Sabtu, 31 Mei 2008
(Oleh : Kristianus Atok dan Yulianus, MAR)
Pendahuluan
Terutama setelah terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan etnis pada tahun 1997 dan 1999 hubungan antar kelompok etnis di Kalimantan Barat seperti mengalami kebekuan. Pembicaraan-pembicaraan yang terjadi dalam suatu kelompok yang homogen identitas sosialnya sering mencerminkan sikap-sikap curiga, khawatir dan tidak jarang benci. Dalam kaitan dengan situasi ini, pada tahun 2001 suatu program kegiatan dirancang untuk coba membuka kebekuan ini. Program kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkuat pemahaman antar kelompok etnik di provinsi ini. Ada dua asumsi yang mendasari program kegiatan ini, yakni pertama, pemahaman antar kelompok merupakan faktor utama dalam relasi antar kelompok; baik-buruknya komunikasi yang pada gilirannya menentukan baik-buruknya relasi ditentukan oleh bagaimana kelompok-kelompok memahami satu sama lain. Kedua, dalam konteks peristiwa-peristiwa kekerasan komunal yang melibatkan kelompok-kelompok etnis, tidak semua kelompok terlibat dalam tindak-tindak kekerasan ini. Sebaliknya tidak sedikit kelompok-kelompok yang benar-benar tidak setuju dengan kekerasan dan lebih mengutamakan cara-cara yang “beradab” dalam mengelola kehidupan bersama dengan kelompok lain.
Penguatan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mempunyai kecenderungan anti kekerasan dan kreatif dalam menciptakan mekanisme-mekanisme sosial yang menghindari cara-cara kekerasan kiranya merupakan suatu keharusan dalam menciptakan masyarakat Kalimantan Barat tanpa warna kekerasan di masa depan. Replikasi model-model anti kekerasan mungkin dapat dimulai dengan pertama-tama mengidentifikasi komunitas-komunitas anti kekerasan yang diikuti dengan penelaahan model-model keterhubungan sosial antar kelompok (etnis). Bagi pengalaman (sharing of experience) melalui berbagai cara dan yang melibatkan berbagai kelompok dalam masyarakat di samping pendampingan dan kegiatan-kegiatan penguatan kelompok-kelompok komunitas, penyadaran untuk semua mengenai pentingnya pembuatan-pembuatan kebijakan yang mendorong kultur anti kekerasan selain cara-cara untuk memerangi kultur kekerasan merupakan rangkaian kegiatan atau pekerjaan yang diyakini dapat mendorong terbentuknya masyarakat anti kekerasan.
Tulisan ini merupakan hasil penggalian selama kurang lebih 2 tahun di Desa Retok, Kecamatan Kuala Ambawang B mengenai relasi antara komunitas etnik Madura dan kelompok etnik Dayak di desa tersebut. Komunitas Dayak dan Madura di Desa Retok lebih merupakan komunitas dalam kategori yang lebih mengutamakan cara-cara untuk menghindar dari kekerasan. Diletakkan dalam rangkaian pekerjaan di atas, penelaahan mengenai relasi kelompok-kelompok komunitas Dayak dan Madura di Desa Retok merupakan langkah awal. Untuk pekerjaan yang sejenis, yakni penelaahan atau penelitian, masih bisa diadakan langkah-langkah berikutnya yang bisa merupakan perluasan dan pendalaman. Namun kegiatan penelaahan ini sendiri, yang terwujud dalam tulisan ini dapat juga dijadikan dasar untuk bagi pengalaman, replikasi model-model relasi sosial dan sebagainya.
Metode yang digunakan dalam mempersiapkan tulisan ini adalah metode yang cukup sederhana. Penggalian-penggalian informasi dilakukan melalui berbagai diskusi partisipatif dengan kelompok-kelompok warga dari etnis Madura maupun Dayak. Informasi juga digali dari tokoh-tokoh yang kepemimpinannya diakui oleh orang-orang lokal di wilayah penelitian, yakni di Desa Retok. Hasil-hasil penggalian tersebut didiskusikan dengan berbagai pihak sebelum dijadikan tulisan ini.
Deskripsi Singkat Tentang Retok
A. Geografi
Retok merupakan daerah datar mengikuti lakukan sungai dengan airnya yang khas bercahaya kehitam-hitaman; Sungai Retok. menjadi batas antara wilayah Retok dengan Desa Sungai Sega, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak.
Sungai Retok merupakan urat nadi penduduk dan memiliki fungsi vital bagi penduduk sekitar. Penduduk memanfaatkan sungai ini untuk keperluan mandi, minum, juga cuci dan transportasi. Secara ekologis, sungai ini mempunyai fungsi hidrologis yang vital bagi kawasan Retok. Sejarah dan kesuburan kawasan ini banyak tercermin dalam kegiatan di sungai ini dari dulu hingga sekarang.
Di hulu sungai ini terdapat Sungai Tumanse dan Sungai Ringin yang bermata air di wilayah Kecamatan Mandor. DAS (Daerah Aliran Sungai) Retok bermuara di Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Selain DAS Retok ada banyak anak sungai di wilayah ini di antaranya sungai Sosor, sungai Parompakng, sungai Raso, sungai Saga, sungai Timawakng.
Sungai Retok untuk saat ini merupakan satu-satunya alternatif jalan yang menghubungkan wilayah ini dengan Kota Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Dengan menggunakan kapal motor bermesin 6 silinder dengan daya tampung bisa memuat 300-an orang dan ± 8 ton barang. Saat ini kapal , motor yang beroperasi di sungai Retok – Pontianak (2003) : Karya Indah, Akeng (milik pengusaha Tionghoa), Sinar Jaya, H.Umar (milik pengusaha Madura)”, Budi Jaya, Budi (milik pengusaha Tonghoa), Karena Budi, Akong (milik pengusaha Dayak), dan Dewi Murni, Aau (milik pengusaha Tionghoa). Dengan kondisi geografis seperti ini, Retok sangat tergantung akan transportasi sungai. Di sisi lain situasi ini memudahkan masyarakat Retok untuk medeteksi orang-orang yang keluar-masuk wilayah Retok.
Karakter sungai Retok yang pasang-surut kurang memungkinkan budidaya padi sawah. Penduduk setempat lebih memilih pola perladangan gilir balik. Dalam pola ini tanah perlu diistirahatkan hingga beberapa musim untuk mengembalikan kesuburan tanah. Pertanian dengan sitem ini ini sangat bergantung pada kondisi kesuburan tanah. Padi ditanam terutama untuk konsumsi keluarga; itupun kadang tidak cukup untuk satu tahun.
Sebelum tata hutan rusak, wilayah ini dikenal sebagai penghasil padi yang terutama. Salah satu desa, Kubu Padi masih menghasilkan padi yang melimpah hingga saat ini. Pada masa lampau, kenyataan bahwa daerah ini merupakan penghasil padi mengundang orang-orang luar untuk datang dan menetap di daerah ini.
Akhir-akhir ini fungsi hidrologis Sungai Retok sudah menurun drastis. Pasang naik yang dahulu biasa terjadi pada bulan-bulan November-Desember, pada tahun 2001 terjadi pada bulan Januari. Pada saat musim pasang naik tahun 2001, wilayah Retok tergenang air selama hampir satu pekan, yang memaksa warga berlindung di atas para-para atau mengungsi ke rumah-rumah yang mempunyai dua lantai. Namun ketika musim kemarau datang, air sungai akan sangat dangkal dan mengandung butir-butir lumpur. Jika kondisi ini bertahan lebih dari satu bulan air akan mennjadi payau. Akibatnya banyak ikan air tawar mati.
Ekosistem Sungai Retok terancam oleh maraknya tambang-tambang emas di hulu Sungai Tumanse dan Sungai Ringin di wilayah Mianas, Kecamatan Maondor, Kabupaten Landak. Tidak terkendalinya debit air juga merupakan akibat dari rusaknya tata hutan di hulu. Penebangan kayu di hutan di hulu sungai ini secara drastic menurunkan fungsi hutan sebagai penyeimbang air. Sejak tahun 1980-an hutan Retok ditebangi secara massif dengan beroperasinya perusahan-perusahaan HPH seperti PT Gelora Agung, PT Kota Niaga dan PT Sinar Matahari. Dua di antar Perusahaan-prusahaan tersebut bahkan langsung membuka saw-mill di wilayah Retok.
B. Penduduk
Di Retok terdapat 617 Kepala Keluarga (KK) atau 2995 jiwa. Di desa ini terdapat 656 bangunan fisik yang terdiri dari perumahan warga, termasuk gedung sekolah dasar (4 buah) SLTP (swasta, 1 buah), Madrasah Ibtidaiyah (5 buah), gedung gereja Katolik (2 buah), mesjid 6 buah, taupekong (1 buah), puskesmas (1 buah). Ada dua lokasi pemakaman umum. Komposisi penduduk menurut etnisitas adalah Madura (65 %), Dayak (35 %) dan 5 % lain-lain (Melayu, Tionghoa).
Desa Retok terdiri dari 4 dusun: Dusun Retok Kuala (terdiri dari Kampung-kampung Ampaning Seberang, Pinang Merah, Parit Pak Sutari, Kubu Padi Seberang), Dusun Babante (terdiri dari Kampung Pinang Merah Ujung, Kampung Parit Objek dan Kampung Babante), Dusun Acin (Kampung Acin, Sosor, Parit Tembawang, Parit Objek, Parit Pak Sela dan Takah) serta Dusun Memperigang (Kampung Karang Anyar, Bungaris, Parit H. Hasan, Parit Sampang, Memperigang dan Kampung Penepat).
Pada tahun 1999 Desa Retok bersama-sama dengan Desa Kuala Mandor B, Desa Kuala Mandor A, Desa Sungai Enau dan Desa Kubu Padi membentuk Kecamatan baru, Kecamatan Kuala Mandor B, yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Sungai Ambawang. Desa Retok berbatasan dengan Kecamatan Mandor di sebelah utara, dengan Kecamatan Sebangki di sebelah timur berbatasan, dengan Kubu Padi di sebelah Selatan dan dengan Kecamatan Sungai Ambawang di sebelah barat.
Secara kelembaggan Adat wilayah Retok ini bersama empat desa lainnya yang termasuk dalam Kecamatan Kuala Mandor B masuk Binua Jalur Utara dengan dikepalai oleh seorang Timanggong berpusat di kampung Babante yang di bentuk tahun 1997, bersama-sama dengan wilayah Ambawang Binua Jalur Tengah dan Ambawang Simpang Kanan Binua Jalur Kiri, dengan di dasarkan pada sub-group wilayah terdiri dari kampung-kampung yang membentuk binua.
C. Ekonomi
Ekonomi Penduduk Retok sedikit banyak tergantung dari hasil alam dan budidaya lokal. Karet dari perkebunan rakyat merupakan salah satu andalan. Produksi rata-rata petani karet berkisar antar 4 - 5 kilogram lateks per hari. Hasil dari karet biasanya untuk memenuhi kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako). Hingga akhir tahun 2003, harga pasaran lokal Rp. 3. 500 per kilogram lateks. Produk pertanian seperti padi, jagung, nanas, keladi, ubi kayu, ubi jalar, nangka, rambuatan, jahe dihasilkan di kawasan-kawasan yang datarannya agak tinggi dan biiasanya dibudidayakan terutama oleh orang-orang Madura. Petani Dayak biasanya memproduksi padi. Pilihan usaha yang menggiurkan namun hanya beberapa penduduk yang mengusahakan adalah di bidang perambahan hutan dengan menebang kayu, karena selain harus dengan modal yang cukup besar juga penuh dengan resiko. Selain berisiko, usaha ini tata hutan yang sangat penting sebagai penjaga keseimbangan alam. Saat ini terdapat ± 3 buah saw-mill mini di sepanjang aliran sungai Retok.
Di wilayah ini termasuk sulit untuk berkebun sayur, kondisi pasang yang tidak menentu dan cenderung menengelamkan sebagian besar wilayah Retok ini sangat tidak memungkinkan untuk berkebun. Usaha ternak yang ada seperti ternak Babi dan Ayam, sapi dan Kambing. Sementara kalau di lihat dari usaha-usaha penduduk sebenarnya sangat beragam, mulai dari guru sekolah dasar negeri (PNS), guru swasta pada SMP swasta Titi Raya, beberapa orang kerja pada jasa angkutan kapal motor trayek Retok-Pontianak, beberapa KK yang membuka toko kelontong serta menampung juga lateks untuk selanjutnya menjualnya pada taoke (penampung yang lebih besar sebagian besar tionghua) dan sebagaian besar mengantungkan hidupnya pada bidang pertanian dan hasil hutan.
D. Pemukiman
Retok sendiri sebenarnya adalah wilayah yang cukup sempit, karena sudah dihimpit oleh masing-masing sungai Retok yang berbatasan dengan Kabupaten landak serta sungai Kubu Padi yang berbatasan dengan wilayah Kubu Padi. Ini mengharuskan warga Retok terutama masyarakat Dayak untuk memperluas lahan pada wilayah yang lebih kehulu terutama demi keperluan lahan bercocok tanam - berladang, pada siklus pertanian tiba biasanya di hitung dengan bulan China atau kira-kira bulan juli tahun komariah penduduk dari kampung Memperigang, Acin dan Babante sudah mulai mudik kehulu membuka lahan-lahan untuk berladang mereka bekerja secara berkelompok-kelompok yang terdiri dari 5-8 orang setiap kelompoknya, wilayah yang di tuju adalah kampong memperigang dan takah yang di tempuh dengan menggunakan sampan ± 5 jam kearah hulu dengan menggunakan sampan. Di lahan-lahan untuk ladang ini mereka membangun pondok untuk menginap biasanya bergilir dari 4-5 hari bahkan hitungan minggu baru pulang ke kampung masing-masing kembali. Untuk mengatasi sempitnya lahan di masa-masa yang akan datang di wilayah Retok sendiri paling tidak saat ini ada dua kelompok tani yang membuka lahan ke hulu sungai Retok maupun ke wilayah seberang yang masuk daerah Kecamatan Sebangki, kelompok-kelompok ini terdiri dari seratusan orang lebih baik suku Dayak maupun Madura salah satu kelompok tani yang sangat aktif membuka lahan adalah kelompok tani PERMADA (persatuan Madura Dayak).
Bila diamati pola pemukiman penduduk di Retok didominasi berdasarkan kelompok – kelompok Etnis. Etnis Dayak lebih memilih pemukiman di sepanjang tepian Sungai ini sangat terkait dengan asal mula kedatangan orang- orang Dayak di wilayah Retok hingga sekarang. Sementara Etnis Madura lebih memilih membangun pemukiman dengan memotong arah DAS dan membangun parit-parit serta jalan untuk menghubungkan kampung-kampung mereka.
E. Sejarah
Dari penelusuran silsilah keluarga-keluarga orang Dayak tersingkap pemukiman komunitas Dayak di wilayah ini telah dimulai pada pertengahan hingga akhir abad ke-19. Salah seorang pemimpin rombongan pemukim awal, Ne’ Ngampekng diperkirakan telah berada di tempat ini pada tahun 1880-an. Rombongan Ne’ Isong bahkan diperkirakan datang terlebih dahulu, yaitu di tahun 1860. Rombongan-rombongan yang datang dan kemudian menetap di Retok diperkirakan dari berbagai tempat di wilayah Kabupaten Landak sekarang. Salah seorang penutur, Pak Satir (75 tahun, tinggal di Retok Sosor) pada pergantian abad yang lalu tiga orang bersaudara, Ne’ Said, Ne’ Nyabut dan Ne’ Molah, datang dari daerah Manyuke dan menetap di Retok. Pemukiman dan perladangan ketiga pendahulu ini sekarang menjadi timawakng (tembawang) yang dikenal orang setempat sebagai Kadiaman. Rombongan lain yang bergabung di lokasi yang dibuka oleh Ne’ Said, Ne’ Nyabut dan Ne Molah adalah rombongan Ne’ Jaya Lenang.
Hasanuddin (2000) menyebutkan bahwa pada awal berdirinya Kota Pontianak “Sultan ..menetapkan kebijakan bahwa orang-orang Dayak diberi Kebebasan mendirikan daerah pemukiman di sebeleh utara keratin yang letaknya di daerah sepanjang Sungai Ambawang…(hal. 32)” dan “…mereka bermukim dan membuat perkebunan di sekitar Sungai Ambawang seperti Kuala Ambawang, Pancaroba, Puguk, Retok, Lingga dan sebagainya (hal. 28)” Jatuhnya kerajaan-kerajaan Sambas, Sukadana, Kubu dan Sintang ke tangan Belanda pada abad ke-19 menyebabkan bergesernya kegiatan perdagangan ke Pontianak. Karet diperkenalkan pada masa itu. Damar dari berbagai getah pohon kayu juga merupakan komoditas. Salah satu penarik kelompok-kelompok orang Dayak yang datang ke daerah Retok adalah untuk mengusahakan komoditas-komoditas ini selain membuka lahan perladangan baru.
Tahapan kegiatan perladangan adalah proses penting bagi terbentuknya wilayah Retok saat ini. Perladangan dimulai dengan penebangan dan pembakaran (land clearing). Karena persoalan lapisan kesuburan tanah yang tipis, padi biasanya ditanam untuk satu musim. Setelah padi dipanen berbagai tanaman, dari sayur-sayuran, umbi-umbian hingga buah-buahan yang berkayu keras ditanam. Setelah itu lahan diisitirahatkan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Pohon-pohon kayu yang tumbuh dan nantinya (setelah 5 tahun atau lebih) dibakar. Abunya merupakan penguraian dari zat-zat hara yang memberi kesuburan bagi padi. Bekas lading padi yang ditanami pohon buah-buahan dan tidak ditebang lagi inilah yang kemudian dinamakan tembawang (lokal: timawakng). Tembawang dan perladangan merupakan cermin pengelolaan lahan dan hutan yang lestari yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak. Bekas ladang padi tidak selalu dijadikan tembawang. Bekas ladang bisa ditanami karet dan menjadi kebun karet.
Tembawang merupakan salah satu simbol kepemilikan-pengelolaan lahan. Tembawang dimiliki oleh satu kelompok keturunan. Selain tembawang, pemilikan lahan tercermin pada pengelolaan kebun karet. Kebun karet ini juga tidak dapat dilepaskan dari siklus perladangan. Pergantian generasi membuat kelompok keturunan tersebut cenderung melebar dan menjadi komunitas kampung. Di Retok penyebaran komunitas Dayak seiring dengan penyebaran lokasi tembawang. Kampung-kampung Sosor, Acin, Memperigang dan Babante dimulai dengan keberadaan tembawang-tembawang dan kebun-kebun karet yang terintegrasi dengan sistem perladangan.
Pengetahuan bahwa daerah ini memiliki potensi ekonomi tersebar luas karena kawasan ini merupakan jalur lalu lintas utama. Hal ini menyebabkan lebih banyak lagi orang datang dan menetap di daerah ini.
Retok berada pada batas antara kawasan yang dikuasai Kesultanan Pontianak dan Kesultanan Landak. Orang-orang Dayak pada waktu itu membuka lahan pada kedua wilayah. Ketika orang-orang Dayak kemudian dilarang untuk membuka lahan dan bermukim di wilayah Kesultanan Landak, lahan-lahan yang telah dibuka ini ditinggalkan. Lahan-lahan yang ditinggalkan di (dahulu) wilayah Kesultanan Landak ini yang kemudian dikelola oleh orang-orang Madura yang berdatangan ke wilayah ini kemudian.
Kata “retok” menurut penuturan Pak Darus (usia 60 tahun tinggal di Retok Acin saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Retok) diambil dari kata batotok-totok dalam bahasa Dayak Ba’ahe (sering disebut juga Kanayatn atau Kendayan) yang artinya berkumpul.
Keberadaan komunitas Madura di wilayah ini diawali dengan datangnya beberapa orang Madura yang datang dan bekerja di kebun-kebun karet milik orang Dayak. Salah satu spesialisasi pekerja Madura ini adalah membuat parit, yang sangat diperlukan di perkebunan di daerah rendah. Pak Satir merupakan salah seorang yang masih ingat nama-nama orang-orang Madura yang mula-mula datang dan bekerja di kebun Ne’ Said bersaudara. Orang-orang ini merupakan cikal bakal komunitas Madura di Retok.
Sebagian dari anggota komunitas Madura di Retok pada awalnya datang langsung dari Pulau Madura. Ada juga yang Sebelum menetap di Retok terlebih dahulu tinggal di tempat-tempat lain seperti Sungi Ambawang, Teluk Pakedai dan sebagainya. Kekerabatan yang erat yang tercermin dalam istilah teretan (keluarga dekat, mesti dilindungi), mempercepat pertambahan jumlah anggota komunitas Madura di wilayah ini. Kalau komunitas Dayak, yang datang ke tempat ini pada abad ke 19 mengembangkan 4 kampung (Babante, Acin, Sosor, dan Memperigang), komunitas Madura yang paling awal datang pada tahun 1920-an telah mengembangkan 8 kampung (Pinang Merah, Parit Pak Sutari, Parit Objek, Parit Tembawang, Parit Pak Sela, Karang Anyar, Parit H.Hasan, dan Parit Sampang).
Bagaimana Komunitas Dayak dan Madura Mengelola Relasi Sosial Mereka di Retok
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, komunitas Dayak dan Madura di Retok telah bersama-sama selama kurang lebih 80 tahun (kedatangan para pemukim awal dari Madura ke Retok terjadi pada tahun 1920-an). Hal yang menarik adalah bahwa sementara kedua komunitas di tempat-tempat lain pada kurun waktu yang sama telah mengalami peristiwa-peristiwa kekerasan komunal beberapa kali, komunitas yang sama di Retok boleh dikatakan tidak pernah terpengaruh untuk melakukan tindak-tindak kekerasan kolektif antar komunitas.
Sub-sub bagian pada bagian ini tidak akan menjelaskan mengapa hal itu terjadi, namun lebih mendeskripsikan bagaimana kedua komunitas tersebut menghingari hal-hal yang dapat mengakibatkan situasi kekerasan yang menghadapkan kedua komunitas tersebut.
A. Komunitas Dayak, Madura dan Adat
Seperti pada komunitas Dayak di tempat lain, pada komunitas Dayak di Retok ekonomi (produksi dan distribusi), sosial (bagaimana kehidupan bersama diatur) dan religi (hal-hal yang bersifat filosofis dan spiritual yang mendasari segi kehidupan yang lain) dikelola dalam suatu sistem yang disebut adat. Adat mewujud baik dalam ritual-ritual, dalam pranata sosial (yang sering disebut hukum adat) dan dalam pandangan-pandangan yang mendasar yang diyakini masyarakat yang bersangkutan mengenai mana yang baik dan tidak baik, mana yang benar dan tidak benar (nilai-nilai). Komunitas Dayak di Retok merupakan kelompok linguistik yang biasa disebut “Dayak Ahe” atau “Dayak Kanayatn.” Pada masyarakat Dayak ini sistem religi tercermin dalam tradisi-tradisi lisan yang antara lain mengisahkan bagaimana adat diturunkan dari Ne’ Jubata kepada manusia (talino) di dapuk damparatn melalui Ne’ Ramaga dan Ne’ Dara Irakng. Ia nurunkan ke Ne’ Taguh dan Ne’ Matas yang mengatur adat manusia mengenai yang baik maupun yang buruk.
Ritual adat merupakan salah satu cermin bahwa keyakinan yang terungkap dalam doa-doa ritual maupun nilai-nilai yang tersirat masih dipegang oleh masyarakat yang melaksanakan ritual tersebut. Pada komunitas Dayak di Retok ritual-ritual adat masih secara teratur dilaksanakan. Pada tanggal 7 - 9 Juli 2003, misalnya, komunitas Dayak di Retok mengadakan adat balala nagari. Secara genealogis, adat yang dipakai oleh komunitas Dayak di Retok adalah Adat Talaga. Adat Talaga ini merupakan adat yang dipraktekkan komunitas-komunitas Dayak yang tersebar di Kecamatan Sengah Temila dan Sebangki. Hingga kini komunitas Dayak di Retok masih mempraktekkan ritual-ritual batalah ritual-ritual untuk orang meninggal, babore, tampukng tawar,roah padi, dan ritual-ritual yang dilaksanakan di Kadiaman.
Sistem sosial terangkum dalam apa yang biasa disebut sebagai hukum adat. Inti dari hukum adat ini sebenarnya adalah keseimbangan dalam hubungan antar manusia, keseimbangan antara manusia dengan alam dan keseimbangan antara manusia dengan Sang Pencipta (Jubata). Perilaku manusia yang merusak keseimbangan dipercaya akan mengotori alam semesta (kampung, binua) sehingga harus dibersihkan. Untuk membersihkannya harus dilaksanakan ritual-ritual. Karena keseimbangan adalah hal yang suci, maka untuk menebusnya manusia harus menunjukkan niat untuk berkorban dan menyesal. Niat untuk berkorban dan menyesal untuk membersihkan kembali alam semesta sehingga keseimbangan terjadi lagi harus ditunjukkan oleh k-pihak yang ikut ambil bagian dalam perusakan keseimbangan ini dengan mentaati “sanksi adat”. Hal-hal yang dianggap merusak keseimbangan ini adalah tindak-tindak kejahatan, kelalaian dan semua hal yang menyebabkan keluarnya darah manusia.
Sanksi adat sangat bergantung pada ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di wilayah setempat. Di Retok ketentuan-ketentuan tersebut mengacu pada Adat Talaga yang disebutkan di atas. Prosedur pengenaan sanksi adat dilaksanakan oleh pengurus-pengurus adat. Prosedur yang dilakukan di Retok dalam pengenaan sanksi tersebut melweati tahapan-tahapan:
• Mengumpulkan masyarakat setempat dalam suatu tempat/rumah untuk membicarakan permasalahan yang di hadapi
• Masalah-masalah yang di hadapi di diskusikan dalam pertemuan Adat (bahaupm)
• Memberikan kesempatan pada pihak keluarga maupun waris serta masyarakat memberikan ide serta pendapatnya terhadap permasalahan tersebut
• Menyaring ide dan gagasan dari para pihak
• Mengambil kesimpulan akhir
• Melaksanakan hasil keputusan sesuai dengan ketentuan Adat .
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa komunitas Madura di Retok mempunyai kecenderungan memahami sistem adat komunitas Dayak. Pemahaman tersebut nampak dalam partisipasi komunitas Madura di Retok dalam penyelesaian berbagai kasus secara adat. Berikut adalah contoh-contoh kasus tersebut.
• Kasus Pak Celeng. Peristiwa ini sebenarnya berawal di Kecamatan Sengah Temila terjadi tahun 1995. Pak Celeng (orang Madura) menyeberang ke sungai Retok untuk melarikan diri ke Desa Kubu padi lewat Kampung Parit Tembawang. Di kampung inilah terjadi kasus perkelahian. Karena kasus ini terjadi di wilayah Retok maka para pihak yang bertikai di tuntut adat untuk membersihkan kampung dari kemungkinan-kemungkinan jahat yang terjadi. Adat yang harus di bayar oleh kelompok yang bertikai ini adat bayar nahar karena mengotori kampung (mengeluarkan darah akibat perkelahian), nyimah tanah membuang segala hal-hal yang jahat. Pihak orang Madura yang terlibat perkelahian ini mengeluarkan peraga adat berupa tempayan bertutup mangkuk bajilah besi di pasang pada lokasi kejadian perkelahian, alat peraga lengkap (babi, ayam, sakapur sirih, sajian). Timanggong Binua mengeluarkan surat pernyataan tertulis pada ke dua pihak yang bertikai untuk tidak membu
• Kasus Aban – Saleh. Peristiwa ini berawal dari kasus saling mencurigai antara Aban (Dayak) dan Saleh (Madura) karena persoalan karet. Mereka telah saling mengintai. Aban dikeroyok oleh Saleh dan teman-temannya di Parit Objek. Ini terjadi pada tahun 1996. Karena peristiwa ini massa dari Kampung Babante dan Kubu Padi ingin menyerang Saleh. Namun hal ini bisa dicegah. Warga melaporkan hal ini ke Danramil dan Kapolsek Sungai Ambawang. Tetua adat juga bergerak. Saleh menghadapi tuntutan dari waris Aban dan harus mengeluarkan adat untuk melaksanakan nyimah tanah adat bayar nahar. Peraga yang di keluarkan : tempayan bertutup mangkuk bajilah besi di pasang pada lokasi kejadian pengeroyokan, alat peraga lengkap (babi, ayam, sakapur sirih, sajian).
• Kasus Ibu Mahmud – Heri. Peristiwa terjadi pada tahun 1996 di Parit Haji Hasan. Ibu Mahmud (Madura) terlibat pertengkaran mulut dengan Heri (Madura). Insiden seperti ini dipercaya mengganggu harmoni. Mereka yang bertengkar dikenai sanksi adat. Peraga adat yang harus dikeluarkan oleh kedua pihakdi keluarkan Satu Siam (capa’ molot) alat peraga lengkap (tujuh piring sebuah mangkuk, babi, ayam, sakapur sirih, sajian).
• Kasus Perampokan. Pada tahun 1997, saat terjadi peristiwa kekerasan antar etnis di Sanggau Ledo, Pak Alin dirampok di Kubu Padi tahun. Pak Aban diserang oleh perampok hingga meninggal. Salah seorang perampok tewas dihajar massa. Binua menjatuhkan sangsi adat di lokasi kejadian. Maksudnya adalah supaya kejadian ini tidak melebar lebih luas lagi. Selanjutnya ritual adat juga dilakukan di panyugu (tempak khusus mengadakan ritual) di Kadiaman. Ritual adat yang dilaksanakan adalah adat ngantor ai’ tanah, selamatan agar pama ai’ tanah melindungi Kampung Retok dari niat jahat yang mengancam. Ritual di panyugu ini di hadiri oleh masyarakat Madura dengan bersama-sama melakukan doa.
B. Bagaimana Kedua Komunitas Saling Menyesuaikan Diri
Di Retok hampir semua orang Madura bisa mengerti Bahasa Dayak Ba’ahe dan sebagian besar orang Dayak bisa mengerti Bahasa Madura. Sebagian orang Madura belajar Bahasa Ba’ahe sewaktu mereka masih bersekolah di sekolah dasar. Murid-murid sekolah-sekolah negeri di Retok terdiri dari anak-anak dari komunitas Dayak maupun Madura. Anak-anak dari kedua komunitas ini belajar bahasa masing-masing dalam pergaulan mereka di sekolah. Guru dari kedua komunitas pada umumnya bisa berbicara bahasa temannya; guru Dayak bisa berbahasa Madura dan guru Madura bisa berbahasa Ba’ahe. Kaum pedagang Madura belajar Bahasa Ba’ahe dalam interaksi langsung mereka dengan pembeli atau orang-orang di pasar pada umumnya.
Hal menarik lain mengenai komunitas Madura dalam hal kehidupan sosial politik di Retok adalah bahwa meskipun dalam hal jumlah mereka lebih besar, mereka tidak berambisi untuk memegang kepemimpinan di tingkat desa. Sejak pemilihan kepala desa pada tahun 1972, komunitas Madura di Retok menyerahkan kepemimpinan desa kepada orang Dayak. Padahal, kalau dihitung jumlah, calon kepala desa orang Madura sudah pasti akan menang meski hanya didukung oleh pemilih orang Madura saja.
C. Bagaimana Kedua Komunitas di Retok Melakukan Upaya-upaya Preventif
Setiap kali warga Retok merasakan situasi tidak aman, mereka melakukan ronda malam bersama. Hal ini terjadi pada tahun 1997 dan 1999. Mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada perkelahian-perkelahian antar etnik pada tahun-tahun sebelumnya, ronda malam di Retok dilakukan secara silang. Warga Kampung Sosor (Dayak) melakukan penjagaan di Kampung Retok-Parit Tembawang (Madura) dan sebaliknya warga Retok-Parit Tembawang menjaga Kampung Retok Sosor.
Penjagaan kampung secara silang ini biasanya dikuatkan dengan upaya penjagaan yang dilakukan secara religio-magis. Dalam adat orang Dayak, memasang tempayan pamabakng, yang didasari upacara adat dan pembacaan-pembacaan doa adat dan dilakukan atas kesepakatan tua-tua adat berdasarkan pembacaan gejala-gejala alam, dipercaya dapat menghindarkan kampung dari bala yang datang dari luar yang berniat jahat terhadap orang di kampung yang bersangkutan. Pada tahun 1983 pada saat peristiwa terbunuhnya Guru Jaelani (Dayak) di Sungai Enai oleh orang Madura, warga Retok, baik orang Dayak maupun orang Madura mengadakan upacara pemasangan tempayan pamabakng dengan harapan kelompok manapun yang ingin memanfaatkan situasi dengan menyerang warga Retok akan mengurungkan niatnya karena akan melihat tanda-tanda alam (rasi) yang muncul akibat pengaruh pemasangan adat pamabakng ini. Bagaimanapun penyerangan ke Retok baik terhadap kampung orang Madura maupun kampung orang Dayak tidak pernah terjadi hingga saat ini.
Dalam khasanah adat komunitas Dayak terdapat ritual yag dinamakan tolak bala nyimah tanah. Ritual ini biasanya diadakan untuk mencegah / menolak segala musibah / bencana yang tidak di inginkan . Ritual ini di adakan terutama bila ada warga Dayak yang tertimpa musibah secara mendadak hingga meninggal. Pada tanggal 13 Oktober tahun 2002 yang lalu ritual ini dilaksanakan, dan dalam suatu kesepakatan kampung yang diadakan tidak lama setelah itu warga Dayak maupun Madura bersepakatan bahwa ritual ini akan diadakan secara rutin setiap tahun, tiap-tiap tanggal 13 Oktober yang melibatkan semua unsur masyarakat di wilayah Retok.
Selain tolak bala nyimah tanah, dalam kalender pertanian komunitas Dayak Ba’ahe terdapat upacara adat yang dinamakan balala nagari. Ritual ini diadakan secara rutin sebagai permohonan keselamatan dengan melakukan pantang keluar dari kampung dan melakukan kegiatan kerja dan kegiatan yang dapat berimplikasi pada keluarnya darah suatu makhluk (menyembelih binatang, dsb). Tahun lalu balala nagari dilaksanakan pada tanggal 07 sampai dengan 09 Juli 2003. Aturan yang muncul sebagai implikasi dari pelaksanaan ritual adat ini (misalnya larangan untuk tidak meninggalkan kampung, orang dari luar kampung untuk tidak memasuki kampung selama pelaksanaan ritual, dsb) juga diikuti oleh komunitas Madura.
Masyarakat Madura dan Dayak di Retok sebenarnya memiliki suatu pengalaman traumatik dalam sejarah relasi sosial mereka. Pada tahun 1983, seorang guru warga Retok bernama Jaelani (Dayak) terbunuh oleh orang Madura. Pada tahun tersebut di kampung-kampung lain orang Madura dan orang Dayak sedang terlibat dalam tindak kekerasan antar kelompok etnis. Namun Guru Jaelani tidak dibunuh oleh orang Madura Retok melainkan oleh orang Madura dari Desa Sungai Enau yang terletak di seberang Sungai Retok dan berjarak tempuh kurang lebih 30 menit dari Retok. Peristiwa pembunuhan tersebut dapat diselesaikan melalui adat (pembunuh harus membayar denda adat yang cukup besar karena telah menghilangkan nyawa orang untuk mengembalikan keseimbangan alam). Setelah peristiwa tersebut warga Madura di Retok sepakat untuk “memfilter” orang Madura dari manapun yang ingin bergabung dengan mereka di Retok. Orang-orang yang menurut penilaian dan rekomendasi dari pihak-pihak dalam komunitas Madura termasuk “sulit dikendalikan” atau orang-orang terpelajar dari kelompok “garis keras” tidak akan diterima untuk bergabung dengan orang-orang Madura yang telah lama tinggal di Retok.
Pelajaran yang Dapat Dipetik
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari bagaimana komunitas Dayak dan komunitas Madura mengelola relasi sosial mereka di Retok? Salah satu pertanyaan yang menarik untuk ditanyakan adalah mengapa selama lebih dari 80 tahun komunitas Madura dan Dayak di Retok bisa bersama-sama tanpa suatu insiden yang berarti?
Satu hal yang jelas adalah bahwa kedua komunitas telah bersama-sama selama lebih dari 80 tahun. Kurun waktu tersebut cukup panjang bagi kedua komunitas untuk saling mengenal. Bagaimana orang-orang Madura pandai berbahasa Ba’ahe, orang-orang Dayak bisa memahami bahasa Madura; bagaimana komunitas Madura berpartisipasi dalam ritual adat maupun dalam menegakkan kampung dalam pandangan adat (antara lain dengan menjalankan sanksi jika memang melakukan pelanggaran menurut norma adat); bagaimana komunitas Dayak maupun komunitas Madura mempunyai inisiatif untuk mengambil langkah-langkah preventif agar tidak terjadi konflik dengan kekerasan di antara kedua komunitas tersebut menunjukkan bahwa kedua komunitas sudah saling mengenal.Tetapi apakah saling kenal merupakan satu-satunya faktor yang mendorong kedua komunitas tidak berkonflik? Kalau kita perhatikan bagian 3 dalam tulisan ini, kasus-kasus yang dicoba diselesaikan oleh kedua komunitas tidak mencerminkan adanya “perebutan” dalam hal mendapatkan resources ekonomi. Kalaupun ada orang berkelahi karena karet, hal itu lebih merupakan relasi antar individual. Secara kolektif, resources dapat diusahakan bersama (perluasan lahan dilakukan melalui kelompok PERMADA—lihat bagian 2). Artinya, bagi masyarakat Retok di mana kepentingan ekonomi dapat dipenuhi secara damai, mengapa harus berkonflik? Justru yang nampaknya terjadi adalah bagaimana konflik dapat ditekan supaya kepentingan ekonomi dapat langgeng, dapat berterusan.
Paling tidak dua hal ini, yakni keadaan di mana komunitas Dayak dan Madura di Retok sudah saling mengenal dan keadaan di mana kedua komunitas dapat memenuhi kepentingan ekonomi mereka tanpa harus “berebut” merupakan hal-hal yang menggaris bawahi mengapa kedua komunitas tidak mempunyai sejarah tindak kekerasan antara yang satu dan yang lain. Kedua komunitas bahkan nampak saling mendukung.
Menarik untuk menjadikan apa yang telah diusahakan oleh komunitas Madura dan Dayak di Retok sebagai inspirasi bagi kita semua dalam melihat dan menyikapi situasi-situasi di mana dua komunitas atau lebih yang berbeda etnisitas berada pada geografi yang sama. Bagi para penentu kebijakan, apa yang terjadi di Retok mudah-mudahan dapat menjadi referensi maupun referensi untuk memperhitungkan kecenderungan-kecenderungan sosial pada komunitas-komunitas lain yang mempunyai cirri-ciri yang hampir sama.