Terimakasih telah bertandang ke Situs ini

BEDA PARADIGMA TATAGUNA LAHAN KAMPUNG DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK INVESTASI PERKEBUNAN

Jumat, 04 April 2008


OLEH : IR. KRISTIANUS ATOK

PENGANTAR
Pengelolaan sumberdaya yang dibutuhkan banyak orang, memerlukan pengaturan. Pengaturan dibutuhkan untuk menghindari terjadinya perilaku pemanfaatan yang berlebih-lebihan dan persaingan yang tidak sehat dalam memperebutkan akses pada sumberdaya tersebut, sehingga dapat mempercepat kerusakan bahkan kepunahan sumberdaya yang bersangkutan.
Pengaturan sumberdaya selama ini,baik dalam konsep maupun praktik,didominasi oleh pandangan yang ekstrim bahwa pengaturan itu di lakukan oleh negara atau pasar. Pengaturan oleh negara sering membatasi akses pada sumberdaya begitu besar selain juga menimpakan tanggungjawab
tunggal berkenaan dengan kelestarian sumberdaya itu kepada negara.Pengaturan oleh pasar membuka akses pada sumberdaya kepada siapapun selebar-lebarnya disertai persaingan yang ketat untuk memperebutkan akses itu,tetapi tidak dapat membebankan tanggungjawab pelestarian sumberdaya kepada pelaku-pelaku pasar.Pandangan tersebut diatas tidak dapat lagi dipertahankan karena kegagalan-kegagalan yang ditimbulkan oleh negara ataupun pasar. Negara, selama ini lebih banyak menjalankan peran sebagai pengatur akses tetapi tidak mampu memikul seluruh tanggungjawab atas kelestarian sumberdaya.Sedangkan pasar banyak menimbulkan persaingan tidak sehat dalam perebutan sumberdaya dan telah menindas kelompok-kelompok masyarakat lokal yang semestinya menjadi pewaris dari sumberdaya tersebut.
Dengan demikian diperlukan konsep baru berkenaan dengan pengaturan sumberdaya ini.Konsep yang diperlukan tentunya adalah konsep yang dapat menampung kebutuhan untuk, pertama, membagi tanggungjawab atas kelestarian sumberdaya secara proporsional; kedua,membatasi persaingan yang liar dan tidak manusiawi dalam perebutan sumberdaya dengan memberikan perlindungan pada masyarakat local yang hidup di tengah sumberdaya serta sangat bergantung kehidupannya pada sumberdaya tersebut.
Konsep pengaturan sumberdaya perlu didasarkan pada asumsi bahwa sekumpulan orang mempunyai kemampuan membuat pengaturan tentang tertib kehidupan sosialnya dengan cara apapun.Dalam konteks pengelolaan sumberdaya maka asumsi itu menjadi “ pengguna-pengguna sumberdaya mempunyai kemampuan mengorganisasikan diri dan membuat pengaturan-pengaturan berkenaan dengan hak dan kewajiban atas sumberdaya bagi kelompoknya atau orang-orang lain diluar kelompoknya ”.
Berangkat pada kedua hal tersebut diatas maka tulisan ini dibuat untuk, pertama,merefleksikan sejumlah kebijakan yang diperlukan untuk menciptakan pondasi kesejahteraan rakyat; kedua, merefleksikan fakta sosial-ekonomi masyarakat desa. ketiga, mendiskusikan model bangunan pondasi kebijakan di kabupaten Landak yang saling menguntungkan.

Perumusan Masalah
Praksis pembangunan kehutanan telah melahirkan berbagai persoalan yang mengejawantah dalam bentuk kerusakan lingkungan, matinya tatanan kelembagaan lokal, dan tingginya konflik sosial. Akar pokok permasalahannya terletak pada tataran kebijakan, dan cara pandang pembangunan kehutanan yang menganut hutan sebagai milik negara dan milik swasta.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir konflik, berbagai pihak terkait terutama Pemerintah, swasta dan Masyarakat perlu membangun persepsi yang sama dengan menghormati azaz kesetaraan untuk keuntungan bersama dan menjaga kelestarian .Diperlukan perubahan cara pandang, yaitu ke arah transisi hutan rakyat (community property). Namun dalam tataran realitas implementasi cara pandang baru tersebut tidak senantiasa mudah dilakukan. Sebagai contoh sejauhmana antara golongan/lapisan sosial yang ada di lingkungan masyarakat lokal memiliki persepsi yang sama atas peta mental (mental map) mereka. Demikian pula dengan peta mental warga masyarakat lokal antar teritori (misal: antar dusun, antar kampung, atau antar desa) yang belum tentu sejajar atau bahkan tumpang tindih satu sama lain. Hal yang sama juga akan dijumpai apabila hukum formal negara dan hukum adat saling diperhadapkan, dan sebagainya.


Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
Sebagai masukan bagi pemerintah dan stakeholders terkait lainnya dalam bentuk informasi mengenai hak-hak tenurial kelompok-kelompok masyarakat lokal di Landak.
Masukan bagi pemerintah dan stakeholders terkait lainnya dalam memahami, menyikapi, serta merumuskan kebijakan dan model pengelolaan hutan yang berbasis pada kepenguasaan masyarakat local dengan meminimalisir derajad konflik..

POKOK PERSOALAN
A. Fakta Sosial Ekonomi Masyarakat terkait Tata guna Lahan Kampung
1. SDM masih kurang
2. Pengelolaan Hutan tidak berorientasi keberlanjutan
3. Kemampuan masyarakat mengelola SDA kurang
4. Lapangan kerja masih terbatas
5. Lahan Pertanian semakin terbatas
6. Produksi pertanian rengah
7. Sumber-sumber ekonomi pedesaan digaraf oleh pihak luar yang manfaatnya sedikit bagi komunitas setempat
8. Sumber keuangan daerah sangat terbatas
9. Perdagangan kayu illegal merugikan daerah
10. PETI tidak terkendali
11. Pendangkalan sungai telah merusak ekosistem sungai
12. Polusi sungai yang meningkat telah merusak kehidupan ikan.
13. Kehidupan multi etnis tidak harmonis
14. Pemberdayaan bagi para petani di pedesaan dilakukan setengah hati
15. Penanganan Bencana Banjir yang terjadi setiap tahunnya tidak mendapat perhatian serius Pemerintah.

BAGAIMANA MASYARAKAT MENGELOLA SDA SAAT INI ?

Pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal itu adalah sistem yang berasal dari komunitas 'asli' itu sendiri. Temuan-temuan studi yang makin banyak dilakukan menunjukkan bahwa komunitas hutan ini secara turun-temurun telah mengelola hutan secara berkelanjutan melalui sistem yang sesungguhnya dijalankan dalam stereotipe yang disebut sebagai naluri 'kearifan alam' (noble savage) untuk hidup harmonis dan saling bergantung dengan ekosistem sekitarnya.
Karakteristik pengelolaan hutan berbasis hak kepenguasaan komunitas lokal tentu saja sering berbeda dengan konsep-konsep kepemilikan di Barat yang umumnya berdasarkan pada hak-hak yang diciptakan negara, sehingga bersifat pribadi atau individu. Pada komunitas lokal di sekitar hutan hak kepenguasaan ini mencakup hak-hak individu dan kelompok dan biasanya berasal dari hubungan-hubungan yang sudah terjalin lama antara komunitas setempat dan sumberdaya alam darimana mereka memperoleh kehidupannya. Tidak seperti hak kepenguasaan individual yang diatur pemerintah, hak kepenguasaan komunitas lokal seringkali diturunkan dari suatu keyakinan bahwa generasi saat ini dipercaya untuk menguasai sumberdaya alam, termasuk hutan, demi generasi yang akan datang. Karenanya hak-hak istimewa individu tetap harus tunduk pada hak-hak komunitas.
Berdasar pada hasil pemetaan (Atok, 2000) mendeskripsikan bahwa masyarakat hukum adat di Landak mempunyai suatu sistem tenurial tradisional dimana termasuk didalamnya konsep tata ruang wilayah. Konsep tersebut pada masyarakat adat Dayak Kanayant dikenal sebagai Palasar palaya’, yang didasarkan atas batas-batas teritorial pengelolaan sumberdaya alam pada suatu kampung. Konsep Palasar Palaya’ memadukan secara seimbang antara tanah dan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia, dan juga pengelolaan sumberdaya alam yang selaras dengan daya dukung alam pada lingkungan komunal suatu masyarakat. Fungsi-fungsi lahan dalam konsep Palasar Palaya’ meliputi tanah keramat, daerah tempat berburu (hutan adat), daerah tempat berladang, daerah tempat bersawah, daerah perkebunan rakyat (karet, tengkawang, buah-buahan) dan cagar budaya (tembawang). Bila dilihat dari sudut pandang tata ruang moderen (RTRW-padu serasi), fungsi-fungsi lahan pada Palasar Palaya’ dapat mengakomodir komponen-komponen fungsi wilayah di dalamnya baik untuk kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Dari hasil perhitungan 101 kampung yang telah dipetakan terlihat bahwa kawasan hutan adat secara rata-rata merupakan bagian terbesar dalam suatu wilayah kampung, mencapai 41,18%, diikuti formasi kebun karet lokal 30,51% dan daerah perladangan 13,34% (Atok, 2000).

Sumber-Sumber Agraria Lokal: Pola Kepenguasaan dan Pengelolaannya

Masyarakat Dayak Kanayant (kecuali di Desa Saham) sudah meninggalkan kehidupan radakng (rumah panjang), yang menjadi media pembentukan persekutuan hidup seluruh aktivitas warga baik yang bersifat sosial kemasyarakatan maupun adat dan keagamaan. Namun, sifat komunalistik itu kini telah mulai memudar walaupun dalam beberapa aspek kehidupan masih dapat kita amati. Hal terakhir ini misalnya dalam cara pandang mereka terhadap pola penguasaan dan pengelolaan hutan dan sumber-sumber agraria lainnya. Beberapa ciri komunalitas tersebut misalnya adalah konsentrasi kepemilikan individual relatif masih rendah, sebaliknya hak terbesar kedaulatan hutan dan sumber-sumber agraria lainnya berada di tangan komunitas secara keseluruhan. Hal lain adalah pengolahan tanah tidak terpusat, artinya hak-hak berada pada unit kerabat (pareneatn), kesamarataan sosial-ekonomi cukup tinggi, dan sistem produksi yang cenderung subsisten.
Dapat dicatat pengetahuan dan teknologi sistem produksi mereka juga mencerminkan konsep agroekosistem yang teruji. Dalam hal ini mereka pada umumnya mengembangkan perladangan bergilir yang ditopang oleh kebun karet. Lahan tidak hanya berfungsi sebagai faktor produksi semata, tetapi juga merupakan basis sosial, budaya, dan spiritual. Sehingga, pada dasarnya mereka (pengetahuan yang dituturkan secara lisan turun-temurun) telah melakukan sistem produksi yang berorientasi pada penata-gunaan wilayah kampung secara menyeluruh dan fungsional. Peruntukan lahan di dalam wilayah kampung, menurut pemahaman warga terdapat :
1. kawasan hutan yang dilindungi atau dicadangkan untuk masa depan. Di dalam kawasan ini setiap individu bebas memungut hasil (berburu, atau mengambil kayu untuk keperluan pribadi non-komersial). Kawasan ini adalah milik kolektif masyarakat hukum adat. Anggota dari masyarakat hukum adat lain diperkenankan memungut hasil setelah mendapat persetujuan dari masyarakat hukum adat setempat.
2. kebun buahan-buahan, tengkawang. Kepemilikan lahan ini biasanya milik seorang individu atau keluarga, demikian pula pohon dan buah-buahannya. Tetapi ketika buahnya matang dan jatuh, maka setiap orang memiliki hak untuk memiliki hak untuk memungut dan menikmati buah tersebut.
3. lahan perkebunan karet, biasanya karet lokal beberapa tahun terakhir ada pengenalan untuk karet unggul. Lahan ini adalah milik individu yang menanam tumbuhan di atasnya. Tetapi ketika individu yang bersangkutan memiliki keturunan maka lahan dan tanaman yang tumbuh di atasnya dapat diwariskan kepada anaknya, atau milik keluarga. Karet merupakan jenis yang paling populer, paling dikuasai budidayanya, paling diminati dan menjadi andalan untuk menunjang kehidupan ekonomi masyarakat Dayak.
4. Sawah. Pengetahuan bercocok tanam sawah, diakui masyarakat berasal dari Cina pendatang yang pada tahun 1914 dan peristiwa PGRS/Paraku di usir dari wilayah pedalaman. Dengan input tehnologi yang masih rendah, pengolahan sawah masih belum intensif.
5. Ladang dan Bawas. Bawas merupakan tanah pertanian yang sedang diistirahatkan (masa bera), pemberaan ini dilandasi pemikiran untuk mengembalikan kesuburan lahan, biasanya dilakukan dalam siklus 5-15 tahun. Dengan demikian menurut mereka sebenarnya tidak ada lahan yang terlantar. Panjang masa bera dapat dijadikan indikator kecukupan lahan untuk mendukung sistem gilir balik tersebut, di Tarekng rata-rata sklus 7 tahun. Untuk lahan-lahan jenis ini biasanya merupakan lahan keluarga yang bila sudah dibagi ke ahli warisnya bisa menjadi milik pribadi.
6. tanah pekuburan dan tanah keramat. Tanah pekuburan adalah milik kolektif. Tanah keramat, lahan-lahan yang di atasnya terdapat tempat-tempat pemujaan yang suci adalah juga milik masyarakat. Bahkan untuk tempat pemujaan di Bukit Ohak dimiliki oleh masyarakat di dua Binua (Ohak dan Batukng). Tanah-tanah ini adalah lahan yang tidak dapat diladangi atau diambil kayunya, dengan sistem perlindungan diserahkan sepenuhnya pada Sang Kuasa.
7. Lahan perkampungan. Lahan ini terdiri dari rumah dan halaman individu-individu. Di dalam kawasan ini juga terdapat tempat untuk beternak (mendirikan kandang ayam atau kandang babi).
8. sungai dan danau untuk perikanan. Bagian ini dimiliki secara kolektif, dan dengan begitu tidak diperkenankan adanya sekelompok orang melakukan klaim sepihak atas kepemilikan/kepengusaan aset ini.

Kelembagaan Tradisional Lokal dalam Pengelolaan SDA

Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa sistem kehidupan masyarakat lokal di dasarkan pertanian ladang bergilir dalam suatu ekosistem pertanian terpadu. Berbagai perangkat aturan adat yang lebih bersifat religio-magis, sekali lagi tidak tertulis, mendasari prinsip-prinsip pengaturan bersama dalam konteks sosial-produksi. Dalam adat dayak, khususnya Kanayant, peran pengaturan tersebut dilakukan oleh lembaga adat baik yang menangani hukum adat maupun pemerintahan adat dalam satu wilayah hukum adat.
Berdasar pada kewilayahan hukum adat yang meliputi satu Binua, lembaga Adat Dayak tertinggi ada pada tuha-tuha Binua yang dipimpin oleh seorang kepala Binua (Timangggong/Singa/Patih/Mangku), dengan dibantu oleh Bide Binua, pangarah binua dan beberapa Pasirah Pangaraga). Kepala binua secara struktural langsung membawahi Kepala Kampung yang dibantu oleh pangalangok kampung dan pasirah pangaraga. (lihat gambar 1.) Tuha-tuha binua mempunyai kewenangan untuk mengatur wilayah yang merupakan milik komunal satu binua, demikian juga dengan wilayah komunal kampung yang di atur oleh tuha-tuha kampung.
Sedangkan kelembagaan lokal yang khusus berkaitan dengan pengaturan sistem produksi pertanian disebut dengan balalek. Institusi ini merupakan kelompok-kelompok kerja pertanian yang diketuai oleh seorang Tuha Aleatn, bebarapa kelompok aleant dikoordinir oleh tuha tahun dalam setiap kegiatannya. Beberapa kegiatan yang diatur dan disepakati bersama antara lain : proses pemilihan lahan, pembersihan, pembakaran, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan padi. Budaya kerja bersama tersebut dilakukan karena dalam budaya dayak produksi padi tidak hanya dipandang sebagai rangkaian aktivitas ekonomi, tetapi juga merupakan suatu ekspresi ikatan sosial komunalitas. Praktek-praktek tersebut merupakan aktualisasi dari kehidupan sosial budaya komunal, sebagai ajang komunikasi dan memperbarui hubungan antar individu. Dalam forum tersebut muda-mudi saling bertukar pantun, para tetua adat menceritakan pengalaman dan sejarah nenek moyang masa lalu. Dapat dikatakan balalek juga dijadikan media dalam tradisi lisan masyarakat dayak dan juga penguatan sistem komunalitas.
Praktek-praktek aktual pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam tidak selalu sesuai dengan aturan dan pranata tradisional yang ada. Kesesuaian lebih banyak dilakukan pada pemanfaatan sumberdaya hutan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan subsistensi, sementara pelanggaran banyak ditemukan pada pemanfaatan sumberdaya hutan komersial, terutama kayu . Contoh pelanggaran aturan tradisional anatara lain, pemanfaatan kayu tengkawang untuk tujuan komersial dan juga pemanfaatan komersial kayu pada hutan cadangan. Pelanggaran-pelanggaran ini acap kali menjadi pemicu konflik antar individu maupun antar komunitas masyarakat. Seperti yang terjadi antara warga Kampung Cagat Binua Batukng dengan Kampung Gutok Binua Ngabakng yang dengan latar belakang ‘perebutan’ pemanfaatan kayu.
Faktor yang terkait dengan pelanggaran-pelangaran tersebut menurut beberapa tokoh adat adalah akibat lemahnya fungsi kontrol hukum adat dalam komunitas tersebut. Sebagian besar mengatakan bahwa sejak diterapkannya sistem pemerintahan desa, peranan tokoh adat beserta fungsi dan aturan hukum adatnya terkesan dipinggirkan. Sebagian lagi berpendapat bahwa telah terjadi kegagalan dalam transfer informasi aturan dan hukum adat kepada generasi muda.
Pemetaan Partisipatif Hak-Hak Tenurial
Beberapa tahun terakhir ini banyak konflik penguasaan sumberdaya agraria, termasuk sumberdaya hutan bermunculan di tanah air. Ketidakjelasan tata batas adalah sumber konflik yang paling menonjol terutama yang berhubungan dengan akses komunitas lokal kepada sumberdaya hayati dan non hayati. Komunitas lokal seringkali terkalahkan dalam konflik seperti ini karena unsur pemerintah dan pelaku bisnis (swasta).
Kelemahan posisi komunitas lokal dalam mengklaim hak-hak mereka atas sumberdaya hayati dan non hayati di oingkungan sekitarnya telah menggerakkan berbagai pihak untuk mencari jalan ke luar yang murah dan tepat. Berbagai metode pengembangan masyarakat/komunitas telah berkembang pesat seperti perencanaan desa partisipatif dalam berbagai variannya. Pada dasarnya seluruh metode tersebut meramu berbagai ilmu pengetahuan dasar seperti sosiologi, geografi, ekologi, dll. Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif.
Partisipasi warga komunitas lokal telah menjadi kunci menuju pembangunan yang berwajah kerakyatan. Pengertian pembangunan berkelanjutan (sustainable development) juga berarti redistribusi surplus dan redistribusi kekuasaan serta pengembangan kerjasama multilateral. Redistribusi informasi sumberdaya alam juga menjadi isu strategis dalam pemberdayaan warga komunitas lokal (Latin, 2001).
Peta merupakan salah satu media yang digunakan untuk mendapatkan berbagai informasi, terutama yang terkait dengan sumber-sumber agraria suatu daerah beserta hak-hak yang melekat di dalamnya. Pemetaan wilayah Indonesia secara intensif dilakukan oleh Belanda sejak masa penjajahan untuk dijadikan sebagai alat legitimasi politik dan kontrol atas wilayah jajahannya, karena pada waktu itu daerah-daerah yang belum dipetakan dianggap sebagai daerah yang tidak bertuan (terra incognita). Pemerintah Indonesia tetap memanfaatkan peta-peta Belanda tersebut sebagai dasar pengelolaan wilayah, termasuk pembuatan peta TGHK pada tahun 1982.
Sementara itu di sisi lain komunitas lokal berdasar runtutan sejarah sudah mempunyai peta yang berupa peta-peta mental yang dijadikan dasar penata ruangan dan sistem pengelolaan sumber-sumber agraria di wilayah mereka sendiri. Pada kenyataannya tanpa adanya bukti terdokumentasi berupa gambar peta yang dapat dimengerti dan diakui oleh pihak lain (pemerintah), peta-peta mental masyarakat adat beserta hak-hak yang melekat di dalamnya selalu diabaikan keberadaannya.
Perbedaan cara pandang kewilayahan dan sistem pengelolaan sumber-sumber agraria di dalamnya ditambah dengan lemahnya proses komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, khusus komunitas lokal yang terpencil telah banyak menimbulkan konflik yang terkait dengan hal itu dimana masyarakat selalu pada pihak yang tidak diuntungkan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan komunitas lokal untuk mengatakan bahwa mereka memiliki wilayah penguasaan tanah adat berikut sistem pengelolaannya adalah dengan mencoba mendokumentasikan secara lengkap kondisi wilayah adat ke dalam sebuah peta hak tenurial mastarakat adat secara moderen, dalam arti dapat dimengerti dan diakui pihak lain. Menurut Sirait (1996) metodologi pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta mental tata ruang tradisional dengan peta-peta moderen disebut pemetaan partisipatif.
Hal yang sering dimunculkan pula dalam konteks masalah ini adalah perlunya pengaturan kawasan hutan atas hak adat, hak negara, dan hak perusahaan (pengusaha swasta) secara lebih adil, dalam pengertian berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Secara tematik pemetaan partisipatif terdiri dari : peta tata guna lahan, peta pemukiman penduduk, peta daerah aliran sungai, peta penyebaran pohon, peta penyebaran binatang, peta perencanaan tanah kampung, peta tempat keramat dan kuburan, peta referensi dan peta tiga dimensi.
Dapat digaris bawahi implementasi pemetaan partisipatif atas hak-hak tenurial komunitas lokal adalah sebagai salah satu upaya merealisasikan praksis pembangunan kehutanan yang didasari dengan cara pandang hutan sebagai sumberdaya milik rakyat. Cara pandang ini menimbulkan konsekuensi logis terhadap pembangunan kehutanan yang senantiasa memperhatikan keterlibatan masyarakat lokal khususnya, dan stakeholders lainnya pada setiap tahapan proses pembangunan kehutanan. Pertanyaannya adalah keterlibatan warga itu harus seperti apa ?. Ini diajukan karena adalam pemahaman partisipasi dapat diartikan apa saja dan oleh siapa saja. Artinya, mengandung potensi yang besar bagi terjadinya bias dalam pemahaman partisipasi.Dalam kaitannya dengan konsep partisipasi ini, harus dilakukan pemaknaan secara khas dan sistematis sehingga tidak mengaburkan atau bahkan memperangkap hakekat yang melandasinya. Dengan kata lain, pertama-tama kita perlu memahami konsep partisipasi ini agar kita tidak terperangkap untuk mengartikan semua bentuk keterlibatan warga komunitas dalam tiap tahapan proses pembangunan sebagai partisipasi. Bila tidak dapat mengartikan partisipasi, maka tujuan kita merubah cara pandang pembangunan kehutanan sebagai sumberdaya milik rakyat tidak jauh berbeda dengan cara pandang sebelumnya, yaitu hutan milik negara atau milik swasta, karena tidak akan memenuhi sasaran.
Salah satu cara untuk memahami konsep partisipasi adalah memperluas pengertian partisipasi sehingga dapat bedakan lingkup berbagai jenis partisipasi yang sekaligus mencerminkan berbagai derajat makna partisipasi komunitas dalam proses pembangunan. Namun secara umum istilah partisipasi pembangunan warga komunitas dapat kita artikan sebagai aktivitas yang secara sungguh-sungguh melibatkan diri individu-individu warga dalam turut serta memberikan penilaian atau makna sesuatu aktivitas yang bersangkutan pada konteks relasi sejajar dengan golongan-golongan lain. Pola-pola ideal keterlibatan warga yang mungkin terbentuk dalam rangka implementasi pemetaan partisipatif hak-hak tenurial masyarakat lokal adalah sebagai berikut:
1) Keterlibatan warga komunitas (citizen participation) dalam aktivitas-aktivitas pembangunan yang diprakarsai dan dikontrol oleh pemerintah atau agen pembangunan lainnya ( LSM/Ornop atau pelaku bisnis swasta) dalam bentuk akses tertentu dalam hal ini turut serta dalam mengambil keputusan,
2) Partisipasi warga komunitas (citizen action) dalam program yang diprakarsai dan dikontrol oleh kelompok komunitas diri mereka sendiri. Pemerintah, Ornop/LSM, atau pelaku bisnis swasta dalam hal ini, bertindak sebagai mediator dan atau fasilitator yang menjamin dan melindungi terlaksananya program pembangunan tersebut dengan memberikan kerangka umum mengenai arah pembangunan yang telah disepakati.
Dalam konteks implementasi pemetaan partisipasi, maka tipe-tipe partisipasi di atas adalah merupakan fenomena yang mungkin timbul. Dalam hal ini konsep partisipasi yang disebut kedua maka ia lebih menjanjikan bagi tercapainya pemberdayaan warga komunitas yang bersangkutan. Sebaliknya pada konsep partisipasi yang pertama bila tidak dilakukan dengan hati-hati akan memberikan peluang bagi pemerintah dan agen pembangunan lainnya untuk terperangkap pada anggapan bahwa mereka merupakan pihak yang seolah-olah paling tahu tetang permasalahan dan jalan ke luar yang seharusnya diambil oleh suatu kelompok komunitas.
Selanjutnya, didukung oleh hasil uji coba yang luas kita ketahui telah ada kesimpulan oleh suatu gerakan advokasi internasional yang secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi warga komunitas lokal yang seluas-luasnya merupakan kondisi optimum terhadap upaya pengelolaan sumberdaya hutan yang produktif dan lestari. Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa komunitas lokal itu memiliki kemampuan dan kemauan baik untuk mengelola sumberdaya hutan serupa itu, misalnya seperti yang dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat Meru Betiri (Jawa Timur). Namun agaknya, itu belum merupakan konsideran yang cukup signifikan bagi upaya-upaya pelembagaan pengelolaan hutan berbasiskan hak-hak kepenguasaan komunitas lokal itu sendiri .
Para akademisi dan birokrat pada masa Orde Baru, secara terus menerus atau malu-malu, kerap meragukan keandalan pengelolaan sumberdaya hutan oleh komunitas lokal. Keraguan itu umumnya bersandar pada fenomena apa yang disebut sebagai tragedy of the common, yaitu suatu kerusakan sumberdaya akibat penyalahgunaan berlebihan tatkala sumberdaya tersebut ditetapkan sebagai “milik umum”. Padahal tragedi itu lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumberdaya tersebut jauh lebih besar dibanding dengan kelimpahan sumberdayanya (resouces endownment). Atau tatkala kelembagaan pada komunitas lokal justru sedang mengalami proses marjinalisasi sedemikian rupa.
Pergeseran pola pengelolaan oleh negara, swasta, ke arah kolaborasi antara pemerintah dan komunitas lokal agaknya merupakan kebutuhan umum, dalam arti ia bukan cuma ditujukan pada kepentingan di Indonesia semata. Hobley (1996) melaporkan bahwa di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya hutan : kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme. Penerapan partisipasi warga komunitas dalam spektrum yang luas di kedua negara tersebut ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktivitas tercapai tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberadaan komunitas lokal.
India, Thailand, dan Nepal adalah negara-negara yang sudah cukup maju dalam soal pengelolaan sumberdaya hutan oleh komunitas lokal. Negara percaya bahwa komunitas lokal itu memiliki kemampuan, pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya hutan secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif. Di ketiga negara tersebut kontrol pemerintah dalam hal pengelolaan hutan masing-masing mencakup 22%, 40%, dan 43% dari total kawasan yang tersedia (Hobley, 1996). Sementara itu, di Indonesia, Departemen Kehutanan mengendalikan tidak kurang dari 74% dari kawasan hutan yang tersedia.
Penerapan gagasan tersebut membutuhkan revitalisasi kelembagaan, khususnya kelembagaan pemerintah (birokrasi), antara lain :
1) Desentralisasi yaitu penyerahan urusan kewenangan pemerintahan kepada pemerintah lokal.
2) Perubahan paradigma pemerintah dari status sebagai “polisi” (custodian) menjadi fasilitator dengan segala implikasinya.

KONFLIK TERJADI PADA ARAS MANA?

Mari kita lihat perspektif pemerintahan di kabupaten Landak yang tertuang dalam
STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH (Bapeda) dan Dishutbun.

Strategi Pembangunan Daerah :
Pertumbuhan Melalui Pemerataan” dengan prinsip membangun dari apa yang ada dan apa yang dimiliki rakyat, dengan memaksimalkan berbagai potensi sumber daya alam terbarui, sumber daya manusia, sumber daya buatan, yang diimplementasikan berdasarkan model keberhasilan bisnis sebagai berikut:
1. Inovasi dan pembaharuan terhadap nilai-nilai social budaya masyarakat
2. Pola kepemimpinan
3. Sikap dan cara berpikir yang mengutamakan nilai-nilai pelayanan
4. Memperkuat dimensi keuangan daerah

Tentu strategi di atas bukan satu-satunya melainkan diperlukan strategi penunjang seperti Peningkatan stabilitas keamanan dan ketertiban dan Peningkatan partisipasi masyarakat.

Visi Dishutbun Kab. Landak :Terwujudnya kelestarian fungsi hutan dan kebun sebagai sistem penyangga kehidupan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung perekonomian daerah melalui pengelolaan yang efisien atau produktif, berdaya saing tinggi, adil, berkerakyatan dan berkelanjutan

CITA-CITA MASYARAKAT ADAT, yang tertuang dan Visi Landak 2020.
Adapun Cita-Cita MA Kab. Landak Tahun 2020 yang disepakati bersama:








Untuk mencapai cita-cita dimaksud, rencana kerja Yang dibuat para Timanggong adalah sebagai berikut :

Pengelolaan SDA  Mengembalikan kedaulatan rakyat atas wilayah, sumber daya alam dalam upaya mencapai cita-cita MA kab.Landak sampai dengan 2020
 Melakukan pemetaan kawasan/wilayah/tanah adat dimasing-masing kampung/Binua
 Menanam tanaman lokal seperti karet, kopi, rotan, lada dll yang berbasis kearifan asli
 Meningkatkan kontrol terhadap pola pengelolaam Sumber daya alam di kawasan adat masing-masing.

Sumber Daya Manusia







 Meningkatkan Kapasitas Sumber daya Manusia, dalam upaya mencapai cita-cita masyarakat adat Kab. Landak samapai tahun 2020
 Menyelengarakan pendidikan alternatif, pelatihan magang, studi banding
 Menyediakan sarana dan prasaran pendidkan dengan mengusulkan kepada pemerintah kab. Landak
 Mengusulkan beasiswa pendidikan perguruan tinggi bagi generasi masa depan Kab. Landak
 Meyelengarakan pelatiahn hukan bagi para timanggong
Ekonomi  Memperkuat ekonomi masyarakat adat dalam upaya mencapai cita-cita masyarakat adat kab. Landak sampaui dengan tahun 2020
 Program menabung pada CU, lumbung, KSU
 Mengemabang pemasaran hasil lokal yang berbasis kerakyatan (KSU)


Sistem Pemerintahan Asli  Memperjelas dan memperkuat kelembagaan dan sistem pemerintahan asli dalam upaya mencapai cita-cita MA Kab. Landak sampai dengan tahun 2020
 Melakukan fasilitasi pendidikan politik rakyat
 Sosialisasi, visi definisi masyarakat Adat dan rencana tindak lanjut bersama Masyarakat Adat ditingkat kampung/binua
 Melakukan pendokumentasian sejarah kampung/binua tentang sistem pemerintahan asli dan kelembagaan
 Bersama masyarakat adat tingkat kampung/binua, merancang peraturan daerah tenatang sistem pemerintahan asli
 Sosialisasi gagasan tentang sistem kelembagaan dan pemerintah asli bersama masyarakat Adat ditingkat kampung /binua
 Membuat kesepakatan bersama antara masyarakat adat- DPRD/pemerintah kab. Landak tentang pilihan-pilihan sistem pemerintahan asli

Adat Istiadat  Memperkuat dan melestarikan adat istiadat dalam upaya mencapai cita-cita MA kab. Landak sampai dengan tahun 2020
 Masyarakat adat pihak luar mentaati dan tunduk pada adat istiadat, hukum adat (hukum adat ditegakan)
 Mempertanggungjawabkan tugas-tugas ketimanggongan (putusan hukum adat) secara transparan terhadap warga masyarakat adat
 Mendorong/ mengajak warga adat generasi masa depan utnuk belajar tentang adat istiadat
 Melestarikan adat istiadat yang masih hidup di masyarakat adat masing-masing kampung/binua
 Mengukuhkan keramat, padagi, pantak, pantulak, patunuan pada masing-masing kampung binua
 Menghidupkan kembali adat istiadat yang hampir punah dimasyarakat adat masing-masing kampung/binua

Terlihat jelas bahwa pada tataran visi antara masyarakat adat dan pemerintah tidak ada perbedaan yang berarti. Mestinya tidak terjadi konflik dengan derajad yang tinggi dalam hal ini.

Apa yang terjadi kemudian ?

PARADIGMA KEBIJAKAN INVESTASI
Pada tahun 1960-an, perusahaan perkayuan mulai masuk untuk mengeksploitasi hutan Kalimantan, dimana orang Dayak tinggal dan hidup. Melalui pola Hak Pengusahaan Hutan ( HPH ), ratusan perusahaan beroperasi tanpa henti, paling tidak hingga akhir tahun 2000 lalu. Pada awal tahun 200, muncul pola baru bernama Hak Pemungutan Hasil Hutan 100 Ha ( HPHH 100 Ha ), yang izinnya melalui Bupati/Walikota berbentuk Koperasi. Namun pola ini ternyata hanyalah kamuflase dari pola HPH yang telah habis masa konsesinya pada akhir tahun 1999. Seiring dengan habisnya masa konsesi perusahaan, maka pihak perusahaan kayu pada akhir tahun 1990-an, memanfaatkan penduduk setempat untuk melakukan penebangan kayu secara besar-besaran diseluruh kampong orang Dayak. Polanya adalah dengan memanfaatkan pedagang-pedagang local yang diberi sedikit modal, akibatnya ratusan tembawang dan kompokng ( hutan buah ) dimana ribuan pohon tengkawang rusak dan hilang. Kini sangat sedikit sekali kampong yang mampu mempertahankan hutan tembawang dan kompokngnya dari terjangan mesin-mesin chain saw.
Pada tahun 1980, sebuah perusahaan bernama Perusahaan Negara Perkebunan ( PNP ) VII yang sekarang beralih nama menjadi PTPN XIII membuka areal hutan seluas 14.000 Ha untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Ngabang Kab. Pontianak ( Kini Kab. Landak ). Areal perkebunan ini semakin diperluas menyusul dukungan dari Pemda Kalbar dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No.8/1994 tentang prioritas pembangunan sector pertanian subsektor perkebunan. Kebijakan ini kemudian diperkuat lagi dengan dihasilkannya Peraturan Daerah No. 1/1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ( RTRWP ) Kalbar. Dalam RTRWP itu disebutkan bahwa seluas 5.257.700 Ha lahan akan disediakan untuk perluasan perkebunan. Sampai Desember 2000, pemanfaatan lahan untuk perkebunan di Kalbar telah mencapai 3.560.251 Ha ( 68 % dari 5,2 juta lahan yang dicadangkan ). Kebijakan Pemda Kalbar tersebut sebagai upaya untuk menggantikan komoditas eksport kayu yang sejak tahun 1990-an makin menurun produksinya.
Menurut data Dinas Perkebunan Kalbar tahun 1998, sampai akhir tahun 1998, terdapat 17 buah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Landak. Lihat table 1. Dari beberapa perusahaan yang beroperasi itu, ada beberapa perusahaan yang hengkang dari arealnya, seperti PT Mukti Swadaya Lestari (PT. MSL ) yang hanya meninggalkan hutan gundul tanpa ada kebun sawit. Ada juga PT. Kembayan Subur Agro ( PT.KSA ) yang kebun sawitnya terlantarkan. Ada juga PT. Pan Agro Subur ( PT. PAS ) yang menelantarkan arealnya dan hanya meninggalkan hutan gundul tanpa ada sawit.
Pada Agustus 1997, ratusan warga kampung Keranji Birah Kec. Sengah Temila mendemo bascamp PT Agro Mask arena menggusur tanah adat seluas 300 Ha tanpa izin masyarakat. Demo itu menyebabkab perusahaan menghentikan operasinya. Pada bulan Mei 1999, ribuan warga kampung Pak Upat Kec. Sengah Temila melakukan aksi turun jalan menyusul dibabatnya ratusan hektar tanah adat. Perusahaan akhirnya dihukum adat dan menghentikan operasinya.
Table 1
Perusahaan Kelapa Sawit Yang Beroperasi di Kabupaten Landak Hingga Tahun 1998.
















Sumber : Disbun Kalbar, 1998.

Sumber, Disbun Kalbar, 1998




Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Landak 2001-2010, 733,841,18 Ha atau 74,06 % dari luas kabupaten diperuntukan untuk kawasan budidaya dengan perincian sebagai berikut : 533,216,38 Ha atau 53,81 % untuk Pertanian Lahan Kering ( PLK ), 125,304,02 Ha atau 12,65 % untuk Hutan Produksi Biasa ( HPB ), 26,308,72 Ha atau 2,66 % untuk Hutan Produksi Konversi ( HPK ), 22,309,43 Ha atau 1,75 % untuk Hutan Produksi Terbatas ( HPT ), 17,309,43 Ha atau 1,75 % untuk Hutan Tanaman Industri ( HTI ), 3,683,52 Ha atau 0,57 % untuk Pusat Pengembangan Kota ( PPK ), dan 3,467,15 Ha atau 0,35 % untuk Pertanian Lahan Basah ( PLB ).
Adanya arahan pengembangan kawasan budidaya untuk perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari kuatnya arus kapitalisme global yang berkembang di Kabupaten Landak. Secara geografis, wilayah Kabupaten Landak menjadi jalur internasional yakni menghubungkan Kota Pontianak dengan Kuching ( Malaysia Timur ). Karena itu, tidak heran di Kota Ngabang, saat ini marak sekali barang-barang luar negeri. Barang-barang ini sangat mudah didapat dengan harga yang terjangkau. Melihat pesatnya arus barang dan uang, maka semakin banyak investor yang masuk didaerah ini diyakini dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ). Kondisi diatas berbanding terbalik dengan situasi dan kondisi masyarakat pedesaan yang masih sangat memprihatinkan. (Lihat Daftar kampung yang dipetakan )Karena terisolasi jauh dipedalaman, komunikasi dan informasi menjadi terhambat. Arus barang dan uang begitu lemah, sehingga tidak heran ratusan desa jauh dibawah angka kemiskinan.

Pandangan Kritis

Kartodihardjo (1999) mengambarkan,bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya hutan saat ini bersifat paradoksal. Kebijakan pengusahaan hutan cenderung membela pencapaian target kuantum produksi kayu gelondongan. Sementara itu, instrumen untuk memelihara kelestarian lingkungan tidak berjalan secara efektif, sehingga kerusakan tetap melaju dengan kecepatan yang menghawatirkan. Pada saat yang sama,sinyal dunia internasional seperti pola pengelolaan yang peduli lingkungan (Winter,1987 dalam Calleribach et.al.,(1993) tidak segera mewarnai kebijakan pemerintah dan tidak segera merubah etika bisnis perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang kehutanan. Selanjutnya Kartodihardjo(1999) mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dari muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradoks itu, antara lain:
1. Menyehatkan para kondisi agar asumsi-asumsi dalam teori ekonomi dapat dipenuhi dengan baik. Prakondisi itu antara lain: adanya kepastian tataguna lahan, kayu dihutan dipandang sebagai aktiva tetap, pemerintah memiliki data produksi yang akurat sebagai dasar untuk menentukan nilai Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan( IHH) yang harus dibayar, dan mencegah kolusi antara aparat pemerintah dengan pihak swasta.
2. Memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal alam. Hal itu antara lain tercermin dalam bentuk pemberian insentif pada pola usaha yang menghasilkan hutan yang lebih lestari; dan sebaliknya memberikan pinalti terhadap kegiatan usaha yang menghasilkan terjadinya degradasi kualitas hutan.
3. Memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal social.Modal social itu antara lain berupa tatanilai dan pengetahuan-unggul lokal yang dalam kurun waktu yang panjang telah memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemeliharaan kualitas sumber daya hutan.
4. Menghentikan pengkambinghitaman kemampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan. Selama ini organisasi pemerintah dan masyarakat selalu diberi label sebagai organisasi yang “ tidak mumpuni “, dan sebaliknya organisasi swasta sebagai organisasi yang ” mumpuni “; karena itu kerjasama dengan swasta senantiasa dijadikan sebagai “obat “ untuk mengatasi “ketidakmampuan”. Kenyataannya, hal itu justru menghasilkansengketa kepentingan.







5. Memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan. Permintaan pasar terhadap komoditi kayu jauh melampaui tingkatan produksi lestari kawasan hutan yang tersedia. Kesenjangan itu, yang mencapai jutaan meter kubik pertahun, dalam kenyataannya dapat dipenuhi dari penebangan berlebihan baik yang dilakukan secara resmi maupun tidak resmi. Dukungan nyata yang dimaksud disini adalah menyediakan perangkat hukum yang jelas, melakukan law-enforcement, dan menjalankan system insentif yang rasional.
6. Saya berpendapat Tatanilai tentang Hutan harus dibangun kembali .Jika tatanilai itu diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka hutan memiliki nilai yang berbeda di mata setiap stakeholder. Bagi masyarakat (setempat), hutan merupakan habitat tempat mereka mengantungkan kehidupan perekonomiannya serta mengejawantahkan kehidupan budaya dan spiritualnya. Karena itu, masyarakat setempat akan sangat menjaga keberadaan hutan itu, karena keutuhan hutan itu akan menjamin keutuhan identitas masyarakatnya..
Bagi swasta, hutan mungkin hanya sebagai komoditas yang setiap saat dapat ditransformasikan menjadi uang tunai. Menebang lebih banyak dan menjual lebih banyak menjadi tujuan-antara swasta,dalam rangka mewujudkan fungsi-tujuannya untuk memaksimumkan keuntungan.
Nilai hutan bagi pemerintah sangat plastis. Dalam konsideran-konsideran pelbagai peraturan perundang-undangan, hutan kerap digambarkan secara amat “religius” sebagai suatu “rahmat Tuhan”. Tapi publik bisa dibingungkan: Dimana Tuhan diletakkan tatkala hutan-lindung-pinus ditebang habis untuk dijadikan bubur kertas?
Tentang masyarakat pun, terdapat perbedaan pemaknaan. Dunia Internasional sangat percaya bahwa masyarakat akan mampu bertindak sebagai pengelola sumber daya hutan. Sementara itu pihak swasta, dan kadang pemerintah, kerap memandang masyarakat sebagai ancaman terhadap keamanan usahanya.
Kini telah banyak dikembangkan model-model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat. Pemerintah Indonesia pun mencoba mengadaptasikannya; namun umumnya telah mengalami bias. Misalnya, terminology community diadaptasi sebagai “masyarakat”, yang memiliki pengertian yang sangat luas. Padahal community itu dimaksudkan untuk merujuk pada pengertian masyarakat dalam cakupan yang sangat spesifik, yaitu pengertian “masyarakat setempat” dalam konteks sosiologi (Soekanto,1995). Masyarakat setempat merujuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu yang memiliki batas tertentu dan memiliki interaksi sosial yang lebih besar di banding dengan penduduk diluar batas wilayahnya (Soemardjan,1962); serta merujuk suatu lokalitas yang jelas dan adanya sentimen (perasaan) se-“masyarakat-setempat” yang kuat (Maclver dan page, 1 954).
Perbedaan nilai hutan menurut masing-masing stakeholder serta perbedaan pemaknaan terhadap masyarakat, menghasilkan situasi sarat sengketa. Pada gilirannya, persengketaan itu akan menurunkan suatu kelembagaan dan keorganisasian yang juga sarat sengketa. Semua ini memicu kerusakan hutan yang tidak terkendali.

Faktor Krisis Kepemimpinan

Sebelum tahun 1970-an kepemimpinan tokoh masyarakat,pemuda adat,orang-orang yang dituakan dan pembuka agama masih sangat berpengaruh dalam masyarakat Dayak. Peranan dan kewibawaan mereka terhadap masyarakat cukup besar dan daya kepengikutan masyarakat terhadap mereka cukup tinggi.Sehingga berbagai masalah sosial dan kesulitan hidup dimusyawarahkan oleh mereka dengan tokoh masyarakat tersebut untuk diperoleh jalan keluar.sejak tahun 1970,terutama ketika sumberdaya hutan (SDH) di Kalbar mulai mengalami kehancuran (deforestation process),oposisi terhadap sumber kehancuran itu mulai timbul (Alqadire,1994) diikuti secara perlahan dan pasti oleh menurunnya kewibawaan,kepercayaan dan peranan tokoh atau pembuka adat dalam masyarakat mereka.






Krisis kepercayaan terhadap adat pada umumnya dan terhadap pembuka adat pada khususnya mencapai klimaksnya ketika para pemimpin agama dan pemimpin adat terkooptasi oleh kepentingan perusahaan. Pada saat itu mereka dengan iming-iming ekonomi berbalik dengan menyauarakan kepentingan perusahaan. Akibat dari ketidakpercayaan ini, berimbas pula pada persoalan yang tidak terkait dengan Hutan dan PSDA, ini terlihat jelas ketika dalam pertikaian antara anggota komunitas Dayak dengan komunitas Madura pedalaman yang terjadi pada tahun 1996/1997 pada peristiwa atau kasus Sanggau Ledo,Kabupaten Bengakyang (setelah pisah dari kabupaten Sambas) dan kasus Salatiga,Kabupaten Landak (setelah Kabupaten Pontianak di mekarkan),sebagian besar pemuda dan mahasiswa Dayak menendang tempayan (simbol upacara adat dalam masyarakat Dayak) dan tidak mau lagi mendengarkan himbauan tokoh adat mereka maupun pemuka agama Nasrani (Katolik dan Protestan) untuk tidak bertindak anarkis.Para pemuda ini menggangap bahwa pembuka adat mereka tidak lagi mampu melindungi dan membina mereka.
Dalam kondisi ketidakpastian seperti itu tampillah elit-elit sosial dan politik mereka yang timbul dipermukaan melalui jalur balik LSM maupun lambaga Eksekutif dan Legislatif yang memberikan harapan-harapan ekonomis dan politis secara rasional.Kepemimpinan sosial dalam masyarakat Dayak mengalami perubahan mendasar dari kepemimpinan yang dilandasi oleh pilar tradisional adat ke pemimpinan rasional birokratis politis yang bertumpuh pada tiga pilar yaitu eksekutif,legislatif,dan LSM.Keberingasan dan keberutalan massa bukan tidak boleh jadi disebabkan pula oleh perubahan karakter kepemimpinan dari bentuk kepemimpinan tersebut pertama yang tidak memiliki ambisi politis sama sekali,ke bentuk kedua yang tidak sepi dari motif,dan ambisi yang kompleks-politik,ekonomi dan kemegahan.
Pola pertikaian yang benuansa keberingasan dan kekerasan tampaknya lebih ajek timbul dipermukaan setelah perubahan kepemimpinan dan komunitas Dayak dipedalaman bersentuhan dengan pola kepemimpinan dan daya kepengikutan khas dalam komunitas Madura dipedalaman Kalbar.





0 Comments: