dayak Kanayatn
asal Tebas-Sambas, yakni Nyangkot oleh sekelompok warga Madura di Peniraman.
Pada tahun ini dilaksanakan PEMILU, Pemilihan Bupati Sanggau dan pemilihan
Gubernur. Selain itu keadaan politik Nasional di Jakarta juga sedang memanas.
|
13
|
17 Jan 1999
|
Kab Sambas
|
Dikenal sebagai kasus parit
Setia, kerusuhan antara Melayu dan Madura.
Peristiwa ini terjadi pada
tahun diadakannya Pemilu 1999.
|
14
|
Maret 1999
|
Kabupaten Sambas, dan Kotamadya Pontianak
|
Berbarengan dengan konflik
Melayu Sambas-Madura, terjadi pembunuhan terhadap Martinus Amat warga Dayak
Kanayatn Samalantan sehingga mengundang simpati warga (Dayak Kanayatn) di
Samalantan dan Sanggau Ledo untuk membalas. Pada masa ini juga berlangsung
pemilihan Bupati
|
15
|
Maret 2003
|
Sei Duri
|
Melayu sambas marah karena
pemukiman mereka di Sei Duri dimasukan ke dalam wilayah kabupaten Bengkayang
yang dipimpin Dayak Selako. Pada
tahun ini juga dilaksanakan pemilihan Gubenur Kalimantan Barat dan Pemilu..
|
16
|
2007
|
Melayu rusuh dengan Cina ,
kasusnya dipicu oleh tergores mobil
seorang etnik Melayu. Paristiwa ini terjadi setelah Pemilihan Gubernur , calon dari Melayu Kalah. Selain itu pada
Pemilihan Wali
|
|
17
|
2008
|
Melayu rusuh lagi dengan Cina
di Singkawang, dipicu pembangunan patung Naga. Pada masa ini juga berlangsung Pemilu 2009.
|
Sumber : diolah dari berbagai data yang dikumpulkan.
Dari tabel di atas, setidaknya ada dua hal yang bisa kita
catat. Pertama, konflik yang melibatkan etnik Dayak terjadi mulai tahun 1966-
1997. Pada masa ini etnik Dayak disingkirkan dari kekuasaan politik dan mereka
korban hegemoni pihak yang berkuasa ketika itu. Kedua, sejak tahun 1999, etnik
Dayak tidak berkonflik lagi, pada masa ini yang terlibat konflik adalah etnik
Melayu. Etnik Melayu berkonflik karena mereka merasa terancam. Pada level
pemerintahan Provinsi mereka tersingkir, sehingga secara politik mereka kalah
bahkan terhegemoni oleh etnik Dayak.
Dari uraian di atas, penulis akhirnya membuat kesimpulan bahwa berbagai konflik etnik yang kemudian menjadi kekerasan
etnik di Kalimantan Barat , akar penyebabnya bukan karena perbedaan budaya,
tetapi sungguh jelas memiliki keterkaitan dengan aktivitas politik etnik dan
upaya melawan hegemoni etnik yang berkuasa. Bukan hanya di Kalimantan Barat
tetapi Di seluruh kawasan di Indonesia selama 30 tahun terjadi peristiwa yang
hampir sama, yaitu adanya kekerasan politik pada saat berlangsungnya kegiatan/pesta politik sebagai momen melawan
hegemoni. Kesimpulan penulis
ini sesuai pula dengan pendapat George
Junus Aditjondro[19] . Beliau bahkan dengan berani mengatakan:
... Saya berani bertaruh bahwa “ tukang-tukang kompor” yang
dibayar cendana akan mengobarkan semangat jihad menentang pengganyangan orang Madura di Kalimantan Barat. Dan, mungkin saja, akan banyak yang terhasut. Sebab,
banyak orang lupa bahwa dibalik pemberontakan koalisi Dayak dan Melayu melawan
para migran Madura, tersembunyi semangat yang sama seperti di maluku, yakni
rasa ketidakpuasan “ daerah” melawan “pusat” akibat ketatnya pengelola Nasionalisme
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh tentara.... Mereka siap membantai rakyat dengan peluru maupun dengan mengorbankan
intrik-intrik perkelahian antaragama, antartas, dan antarkelompok etnik. Itu
sebabnya, SARA sekian lama diharamkan untuk dibicarakan selama Orde Baru.
Sebab, hal itu menyerang jantung mekanisme propaganda mereka.
Adanya temuan yang penulis uraikan di atas, penulis kemudian
menolak hasil dari analisis para sarjana
yang mengatakan bahwa konflik antara orang Dayak dengan orang
Madura di Kalimantan Barat disebabkan
oleh benturan budaya dan praduga-praduga yang didasarkan pada stereotif yang negatif. Dari data yang penulis paparkan
dalam tabel di atas, tampak jelas bahwa akar konflik dan kekerasan adalah persaingan
politik yang membawa serta identitas etnik, adapun faktor budaya dan stereotif
hanyalah faktor yang dipergunakan pihak berkepentingan untuk
mengatakan bahwa pilihan mereka melakukan kekerasan bisa dibenarkan atau
diterima atau rasional.
Para peneliti lokal pada masa lalu tidak berani
mengaitkan peristiwa kekerasan dengan politik karena pada masa itu sedang
berlangsung pemerintahan Orde Baru yang dipenuhi manipulasi informasi dan
ketakutan intelektual. Para peneliti pada masa itu mungkin takut ditangkap jika
menyampaikan hasil analisis yang bertentangan dengan keinginan orde Baru.
Yang menarik bahwa Etnik Melayu tidak mau melibatkan diri
dalam konflik Dayak -Madura ini. Bahkan mereka
tidak melakukan kekerasan dengan etnik Madura, walaupun sebenarnya ada anggota etnik mereka juga yang
bersengketa dengan etnik Madura. Dalam semua bentuk tercatat enam belas (16)
kali[20] terjadi konflik etnik Melayu Sambas dengan Madura tersebut.
Berikut penulis kemukakan data-datanya.
Pada masa Orde lama, yaitu pada tahun 1955, di kampung
sungai Dungun rumah orang Melayu bernama Apsah Bt Amjah dirampok oleh oknum
etnik Madura, bahkan suami Apsah terbunuh pada kejadian ini. Kemudian tahun
1960, di kampung Semparuk A, seorang warga Melayu bernama Manaf Ikram dirampok
oleh oknum etnik Madura. Selanjutnya pada tahun 1960 juga, di kampung Parit
Setia , Haji Sihabudin (Melayu) dirampok oleh Marju (Madura). Tahun 1961 juga
di kampung Sentebang terjadi perkelahian sebagai dampak dari pencurian jambu
milik orang Melayu yang dilakukan oleh oknum Madura. Selanjutnya pada tahun
1964, di kampung Sui Nyirih, rumah Rabudin (Melayu) dirampok oleh oknum Madura.
Tahun 1966 terjadi 2 kali tindak
kriminal yaitu di kampung Nilam , Mahwi seorang guru yang berasal dari etnik Melayu
dibunuh oleh Askan dari etnik Madura. Kemudian Rumah H Saleh (Melayu) dirampok
oleh Simin (Madura).
Adapun pada masa Orde Baru, pada tahun 1974 terjadi
perkelahian antara etnik Melayu dengan Madura di kampung Jawai laut dan Matang
Tarap. Selanjutnya tahun 1978 kejadian yang sama terjadi di kampung SB Kuala,
tahun 1980 terjadi lagi di kampung Lambau, kemudian tahun 1985 dan 1987 terjadi
kembali di kampung Matang Tarap.
Selanjutnya tahun 1996 terjadi lagi perkelahian di kampung Semperiuk B, tahun
1997 di kampung Lambau Pelimpaan dan tahun 1998 di kampung Usrat. Baru pada
tahun 1999 terjadi konflik besar, yang peristiwanya diawali dari kampung Parit Setia.
Tiang Hegemoni- Lembaga Etnisitas
Untuk mempertahankan identitas
etniknya, biasanya suatu etnik membentuk
suatu organisasi yang umumnya didasarkan pada persatuan etnik, atau merujuk
pada daerah asalnya (Achdiyat dan suparlan,1989:25). Hal demikian berlaku pula
di Kalimantan Barat.
Pada Pemerintahan Orde Baru, etnik Dayak memulainya
dengan mendirikan Majelis Adat Dayak (MAD). Etnik Dayak bersatu karena semakin
terancam eksistensinya. Pada masa itu
komunikasi dan konsolidasi antar tokoh-tokoh Dayak terpelajar meningkat pesat.
Organisasi ini merupakan organisasi keetnisan
yang pertama dibentuk di Kalimantan Barat. Menurut Iqbal jayadi (2003:4)
:
Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa
panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan
mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi
dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu
yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai
organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberDayakan kumpulan
etniknya. Beberapa belas tahun kemudian,
pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan
berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan,
dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintahan untuk
mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara
tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan
adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintahan sendiri yang hanya
memperhatikan satu tuntutan bila satu kumpulan bersikap mengancam.
Majelis Adat Dayak (MAD) berdiri pada 1994 oleh sejumlah
Tokoh Politik Dayak di kota Pontianak. Mulanya kehadiran institusi ini sangat
erat kaitannya dengan kepentingan para tokoh tersebut dengan Golongan Karya
sebuah partai dominan di era tersebut.
Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik etnik
Dayak. Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir
yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan
kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka
yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan
menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga
mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi
Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga
mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu,
seperti MAS Bayu (Majelis Adat dan Seni Budaya Melayu, Lembaga Adat dan kekerabatan Melayu
(lembayu), dan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM).
MAS-Bayu, sebenarnya
telah didirikan tahun 1995 di Sambas dan Ketapang[21]. Tetapi aktivitas lembaga ini
tidak menonjol. Tahun 1999 mereka mendirikan Lembaga Adat dan Kekerabatan
Melayu (Lembayu) dan PERMAK (Persatuan Melayu Kalimantan Barat), basis kedua
institusi ini ialah Keraton Kadriah Pontianak, tujuan pendiriannya ialah untuk
meningkatkan martabat kesultanan Melayu sepeninggal Sultan Hamid II.
Selanjutnya, Majelis
Adat Budaya Melayu (MABM)[22] didirikan pada tahun 1997, yaitu hampir empat tahun setelah MAD didirikan. Isu yang melatarbelakangi berdirinya MABM Kalimantan Barat
tahun 1997, salah satunya ialah perlunya perhatian terhadap kesejahteraan
masyarakat Melayu . Selain itu, keberadaan
MABM diharapkan dapat mengawal persoalan adat dan budaya sehingga dapat diwariskan
kepada generasi muda. Aktivitas menonjol yang dilakukan MABM sejauh ini adalah menggelar festival Budaya Melayu setiap tahun
dan membangun Rumah Melayu.
Dari
uraian diatas, dapat dikatakan bahwa Orde Baru adalah masa dimana politik
identitas Dayak terkonsolidasi. Dengan adanya peminggiran yang sistimatis mereka kemudian bersatu. Masa Orde
Baru juga dapat dikatakan bahwa etnik Melayu kembali menduduki posisi strategis
pada pemerintahan dan politik di
Kalimantan Barat.
Perayaan
etnisitas / Otonomi Daerah
Sejak tahun 1998, secara nasional telah terjadi perubahan
yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia,
mulai dari aspek sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini diawali oleh krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun tersebut yang kemudian secara
sistematis telah berimplikasi kepada berbagai aspek kehidupan termasuk sistem
politik maupun sistem pemerintahan. Bahkan pada beberapa daerah, Krisis
tersebut ternyata juga berimplikasi terhadap munculnya berbagai konflik sosial
di beberapa wilayah di Indonesia seperti konflik Ambon, Poso, Sambas maupun
Sampit. Sehingga sempat dijadikan
hipotesis oleh beberapa peneliti dalam laporannya bahwa konflik yang terjadi diberbagai wilayah
di Indonesia pada masa itu berkaitan secara langsung maupun tidak langsung
dengan melemahnya kekuasaan militer di pemerintahan dan berubahnya sistem
politik di Indonesia. Terlepas dari terbukti atau tidaknya hipotesis tersebut,
yang jelas tuntutan yang sangat kuat akan perubahan dari masyarakat telah
menyebabkan bergesernya peta politik di tanah air. Salah satu contoh
konkrit adalah hasil Pemilu tahun 1999
yang menempatkan PDI-P sebagai pemenang Pemilu, meskipun belum berhasil
menempatkan Megawati sebagai Presiden RI.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak tahun 1998 sehingga
tahun 2008, Nasionalisme Indonesia
mengalami dua orde[23]
pemerintahan, 1998-2001 dikenali sebagai periode Reformasi, dan sejak 2002-hingga
hari ini dikenali sebagai orde Otonomi Daerah.
Tercatat ada 4 orang presiden pada rentang waktu ini[24]. Di Kalimantan Barat pada periode ini dimulai
dengan wacana putra daerah[25]
sebagai pemimpin daerah. Oleh sebab itu
DPRD Propinsi Kalimantan Barat yang berwenang memilih Gubernur dan wakilnya
akhirnya memutuskan mengangkat pasangan Usman Jafar (Melayu) dengan LH Kadir
(Dayak) sebagai Gubernur dan wakil Gubernur Kalimantan Barat. Usman Ja’far
(2003-2008) sebenarnya adalah gubernur pertama yang orang Melayu, sejak
provinsi ini diadakan pada 1957.
Masa orde Otonomi daerah ditandai dengan banyaknya didirikan
Propinsi dan kabupaten baru di Indonesia. Di Kalimantan Barat yang sebelumnya
hanya 7 kabupaten sampai hari ini sudah bertambah menjadi 14 kabupaten/kota.
Pendirian sebuah kabupaten baru berdasarkan kepada kebijakan politik untuk
memberi peluang kepada penduduk setempat membangun kawasannya. Oleh sebab itu
pada setiap kabupaten terdapat etnik
dominan. Di Kabupaten Sambas etnik dominannya adalah Melayu Sambas, walaupun
begitu di Kecamatan Sajingan Besar etnik dominannya adalah Dayak Selako. Etnik
Madura hilang dalam daftar kependudukan kabupaten Sambas, sebenarnya masih ada
sekitar segelintir orang Madura di Kabupaten ini, tetapi mereka dicatat
sebagai etnik Melayu[26].
DISKUSI
CIKAL BAKAL NASIONALISME ETNIK
Hegemoni etnik
yang dipertahankan dengan mempolitisasi agama dapat dipakai terus menerus
sebagai alat untuk kepentingan elit dalam berbagai bentuk, seperti
gagasan-gagasan dalam jangka panjang menengah (misalnya simbol kota santri/injil),
dan juga dapat berdampak diskriminatif . Dalam bagian lain,
kebijakan publik dipakai sebagai sarana kekuasaan yang memungkinkan
terjadi penguatan hegemoni disatu pihak dan juga melemahkan pihak lain.
Perjuangan hegemoni
juga di konstruksi dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara
intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk memobilisasi dukungan massa. Penguatan identitas
diri dari seorang pasangan calon dilakukan dengan membangun identitas diri
secara intens di masyarakat. Politik identitas yang berangkat dari base on identity dan base on interest dijadikan instrumen
untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Perkembangan politik identitas saat
ini telah mengalami pencerabutan makna identitas sesungguhnya karena identias
di produksi bukan untuk kepentingan identitas itu sendiri tetapi lebih untuk
kepentingan elite yang memproduksinya.
Dalam setiap
Pilkada di Propinsi Kalimanan Barat, hal
pertama yang akan kita dengar adalah, isu mengenai putra daerah. Sejauhmana
sang calon pemimpin mempunyai “titisan darah” sebagai putra daerah. Isu mengenai putra
daerah muncul, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Ada kalimat dalam
salah satu pasal yang berbunyi, kepala daerah adalah orang yang mengerti
daerahnya. Kalimat itu diterjemahkan secara kasat mata menjadi, orang yang berasal
daerah itu.
Etnisitas semakin
menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika politik Kalimantan Barat
seiring dengan penerapan sistem desentralisasi di Indonesia. Dalam perkembangan
selanjutnya etnisitas telah mengalami proses pemanipulasian oleh elite dan
dijadikan instrumen perjuangan politik dan budaya untuk memperebutkan
kekuasaan. Di Kalimantan Barat yang masyarakatnya masih kuat semangat
primordialismenya, identitas etnis menjadi daya tawar yang menarik.
Menguatnya
identitas Dayak dan upaya hegemoni semakin besar semenjak era reformasi/otonomi
daerah, dipengaruhi tiga kekuatan dominan yaitu agama, suku dan adat. Tiga
kekuatan etnisitas tersebut telah menjadi semacam tiang penyangga ”nasionalisme
etnik”. Tiga pilar kekuatan
tersebut menempel pada elite etnik. Gejala
demikian bisa berbahaya bagi keutuhan nasionalisme
Indonesia, mengutif Brown (1995:74), beliau mengatakan :
The dangers of identity politics, then, are that it casts as authentic to
the self or group an identity that in fact is defined by its opposition to an
Other. Reclaiming such an identity as one's own merely reinforces its
dependence on this dominant Other, and further internalizes and reinforces an
oppressive hierarchy. While the charge that identity politics promotes a victim
mentality is often a facile pot-shot, Wendy Brown offers a more sophisticated
caution against the dangers of ressentiment (the moralizing revenge of
the powerless). She argues that identity politics has its own genealogy in
liberal capitalism that relentlessly reinforces the “wounded attachments” it
claims to sever: “Politicized identity thus enunciates itself, makes claims for
itself, only by entrenching, restating, dramatizing, and inscribing its pain in
politics; it can hold out no future — for itself or others — that triumphs over
this pain” .
Dalam bagian lain, kemunculan politik identitas dan hegemoni, tidak bisa dilepaskan dari
adanya intervensi globalisasi. Faktor ini tidak bisa nisbikan perannya,
terutama karena globalisasi menyediakan ruang keterbukaan untuk saling
berkomunikasi bagi tiga pihak yaitu komunitas global, nation state, dan warga
lokal. Dalam situasi sekarang dimana sedang terjadi arena persaingan antar ideologi
dengan berbagai warna- juga soal ekonomi diberbagai tingkatan, maka konstruksi
identitas tidak kosong dari pengaruh satu sama lain. Terkait dengan soal ini,
maka politik identitas berbasis etnis dan agama di komunitas lokal, juga bisa
dipahami sebagai konsekuensi dari persaingan di ranah global. Kehadirannya juga
banyak di dukung oleh posisi nasionalisme yang sedang lemah, baik dalam arti
politik maupun ekonomi.
Pada akhirnya menguatnya politik
identitas ini apabila berlangsung tanpa semangat nesionalisme keindonesiaan
akan berdampak terhadap terbentuknya ”nasionalisme etnik” dalam arti yang
sesungguhnya. Budaya semacam itu,
selain bertentangan dengan demokrasi, juga memberi pengaruh yang negatif dalam
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan demokrasi. Ia telah menjelma menjadi
patron-client karena keturunan, keluarga, kerabat, suku, golongan, kampung dan
sebagainya. Max Weber menjelaskan klasifikasi masyarakat seperti itu adalah
sebagai: ”domination into taraditional
authority". Dalam manifestasinya di kalangan pemerintahan, kemudian
menjelma dalam bentuk nepotisme, kolusi dan korupsi.
KESIMPULAN
Politik lokal di Kalimantan Barat kental
bermuatan persaingan etnik. Persaingan tersebut melibatkan dua etnik yang
merupakan penduduk asli di Kalimantan Barat yaitu etnik Dayak dan Melayu.
Keadaan persaingan ini menjadi lebih terbuka pada era otonomi daerah sekarang
ini yang dipicu oleh pemilihan kepala daerah secara langsung. Persaingan ini
terjadi karena sejarah mencatat bahwa elit etnik yang berkuasa menjalankan
hegemoni etnik atas etnik lain. Data dalam uraian di atas menunjukkan bahwa konflik
kekerasan etnik yang berlangsung selama ini memiliki hubungan dengan upaya perlawanan
hegemoni etnik tersebut.
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Thaba. 1996.
Islam dan negara dalam politik
orde baru. Jakarta: Gema Insani Press.
Alan, R. Ball.
1983. Modern politics and government. London: English Language Society.
Almond, G.A. & Powell, G.B. 1978. Comparative politics : System, process, and
policy. Boston: Little Brown.
Alpha Amirrachman (pnyt.).
2007. Revitalisasi kearifan lokal,
study resolusi konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso.
International Center for Islam and Pluralism. Jakarta: ICIP.
Alqadrie, Syarib Ibrahim. 2003. Pola Pertikaian
Etnis di Kalimantan
Barat dan Faktor-Faktor Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik yang Mempengaruhinya.
Disajikan pada Seminar Internasional tentang Dinamika Politik Lokal di
Indonesia: Pluralitas dalam Perspketif Lokal yang diselenggarakan oleh Yayasan
Percik bekerjasama/disponsori oleh The Ford Foundation Perwakilan Jakarta di Salatiga, Jawa Tengah.
hlm. 9-11
Aminudin. 1999. Kekuatan Islam dan pergulatan kekuasaan di ndonesia. Jogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Anyang, Thambun Y.C. 1998. Kebudayaan
dan perubahan daya taman Kalimantan Dalam arus modernisasi. Jakarta:
Gramedia.
Ariffin Omar. 1999.
Revolusi Indonesia dan Bangsa
Melayu, Runtuhnya kerajaan-kerajaan Melayu Sumatera Timur pada tahun 1946. Pulau Penang:
Universiti Sains Malaysia.
Andas Putra, Nico & Djuweng. 1999.
Sisi gelap Kalimantan Barat. Jakarta:
ISAI.
Arkanudin. 2000. Interaksi antar etnik, Kasus etnik
Dayak- Madura di Kalbar, Sosiologi Antropologi, pascasarjana Universitas
padjajaran, Bandung.
Arif Budiman. 1985. Negara Kelas dan Formasi Sosial,
Majalah Keadilan XII, hlm 39.
Bamba.(edt)
2008. Mozaik dayak di Kalimantan Barat.
Pontianak: Institut Dayakologi.
Bakran Suni.
2007. Sejarah Melayu Sambas.
Pontianak: Lembaga penelitian
Universitas Tanjungpura.
Bakran Suni. 2010.
Demokrasi dan Budaya Politik : Suatu Kajian Pemilihan Kepala daerah
Provinsi Kalimantan Barat, Tesis PhD, UKM-ATMA. Bangi.
Barth, Frederick. 1988. Ethnic group and boundaries, Boston: The Little Brown and Company.
Barker, Chris.
2005. Cultural studies, teori dan
praktek. Jogjakarta: PT Bentang
Pustaka.
Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat
(BPS). 2003. Kalimantan Barat dalam angka
2002. Pontianak: BPS Kalbar.
Benedict Anderson. 1990. Language and Power
Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca Cornel University Press.
Bingling, Yuan.
2000. Chinese democracies, a study of the kongsis of West Borneo 1776-1884. The Netherlands: Universiteit Leiden.
Bruner,
Edward. 1974. The expression of ethnicity in
Indonesia. Dlm. Abner Cohen.
(pnyt.). Urban ethnicity, hlm.
23-31. London: Tavistock.
Carole
Hillendbrand. 1999. Perang salib, sudut pandang Islam. Jakarta. Serambi.
Chris
Maning dan Peter Van Diermen (ed), 2000. Indonesia di tengah transisi,
aspek-aspek sosial reformasi dan krisis. Yogyakarta. LKIS.
Cokens, Bruce J.
1979. Introducton to sociology. New
York: Mc.Graw-Hill Book Company.
Collins,
James.T. 2005. Bahasa
Melayu bahasa dunia, Sejarah Singkat.
Jakarta: Obor.
Collins,
James.T. 2006. Contesting
Straits Malayness, Fact Borneo. Jounal of Southeast Asian studies, edisi
32.
Collins,
James.T. & Awang Sariyan. 2006. Borneo
and the homeland of the Malays.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Connoly,
Jennifer. 2003. Becoming Christian and Dayak : A Study of Christian conversion
among Dayaks in East Kalimantan. Dissertation of the School University.
Coomans,
Mikhail. 1987. Manusia daya dahulu, sekarang, masa depan. Jakarta:
Gramedia.
Coser,
Lewis A. 1947. The
functions of social conflict.
London: Gleneoe.
Dahrendorf,
Ralf. 1958. Toward a Theory of Social Conflict. Journal of Conflict Resolution
2 (Juni).
Daniel
Dhakidae (peng,). 2001. Akar
pemasalahan dan alternatif penyelesaian konflik, Aceh-Jakarta-papua.
Jakarta: Yappika.
Davidson, Jamie Seith. From Rebellion to Riots, Collective Violence on
Indonesian
Borneo. Nus Press. Singapore.
Davis, Kinsley. 1960. Human
society. New York: The Mac Millan Company.
Demateau. 1984. Sekilas Sejarah Misi Katolik di
Pulau Kalimantan. Pontianak. Keuskupan Agung.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005. Pendidikan multikultur. Jakarta:
CV Karya Agung.
Diamond, Larry & Marc, F. Plattner (pnyt.).
1998. Nasionalisme, konflik etnik dan
demokrasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Djayadi, Muhamad
Iqbal. 2003. Kekerasan etnik dan perdamaian etnik:dinamika relasi sosial di
antara Dayak, Melayu, Cina & Madura di Kalimantan Barat, Paper yang
dipresentasikan untuk Reading Group LIPI Jakarta, 20 Januari :
www.communalconflict.com
Dove, Michael R. 1988. The real and imagined role of culture in development, case studies
from Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press.
Easton,
David. 1971. The political
system. New York: Alfred A. Knopf, Inc.
Elez Biberz. 1993. Kosovo, the Balkan Power Key.
Conflict Studies.
Edi Petebang dan Ery Sutrisno. 2000. Konflik etnik dayak. Jakarta:
ISAI.
Enloe, Cynthia.
1973. Ethnic conflict and political development. Boston:
Little Brown.
Enthoven, J.J.K.
1903. Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester afdeeling. supplement
to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap.
Leiden: Brill.
Eric Tagliaso.2000. Kettle on a Slow Boil: Batavia’s Threath Perception in the Indies”
Outer Islands 1870-1910. Journal of Southeast Asian Studies.
Fisher, Julie. 1998. Nongovernments: NGOs and the political development of the third world.
Connecticut: Kumarian Press.
Furnivall, J.S. 1948. Colonial policy and practice: A comparative study of Burma and
Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press..
George Junus Aditjondro. 2001. Cermin Retak
Indonesia. Yogyakarta. Cermin.
Geertz, Clifford. 1963. The integrative revolution. Primordial sentiments and civil politics in
the new states. The Quest for Modernity in Asia and Africa. London: The Free Press.
Geertz, Clifford.
1973. The Interpretation of cultures.
New York: Basic Books, Inc. Publishers.
Gery Van Klinken. 2005. “New actors, new identities: Post Suharto ethnic violence in
Indonesia”, dalam Dewi Fortuna Anwar; Helene Bouvier; Glenn Smith; dan
Roger Tol (Editors), Violent Internal
Conflict In Asia Pasific. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; LIPI;
LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta, hlm 95.
Gery Van Klinken. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan
Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor
Gidden, A.
1991. Modernity and self-identity.
Cambridge: Polity Press.
Gillin, John.Lewis & John Philip Gillin.1954. Cultural sociology. New York: The Mac Millan Company.
Giring.
2004. Madura di mata dayak.
Jogyakarta: Galang Press.
Gramsci, Antonio. 1971. Selection from the prison notebooks. London: Lawrence & Wishart.
Hanneman Samuel. 2008. Majalah online Indonesia
Baru. Januari-Pebruari. Jakarta. Universitas Indonesia.
Hasanudin,
dkk. 2000. Pontianak 1771-1900. Statu
tinjauan sejarah social ekonomi.
Pontianak: Romeo Grafika.
Hartoyo.
2000, Stereotip Etnik dan Resolusi Konflik Pertanahan di Pedesaan Lampung Kasus Konflik Antar Etnik di Desa
Bungkuk Kecamatan Jabung Dan Di Desa Kebondar Kecamatan Matarambaru
Kabupaten Lampung Timur, Bandung, Univ Pajajaran.
Harrison,
Tom. (ed). 1959. The Peoples of Sarawak, Sarawak Museum. Kuching.
Heidhues,
Mary Somers. 2003. Golddiggers, farmers,
and traders in the “Chinese districts” of West Kalimantan, Indonesia.
Ithaca, New Cork: Cornell University.
Huntington, Samuel P. 1972.
Political order in changing societies.
New haven, New Jersey: Yale University Press.
Huntington, Samuel.P. & Nelson, J.M. 1976. No easy choice. Massachussets: Harvard University Press.
Huntington, Samuel P. 1993.
The Class of Civilization. Foreign Affaire, edisi 72.
Hulten, Herman Josef. 1992. Hidupku di antara suku Daya. Jakarta:
Gramedia.
Horowitz,
Donald. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley. University of Calipornia
Press.
Irwin, Graham. 1986.
Borneo abad kesembilan belas.
Terj Mohd Nor Ghani & Noraini Ismail.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Jack Snyder.(terj) 2003. Dari Pemungutan Suara ke
Pertumpahan darah, Demokrasi dan Konflik Nasionalis. Jakarta. Kepustakaan
Popular Gramedia.
James C. Scott. 1972. Patron-client Politicts and
political change in Southeast Asia. American Political Science review. Vol 66.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Pedoman etika kehidupan berbangsa.
Jakarta: CRS.
King, Victor T.
1993. The peoples of Borneo.
Oxport & Cambridge:
Blackwell.
King, Victor T. & Michael Hitchook. 1997. Images of Malay-Indonesian identity. Oxport-Singapore-New York: Oxport University Press.
Koentjaranigrat.
2002. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
djambatan.
Komisi Pemilihan Umum Kalimantan Barat. 2008.
Laporan. Pontianak. KPU
Kristianus Atok. 2009. Orang Dayak dan Madura di
Sebangki. Pontianak. YPB-Cordaid.
Lijphart, A. 1977. Democracy in plural societies: A comparative exploration. New
Heven: Yale University Press.
Liliweri, Alo. 2005. Dasar-dasar komunikasi antar budaya. Jogjakarta:
Pustaka pelajar.
Lontaan, JU.
1975. Sejarah hukum adat dan adat istiadat Kalimantan Barat. Diterbitkan Pemda Tingkat 1 Kalbar. Jakarta:
Bumi Restu.
Marko Mahin. 2007. Damai dan adil di Tanah Dayak,
Refleksi 111 Tahun rapat Perdamaian Para Pengayau. www.dayak21.org
Miller, Charles C.
2004. Black Borneo. Kota
Kinibalu: Natural History Publications.
Milne, R.S.
1981. Politics in ethinically bipolar states. Vancouver: University of British Columbia Press.
Minos, Peter.
2000. The future of the Dayak Bidayuhs in Malaysia. Kucing:
Lynch Media & Services.
Mulyana, Dedy & Jalaludin Rakhmat (pnyt.). 2001. Komunikasi antara budaya, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Mahpud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia.
Jakarta. Pustaka LP3ES.
Mahmood Mamdani. 2001. When Victims Become Killer:
Colonialism, Nativism and Genocide in Rwanda. Princeton.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas
dayak, komodifikasi dan politik kebudayaan.
Yogyakarta: LkiS.
Meyer, Thomas.
2007. Politik identitas. Terj. Politics of Identity, The Chalenge of
Modern Fundamentalism). Jakarta:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Friedrich Ebert Stiftung. Jakarta.
Mirsel, Robert.
2004. Teori pergerakan sosial.
Yogyakarta: Resist Book.
Natsir.
1951. Islam sebagai ideologie.
Jakarta: Pustaka Aida.
Nugroho, Fera. 2004.
Konflik dan kekerasan pada aras
lokal. Jogjakarta: Percik dan
Pustaka Pelajar.
Nieuwenhuis, Anton. 1994. Di Pedalaman Borneo, perjalanan dari Pontianak ke Samarinda. Terj.
Bernard Sellato, 1894. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Noer, Deliar. 1973. The modernist muslim movement in Indonesia 1900-1942. Oxford Oxford
University Press.
Parsons, Talcott.
1949. Essays in sociological theory pure and applied. Glencoe: The Free Press.
Parsons, Talcott & Shi’ls, Edward. 1952. Toward a general theory of action.
Cambridge: Haword University Press.
Parson, LM. 1967.
The Catholic Church in Borneo. Sabah Society Journal 3.
Purwana, Bambang Hendarta Suta. 2003. Konflik antarkomunitas etnis di Sambas
1999: Suatu tinjauan sosial budaya. Pontianak:
Romeo Grafika.
Pusat Penelitian
dan pengembangan kemsayarakatan dan kebudayaan LIPI. 2000. Etnisiti dan integrasi di Indonesia. Jakarta:
LIPI.
Pruitt, Dean G. & Jeffrey, Z. Rubin. 2004. Teori konflik sosial. Jogjakarta:
Pustaka Pelajar.
Rabushka, A. & Shepsle, K. 1972. Politics
in plural societies : A theory of democratie instability. Ohio:
Charles E Merill.
Rahimah Abdul Aziz & Mohamed Yusoff Ismail.
2000. Masyarakat, budaya dan perubahan. Bangi:
Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Rauf, Maswardi.
2000. Konsensus politik, sebuah penjajagan teoritis. Direktorat jenderal
pendidikan tinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Ray, David & Gary Goodpaster. Dlm. Damien
Kingsbury & Harry Aveling (pnyt.).
2002. Autonomy &
disintegration in Indonesia, hlm.
56-67. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rasjidi, H.M. 1982.
The role of christian mission: The Indonesia experience. Leicester: The Islamic Foundation.
Rex, Jhon dan Beatrice Drury (edt) 1994. Etnich
Mobilization in a Multicultural Europe. Avebury.
Russell, Afred. 1975. The Malay archipelago. Dlm. Lontaan, J.U. (pnyt.). Sejarah
hukum adat dan adat kebiasaan di Kalimantan Barat, hlm. 2-12. Jakarta:
Bumi Restu.
Rupert Emerson. 1960. From Empire to Nation. Boston.
Beacon.
Rupert Brown. 2005. Prejudice. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Riley, M.W.
1963. Sociological research 1.A. case approach. New York:
Harcourt.
Robert Pringle. 1970. Rajah and Rebels: The Iban of
Sarawak under Brooke Rule 1841-1941. Ithaca.
Rooney. 1981.
Khabar gembira; A history of the
Catholic church in East Malaysia and Brunei 1880-1976. London:
Mill Hill Missionaries.
Rosenthal,
E.I.J. 1965. Islam in the modern national state.
London: The Cambridge University Press.
Rose,
R dan Urwin D. 1969. Social Cohesion, political parties and strain in regime,
Comparative political science 11.
Ryan,
S. 1995.
Ethnic conflict and international
relations. England: Dartmouth.
Sabarguna. 2005. Analisis data pada penelitian kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Saifuddin,
Achmad Fediyani. 2005. Antropologi
kontemporer, suatu pengantar kritis mengenai paradigma. Jakarta:
Prenada Media.
Schermerhorn, R.A. 1970. Comparative ethnic relations. New York:
Random House.
Shamsul
Amri Baharudin. 2000. Pembentukan identiti sebagai fenomena sosial:
Suatu komentar konseptual
dan empirikal. Dlm. Yusriadi & Moh.
Haitami Salim (pnyt.). 2002. Islam di Kalimantan Barat, hlm. 13-34.
Prosiding kollokium Dayak Islam di Kalimantan Barat.
Shamsul
Amri Baharudin. 2000. “Ilmu kolonial” dan pembinaan “Fakta” mengenai Malaysia.
Dlm. Rahimah Abd Aziz & Mohamed Yusof (pnyt.). 2000. Budaya dan perubahan, hlm. 56-71.
Bangi: Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Shamsul
Amri Baharudin. 2001. Identiti dan etnisiti, tinjauan teoritis. Dlm. Yusriadi
& Haitami salim (pnyt.). Proseding Koloqium Dayak Islam di
Kalimantan Barat, hlm.
11-30. Pontianak: STAIN Pontianak-FUI-MABM.
Shamsul
Amri Baharudin. 2007. Modul
hubungan etnik. Shah Alam:
Universiti Teknologi Mara.
Sellato, Bernard.
1989. Nomads of the Borneo rainforest. Honolulu: University of Hawaii Press.
Sellato, Bernard.
2002. Innermost Borneo, studies in dayak culture. Singapore: Singapore
University Press.
Siahaan, Herlem. 1989. Pembauran di Kalimantan Barat prospek dan perspektif sejarahnya.
Dalam buku Interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk. Jakarta: Depdikbud.
Smith, Anthony. 1971. The theories of
nationalism. London: Oxford University Press.
Sulhan, Muhamad.
2006. Dayak yang menang Indonesia yang malang. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Surata, Agus, Tuhana, Taufig & Andrianto. 2001.
Atasi konflik etnis. Jogjakarta:
Global Pustaka.
Suhardiman.
1985. Pembauran bangsa suatu konsep-konsep pemikiran. Jogjakarta:
Nur Cahaya.
Sulistiyo, N.
1986. Masyarakat majemuk
Indonesia, Jurnal Ilmu dan Budaya
8.
Suparlan, Parsudi. 1984. Interaksi
antara etnik di beberapa propinsi di Indonesia. Jakarta:
Dirjen.
Sudagung, Hendro Suroyo. 2001. Mengurai
pertikaian etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Jakarta:
ISAI.
Sinasari Ecip. 1998. Kronologi
situasi penggulingan Soeharto.
Jakarta: Mizan Pustaka.
Sztompka, Piotr.
2004. Sosiologi perubahan sosial.
Jakarta: Prenada Media.
Tambunan, Edwin Martua Bangun. 2004. Nasionalisme etnik Kashmir dan Quebec.
Semarang: Indra Pustaka Utama.
Tim Peduli
Tapol, Amnesti Internasional. 1998. Fakta
diskriminasi Rezim Soeharto terhadap umat Islam. Yogyakarta:
Wihdah press.
Turner, Brians S.
1997. Menggugat sosiologi sekuler.
Yogyakarta: Suluh Press.
Tubbs,
Stewar L. & Sylvia Moss. 1994. Human communication. Ed. Ke-7. New York: McGraw-Hill.
Pieris, John.
2004. Tragedi Maluku, sebuah krisis peradaban. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Vet, PJ.Veth. 1854. Borneo’s Wester afdeling,
geographisch, statisch, historisch, voorafgegaan door eene algemeene schets des gansch eilands (Zalthbommel: John
Nomanen Zoon.
Von Der Mehden, F.
1969. Politics of the developing
Nations. New Jersey: Prentice-Hall.
Walker Connor. 1972. Nation Building or
Nation-destroying?, World Politics.
Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip etnis dalam masayarakat Multietnis. Jogjakarta:
Matabangsa.
Ward, E.E.F.
1974. The word today. London: George Allen and Unwin Ltd.
Weeks, J.
1990. The value of
difference. Dlm. Rutherford, J. (pnyt.).
Identity: Community, culture, difference, hlm.
46-60. London: Lawrence & Wishart.
Weiner, Myron. 1987. “Political change: Asia,
Africa, and the Middle East”. Dlm.
Weiner, M. & Huntington, S.P. (pnyt.).
Understanding political
development, hlm. 33-64. Boston:
Little Brown.
William M and Mary Jo S Schneider. 1988. Male/Female
Distinction Among the Selako (sutlive Jr editor) Female and Male in Borneo.
Borneo Research Council Monograft Volume 1. Shanghai.
Yahya Muhaimin. 1980. Beberapa segi birokrasi di
Indonesia. Dalam Prisma, No.10.
Yusriadi, Hermansyah & Dedy Ari Asfar (pnyt.). 2005. Etnisitas
di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Yusriadi & Fahmi Ichwan (pnyt.). 2007. Dayak Islam di Kalimantan Barat. Pontianak:
STAIN Press.
Yusoff, Ismail.
2004. Politik dan Agama di Sabah. Bangi:
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Zainudin
Djafar. 2005. Soeharto,
mengapa Kekuasaannya dapat bertahan selama 32 tahun. Jakarta:
Fisip UI-Press.
Zawawi, Ibrahim
(pnyt.). 2008. Representation,
identity and multiculturalism in Sarawak.
Kuala Lumpur: Dayak Cultural Foundation
& Persatuan Sains Sosial Malaysia.
[1]
Hingga
saat ini ada setidaknya 3,397 kali kekerasan etnik yang pecah di Kalimantan
Barat sejak tahun 1992 dengan kecendrungan kenaikan dan segi frekwensi, korban
dan keluasan area konflik. Penelaahan oleh seorang sosiolog, Dr Iqbal Djajadi,
2003 menunjukan bahwa umumnya kekerasan etnik sejak tahun 1930 tersebut berawal
dari tindak pidana inter-etnik, yakni seorang atau beberapa orang anggota suatu
kelompok etnik yang melakukan penganiayaan dan/atau pembunuhan terhadap
seseorang atau beberapa orang yang merupakan anggota kelompok etnik lain.
[2] YC
Tambun Anyang (1998:9) ; Menurut cerita yang dituturkan dari generasi
kegenerasi hal ini disebabkan orang-orang Dayak diperangi oleh Melayu dan
sering kalah karena tidak mempunyai meriam dan senapan. Banyak yang dijadikan
budak, “turun melayu” artinya masuk Islam dan ada pula yang dikawinkan dengan
anak raja, kemudian diangkat menjadi raja dan sementara itu pergi ke
kampung-kampung mengajak orang Dayak lainnya dalam kapasitasnya sebagai raja
untuk juga “ turun Melayu”.
[3] Jammie Davidson
(2002:3) Di Kalimantan Barat – seperti yang dipahami kemudian—gereja berperan
dalam pembentukan bahan dasar dan utama bagi misi pembudayaan, terfokus
meskipun tidak secara eksklusif, pada masyarakat non Muslim Kapuas .
Dimana, seperti yang disadari, masyarakatnya masih kurang terpengaruhi oleh
Islam dan cenderung belum tertekan oleh aturan Melayu. Secara paradoksal,
tentunya, aturan tidak langsung telah menyelubungi kerajaan menekanan kapasitas
pada tempat pertama. Selanjutnya, misionaris
menggunakan kesempatan dengan memperhatikan segala kesempatan untuk
membuDayakan dan kristenisasi masyarakat hulu Kapuas. Pada 1890 sebuah stasi
kecil dibuka di Semitau (Kabupaten Kapuas Hulu), dimana kemudian segera diikuti
dengan pendirian kombinasi gereja-sekolah di dekat Sejiram. Dukungan
kelembagaan yang minim menuntut ketabahan pada tahap awal ini. Baru pada 1905
dimana Kongregasi Capuchin memperoleh penugasan resmi dari Pusat Gereja Katolik
di Roma dengan bantuan akses eksklusif ke Kalimantan Barat, barulah upaya
misionaris menjadi lebih memperoleh momentum.
[4]
Jammie Davidson (2003:3) Sebagai kelanjutan dari kebijakan tidak langsung,
terdapat dua pemaknaan lebih lanjut oleh para kolonial, termasuk pula Brook,
yang menghasilkan identitas Dayak yang monolitik. Pertama memelalui peperangan
atau sebaliknya melalui penciptaan perdamaian. Di Kalimantan Barat, pengenaan
aturan Belanda dan perubahan mendasar dari status hubungan anatara pembuat
aturan yang terkena aturan memancing sebuah insiden kerusuhan-kerusuhan kecil
yang tiba-tiba. Dalam studinya di daerah perbatasan Indonesia pada akhir abad ke-19,
Tagliacozzo mencatat bahawa ”Belanda tidak terlihat memahami bahwa kebijakan
yang dibuatnya nyata-nyata membuat banyak kekerasan yang berlangsung...
Masyarakat dipaksa hidup di bawah aturan baru dan di bawah kondisi dan keadaan
yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Dimana secara natural akan melahirkan
perlawanan pada perkembangan matrik kekuasaan
[5]
Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan
terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa pendapat yang
mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an
(Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993; sellato,1989; Rousseau,1990). Selain itu,
dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga dihadapkan dengan
beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum adat, Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928)
mengklasifikasikan suku Dayak kedalam enam subsuku besar yang disebutnya stammenras,
yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu; (2)Ot danum; (3)Iban; (4)murut; (5)kleamantan; dan
(6)punan .
[6]
Pada Oktober 1946, Netherlands
Indies Civil Administration (NICA) mendirikan sebuah Dewan Kalimantan Barat
yang beranggotakan perwakilan dari 40 kelompok etnis, pegawai pemerintah dan
seorang anggota dari masing-masing keswaprajaan yang baru dikukuhkan kembali.
Letnan Gubernur van Mook tampak menggunakan dewan ini sebagai batu loncatan
untuk membuat negara sendiri di Kalimantan Barat –seperti yang telah dilakukannya
untuk negara Indonesia Timur di dalam kaitannya mendirikan Negara
Indonesia Serikat
(federasi). Namun Sultan Hamid dan Sultan Parikesit dari Kutai
(Kalimantan Timur) menentang kehendak tersebut. Meskipun tetap memisahkan diri
dari otoritas lainnya. Di tengah perjalanannya, beberapa bulan setelah
penandatanganan persetujuan Renville pada Januari 1948, yang menghentikan
agresi militer Belanda pertama, namun pengakuan teritorial Indonesia hanya
meliputi Jawa dan Sumatera. NICA lebih lanjut dengan maksud menjalankan konsep
federalismenya melalui penunjukkan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa
(DIKB).
[7] Struktur ini kepalanya Ratu Belanda. Ia semacam commonwealth. Ini mirip negara-negara
bekas koloni Inggris. Mereka sudah merdeka --seperti India dan Malaysia-- namun
masih punya lembaga persemakmuran dengan London. BFO meliputi Jawa Tengah, Borneo Barat, Dayak Besar,
Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas
wilayah Kesultanan Pasir), Bangka, Belitung dan Riau.
[8] RIS terdiri dari tujuh negara bagian iaitu:
Republik Indonesia (Jogjakarta), Negara Indonesia Timur (Makassar), Negara
Pasundan (Bandung), Negara Jawa Timur (Surabaya namun didirikan di Bondowoso),
Negara Madura, Negara Sumatra Timur (Medan) dan Negara Sumatra Selatan.
[10] Beliau bersama-sama FC Palaunsuka adalah tokoh
penting parti Persatuan Dayak, mereka berdua adalah orang-orang generasi
pertama yang bersekolah pada persekolahan Nyarumkop yang dibina Mubaligh
Kristian katolik. Sebelumnya mereka berdua adalah cikgu disekolah rendah di
pekan Putussibau-Kapuas Hulu yang dianjurkan oleh misi pendidikan Kristian
Katolik.
[11] Dalam salah
satu analisis yang dilakukannya terhadap berbagai rusuhan antar etnis di
Kalbar, Nancy Lee Peluso, Ph.D menggambarkan dengan sangat baik bagaimana
proses tersebut berlangsung. Menurut Nancy, kekerasan yang mengemuka dalam
setiap konflik yang terjadi antara Dayak dan Madura merupakan hasil dan akibat
dari sebuah strategi yang dipakai oleh militer dalam penumpasan Pemberontakan
PGRS/PARAKU dengan memobilisir image Pengayau orang Dayak. Image orang Dayak
sebagai "Borneo Headhunter" yang dikonotasikan liar, kejam, kanibal
dan haus darah ini awalnya sengaja diekploitasi untuk menimbulkan dampak psikologis.
[12] Selain menciptakan peperangan, kolonialis Belanda juga
memfasilitasi perdamaian. Salah satunya pertemuan perdamaian yang terkenal
dengan nama Perdamaian Tumbang Anoi di
Desa Huron Kahayan Hulu Kalimantan Tengah pada tanggal 22 Mei s/d 24 Juli 1894,
dimana musyawarah besar itu berhasil menyepakati bahwa peperangan, perbudakan
dan perburuan kepala diantara suku non muslim dinyatakan dilarang. Peradaban yang tanpa peperangan dan
pemenggalan kepala telah lahir. Kesepakatan bersama pada pertemuan inipun diambil
yaitu: menghentikan kebiasaan perang antar suku (asang) dan pemenggalan kepala
(hakayau). Menghentikan kebiasaan balas dendam (habaleh-bunu). Sejak itu
tidak ada lagi korban kepala manusia dan perbudakan. Denda adat (jipen) yang dulunya dalam rupa manusia diganti dengan uang.
Hukum adat diberlakukan sebagai sistem peradilan suku. Inilah salah satu bentuk
perdamaian yang dihasilkan dari usaha Belanda. Peristiwa ini menguatkan
berbagai cerita ” kayau” sesama Dayak, dimana terjadi peperangan antar suku-suku
per daerah aliran sungai. Meskipun warisan yang ada tetap dipertahankan,
upaya-upaya kolonial ini patut mendapatkan penghargaan. Khususnya, melalui
penyatuan perwakilan Dayak yang tersebar, Belanda menyatukannya dengan suatu kesadaran akan
nasib yang sama tumbuh. Dan tentunya, sebuah perkenalan yang familiar.
Penciptaan perdamaian oleh kolonialis juga terlihat secara jelas dalam
pembentukan identitas Dayak. Untuk menciptakan stabilitas di hulu Kapuas (dan
pada daerah Kalimantan Tengah yang luas), terlepas dari penghancuran
ketidakamanan, Belanda menegosiasikan gencatan senjata, memperkuat perkampungan
dan dalam beberapa kasus memindahkan seluruh penduduknya ke lokasi-lokasi aman.
Selengkapnya baca : www.dayak21.org
[13] lihat bagian menimbang UU No22 tahun 1999 ayat d,e,f.
[14] Ada karakteristik khusus pula pada suku-suku pendatang
yang membuat andil pada perseteruan Dayak-Madura. Suku Jawa dikenal sebagai
birokrat dan guru, suku Batak sebagai karyawan penting perkebunan dan tentara,
suku Minang sebagai pegawai negeri dan pedagang makanan, suku dari Flores
dikenal sebagai Guru dan agamawan (pastor). Sementara itu suku Dayak dan Madura
merasa sama levelnya yaitu, sama-sama
petani yang bekerja di tempat yang keras, berkeringat dan panas. Perseteruan
ini menjadi semakin genting ketika rezim ORBA memberi kesempatan kepada orang
Madura ada yang menjadi Bupati di Kalimantan Barat, membiarkan transmigrasi
swakarsa masuk secara tak terkendali (setiap kapal Lawit dari Surabaya tiba,
selalu ada trans Madura yang datang) sedangkan Dayak tidak diberi kesempatan. Jangankan menjadi Bupati menjadi PNS saja dipersulit,
Tercatat selain Bupati ada pula pejabat Militer orang Madura yang bertugas di
Kalimantan Barat pada era ini.
[15] Peristiwa ini
berikutan dengan peristiwa tahun 1965-1966 di Pulau Jawa terjadi pergantian
kekuasaan dari Soekarno ke Mayor Jenderal Soeharto. Jawa menyaksikan pembunuhan
besar-besaran terhadap orang komunis.
1967 militer Indonesia menghantam
Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, yang dulu direkrut Presiden Soekarno guna
menyusup ke wilayah Malaysia. Ideologi PGRS kekiri-kirian. Mayoritas gerilyawan
PGRS pemuda Tionghoa. “Tentara tidak sanggup melawan PGRS maka mereka rekrut
orang Dayak,” Tentara dengan menjadikan
Dayak sebagai alat mengusir orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan. Orang-orang itu diusir dari kecamatan-kecamatan. Banyak
orang Cina lari ke Jawa. Pengungsi Tionghoa di kamp-kamp pengungsian ada
sekitar 60,000 orang. Menurut Pastor Herman Josef van Hulten dalam buku Hidupku di Antara
Suku Daya: Catatan Seorang Misionaris serta wartawan David Jenkins
dari majalah Far Eastern Economic Review,
minimal 3,000 orang Tionghoa dibunuh pada 1967.
[16] Jamie Davidson
(2002:136-184) dari Universitas Washington
dalam tesis Ph.D, Violence and Politics
in West Kalimantan, Indonesia
[17] Dibaca menantang.
[18] Keadaan darurat, bahasa aparat keamanan.
[20] Selengkapnya lihat, Alpha Amirrachman, 2007:39-40, Revitalisasi
Kearifan Lokal, Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso.
[21] Baca, Akcaya pada 18 November 1995, Majelis Adat
dan seni Budaya Melayu terbentuk di Ketapang.
[22] Lihat Akcaya, April 22, 1997, dibentuk Majelis Adat Budaya
Melayu Kalbar, seterusnya dterbitkan dua artikel di Akcaya yang memberi
sokongan terhadap penubuhan MABM iaitu pada 19 Agustus 1997 dengan tajuk “Demi
bangsa, Negara dan Umat Manusia, Artikel pada 20 Agustus 1997 dengan tajuk ”
Melayu Siapakah dia?. Kedua artikel ditulis oleh DR Chairil Effendi sekarang
Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak.
[23] Penamaan Orde
merujuk kepada sistem yang berlaku
[24] Ketika Suharto dijatuhkan oleh demonstrasi Mahasiswa
tahun 1998, BJ Habibi yang tadinya timbalan presiden diangkat menjadi presiden,
tahun 1999 ketika Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) bersidang, Abdurahman
Wahid (Gusdur) diangkat menjadi Presiden, 2 tahun Gus dur berkuasa beliau
dijatuhkan MPR dan diangkat Megawati
yang sebelumnya timbalan presiden menjadi presiden. Pada Pilihan Raya
tahun 2004 Susilo Bambang Yudoyono terpilih sebagai presiden pertama yang
dipilih secara langsung oleh rakyat.
[25] Putra Daerah adalah penduduk asli setempat, dalam
konteks Kalimantan Barat saat itu yang dianggap penduduk asli ialah etnik Dayak
dengan Melayu.
[26] Hasil penelitian lapangan
LSM Peace building, YPPN, 2006
4 Comments:
memang, jika direfleksikan, bahwa etnis pemerintah yang berkuasa (gubernur/bupati)berpengaruh pada kejayaan etnis tertentu. hal ini mengakibatkan etnis yang lainnya merasa tertekan dan terancam keberadaan mereka, sehingga kondisi emosional etnis bersangkutan cendrung tidak setabil, dan mudah sekali terpancing oleh informasi-informasi yang mengancam mereka. kondisi seprti inilah yang dimanfaatkan oleh kaum elit politik tertentu untuk mengacaukan tatanan pemerintahan yang ada pada saat-saat tertentu, mereka menggunakan etnis yang merasa dirinya terancam, sebagai alat bagi mereka untuk mencapai tujuan politik yang kotor.
Salam dari jiran...
Feel free to visit and follow our humble fishing blog at;
http://www.kakinginti.rumahpanjai.com
Cheer!
terima kasih informasinya.
www.kiostiket.com
Mohon maaf pak kristianus atok
Jika boleh berbagi informasi tentang sejarah pasukan KNIL di kalimantan barat khusus nya daerah anjungan,menjalin(manyalitn),toho, karangan
Didaerah ini terdapat beberapa pillbox (benteng kecil) yang kata nya dibuat oleh knil namun masih kurang jelas tentang kebenaran nya
Jika ada sumber yang bisa ditelaah mohon informasinya
Terima kasih
Adil ka' talino bacuramin ka' saruga basengat ka' jubata
Post a Comment