Jumat, 10 Juli 2015
Oleh : Kristianus Atok
Pendahuluan.
Dari
judul di atas maka dalam tulisan ini, penulis
akan mencoba lebih memusatkan perhatian, serta menyoroti falsafah Dayak Linoh
khususnya yang ada di kabupaten Sintang Kalimantan Barat sebagai suatu wujud maupun konsep
budaya yang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai luhur
Pancasila. Salam tabik-tabik... merupakan blue
print kehidupan manusia dayak yang tampak, sebagai satu kesatuan kosmologi
bersama sekian ribu milyar gugus partikel alam yang ada di jagad ini.
Salam
adat Suku Linoh berbunyi :“Tabik-tabik totak
ilik, ampun-ampun totak ulu, ke ilik aku betabik dongan sanak menyadik,
ke ulu aku minta’ ampun dongan suku-juru”. Terjemahan
kata-kata pada salam tersebut adalah :“ Saudara
sekalian,kaum famili, dan handai taulan yang terhormat, yang duduk di sebelah
hilir maupun yang duduk di sebelah hulu, Saya mohon ijin dan permisi, mohon
ampun maaf atas kelancangan Saya berbicara ini”. Salam adat ini biasanya diucapkan oleh
para Tetua Adat dalam membuka kata sambutannya pada suatu acara adat atau pesta
adat atau gawai. Kata sambutan itu berisi nasehat atau petuah adat yang disebut
‘Buang Taba’.
Buang baba ini umumnya berisi Falsafah
hidup atau pandangan hidup yang disampaikan
dalam bentuk pribahasa, misalnya
: “Aik sama dituba’k, babas sama
dipehuma, buah sama dipantoh”, artinya adalah air sama dituba untuk mencari
ikan bersama, tanah (babas) sama digarap untuk ladang, dan buah-buahan
sama-sama diambil untuk dimakan bersama. Makna dari falsafah hidup ini
menyatakan bahwa dalam hidup bersama harus saling memperhatikan, saling
membantu dan tolong-menolong. Pandangan hidup seperti ini sangat cocok
dikembangkan dalam persekutuan hidup.
Jika mau berladang pada tanah orang lain harus memberitahu dan meminta
ijin pada pemiliknya. Demikian pula buah-buahan boleh sama mengambil dan
memakan tetapi harus pula meminta pada pemiliknya supaya tidak dituduh mencuri
dan kena sanksi adat.
Buang baba yang sampaikan dalam acara perkawinan adat juga dalam bentuk peribahasa
sebagai nasihat perkawinan, bunyinya sebagai berikut: “Tilan makah paha, Landuk makah Pusuh. Isan
onang diamik kebala, menantu onang pakai musuh. Sempidan seinit-init,
seinit-init di batang padi, ikin beisan bah bait-bait, onang uba bulan dongan
matahari”. Artinya bahwa dalam hidup persekutuan perkawinan harus selalu
menjaga hubungan baik dan harmonis antara keluarga besar perkawinan itu seperti
bisan, mertua, dan menantu. Hidup sebagai keluarga besar perkawinan jangan
seperti bulan dan matahari yang tidak pernah bertemu dan berkomunikasi.
Salam Adat Tabik-tabik.. Dan sila ke-dua Pancasila
Salam tabik-tabik.. itu merupakan
pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas yang
kemudian dikenal sebagai kebudayaan, sehingga pada hakikatnya kebudayaan itu
sesuai dengan apa yang di katakan Ashley Montagu, yaitu a way of life. Cara hidup tertentu, yang memancarkan identitas
tertentu pula pada suatu bangsa. Dapat
juga di kemukakan, kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan
manusia yang di salurkan dari generasi-kegenerasi untuk kehidupan manusiawi
yang lebih baik ( Soerjanto Poespowordoyo, 1989 : 218 – 219). Dilihat dari
dimensi wujud menurut para ahli kebudayaan terbentuk atas tiga wujud yakni (1)
sujud sebagai suatu Kompleks gagasan, atau ide,
(2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas,
dan yang ke-(3) wujud benda. Yang pertama disebut sistem budaya , yang kedua
disebut sistem sosial, sedangkan yang ketiga adalah kebudayaan fisik.
Dari sanalah kita dapat melihat bahwa
kebudayaan dapat juga difahami sebagai dialektika masa lampau dan masa depan
yang bersentetis dengan masa sekarang. Kalau ia dilihat sebagai kompleks ide
maka kebudayaan itu merupakan sistem pengetahuan, atau sistem makna,
system of meaning (Parsudi Suparlan, 1980, seperti dikutip oleh Hans J. Daeng, 2000). Secara semiotik,
kebudayaan merupakan reaksi competence
yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat untuk mengenal
lambang-lambang, untuk menginterpretasi, dan untuk menghasilkan sesuatu.
Kebudayaan dalam batasan itu akan mengejawantah terutama sebagai performance, sebagai suatu keseluruhan
dari kebiasaan-kebiasaan tingkah laku
dan hasil-hasil darinya. (Aart Van Zoest, 1992).
Tingkah laku manusia Dayak
masih sangat dipengaruhi oleh kosmologi rumah panjang. Rumah panjang adalah jantung struktur social kehidupan orang Dayak. Rumah panjang lebih dari
suatu bangunan untuk tempat tinggal suku Dayak, dia adalah ekspresi dimana
budaya mereka cerminan mengenai keber-samaan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam
rumah betang setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara
sistematis di atur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Hukum Adat
(Johansen, 2014).
Bagi masyarakat Dayak Rumah panjang/rumah betang tidak saja sekedar
ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan
secara utuh dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta
sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan
warganya
Upaya pengungkapan unsur-unsur
kebudayaan yang dimiliki oleh suku-suku bangsa seperti yang sedang dilakukan saat ini sudah seharusnya mendapat perhatian. Keberadaan unsur kebudayaan
tersebut tersebar luas di berbagai daerah ataupun wilayah di Indonesia. Oleh
karena itu usaha untuk pelestarian dan pengembangannya perlu tetap dilakukan
sehingga unsur-unsur kebudayaan yang pernah tumbuh dan berkembang tidak hilang
begitu saja, apalagi unsur kebudayaan
tersebut merupakan sumber yang potensial
dalam mewujudkan kebudayaan nasional.
Dari
pendapat diatas maka salam adat tabik-tabik... dapatlah kita lihat sebagai
salah satu wujud kebudayaan yang juga
merupakan salah satu cara dan sekaligus media pengungkapan dari suatu himpunan
gagasan atau ide yang merupakan dialektika masa lampau dan masa depan yang
bersentesis dalam masa sekarang, seperti yang disebut diatas. Bukan hanya itu
saja, sebagai homo sapiens (manusia
bijak, berkebudayaan) dan homo religiosus
(manusia religius) maka manusia dayak juga dalam banyak hal mencoba menghubungkan fenomena di alam raya
dengan keadaban manusia. Jadi sungguh
jelas bahwa salam tabik-tabik mengandung muatan sila kedua dari Pancasila yaitu
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan
lain perkataan manusia yang beradab memanifestasikan diri ke alam manusia dan
itulah hierofani, teofani atau apa
yang oleh Eliade disebut sebagai “mental alam” yang kudus. Dalam hal adil,
orang Dayak Linoh juga mengamalkannya pada mahluk yang tidak kelihatan, namun
diyakini ada.Untuk berkomunikasi dengan mereka
yang diyakini sungguh ada dan penuh kekuatan serta menjadi sumber
kehidupan dan energi, manusia (dayak) memakai ritus sebagai sarana. Dengan
menggunakan ritus, manusia beralih dari keadaan profan ke situasi sakral.
(Saliba, 1978, hlm 53, seperti dikutip Hanz
J. Daeng, 2000). Disinilah ungkapan falsafah
Dayak ini lahir sebagai suatu bagian dari dari the
idea of the holy (gagasan tentang yang kudus). Dimana secara
fenomenologi–religi, pada masyarakat tradisional, seluruh kosmos terbuka untuk
yang kudus. Jika dikaitkan dengan Pancasila, maka hubungan antara salam adat tabik-tabik... dengan
pancasila itu sangatlah dekat.
Dalam
hubungannya dengan tulisan ini maka nilai sila
kedua Pancasila “ Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang dimaksud adalah menyangkut berbagai aspek
pengungkapan maupun pengakuan masyarakat Dayak
Linoh terhadap
berbagai fenomenologi jagat yang difahaminya menurut batas kemampuannya sebagai
manusia saat itu. Jadi yang dimaksud
dengan sebuah ekspresi kemanusiaan tidak pernah hanya merupakan
teks yang terisolasi dan statis, sebaliknya ekspresi kemanusiaan mencakup aktifitas yang meniti
waktu (processual), sebuah bentuk
kata kerja, sebuah tindakan yang berakar pada situasi sosial yang melibatkan
orang-orang nyata dalam kebudayaan dan era sejarah tertentu, seperti yang
dikatakan oleh Edward M. Burner, “Exsperience and its Expression” dalam The
Anthropology of Experience yang di edit bersama Victor Turner dan Edward
Bruner 1982, seperti dikutip oleh Sal Murgianto dalam tulisannya
Mengkaji kajian Pertunjukan (Pudentia MPSS, 1998).
Paham
orang Linoh tentang kematian misalnya,
bahwa orang yang meninggal bersekutu dan bersatu dengan roh para leluhur telah
mendapat tempat yang disebut “Sebayan” (bahasa Linohnya). Mereka yang meninggal
dianggap bersatu dengan roh para leluhurnya yang telah meninggal. Hanya saja
roh para leluhur ini sering diidentik dengan roh hantu (Jolu dalam bahasa
Linonya). Maka dalam upacara Bebukung
itu sendiri menurut paham Suku Linoh identik dengan hantu (Jolu rimbak).
Maka jika ada orang yang meninggal sering menakutkan. Orang yang ditunjuk
memerankan Bukung ini sebagai hantu
untuk mengangkat dan memikul peti jenazah sampai ke makamnya. Sesungguhnya,
paham yang benar adalah orang yang meninggal tidak menjadi hantu atau dimakan
hantu, tetapi bersatunya roh orang meninggal itu dengan roh para leluhur
nenek-moyang.
Bagi
orang Linoh ritual “Sengkolan” atau “Sengkelan” dalam upacara pembebasan pantangan lainnya yang selalu
menggunakan darah. Darah bagi manusia adalah lambang kehidupan, karena tanpa
darah, manusia akan mati. Darah dijadikan simbol pembebasan dan penyelamatan.
Di dalam upacara perkawinan, darah menjadi “meterai” yang mengikat perjanjian
kedua mempelai yang menikah itu.
Secara umum, sebagaimana yang terungkap dalam
ungkapan salam tabik-tabik...., bahwa masyarakat Dayak Linoh mengajarkan
kebiasaan bagi yang muda atau merasa muda untuk menghormati yang lebih tua atau
yang dituakan. Karena itu, salam
tabik-tabik merupakan perwujudan dari beberapa adat dalam lingkungan keluarga
suku Dayak Linoh (Jemari, 2015), antara lain:
1. Penghormatan
kepada nilai kemanusiaan
Menurut adat
kebiasaan, seorang yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Sedangkan
yang lebih tua atau yang dituakan harus melindungi, menjaga serta membimbing
yang lebih muda. Rasa hormat dari si anak terhadap kerabat atau saudara dari
ayah dan ibunya harus dijaga dengan baik. Misalnya seorang anak menyebut
kakeknya dengan sebutan akik, dan
menyebut neneknya dengan sebutan innik.
Begitupun
dengan kerabat. Orang dayak berpandangan bahwa menjaga kehormatan kerabat sama
dengan menghormati orang tua sendiri. Sebaliknya, menyakiti kerabat sama dengan
menyakiti otang tua sendiri. Karena itu seorang anak mesti berupaya menjaga
nama baik kaum kerabatnya sebagaimana menjaga nama baik orang tuanya.
2. Sikap
tidak sombong dalam berbicara-sikap beradab
Dalam hal berbicara,
masyarakat daya (Khususnya Linoh) tidak dikenal istilah tingkatan bahasa
sebagaimana di Jawa, Sunda dan Bali. Untuk menghormati lawan bicara, masyarakat
Dayak mengajarkan sikap hormat dan suara yang pelan dalam dalam pengaturan nada
bicaranya. Selain itu kata-kata yang disampaikan biasanya dalam bentuk
peribahasa.
Menggunakan
kata “aku” bagi masyarakat dayak Linoh dianggap sudah biasa, bukannya kasar
atau tidak hormat sebagaimana pada sebgai suku yang lain. Sikap bicara dan
tingkah laku dalam menghormati lawan bicara tidak boleh bertolak pinggang,
karena dianggap tidak sopan. Apalagi jika lawan bicara dalam keadaan duduk.
Termasuk kurang sopan dalam pengajaran masyarakat dayak adalah menganngguk
untuk iya atau menggeleng untuk penolakan yang tidak disertai dengan suatu
ucapan.
3. Sikap
keadilan-egaliter
Dalam tradisi
orang Dayak, keadilan tidak diartikan membagi harta, tetapi tercermin dalam
perilaku duduk dalam upacara. Tidak ada ketentuan harus duduk di mana, karena
tidak ada tempat duduk khusus pada rumah panjang, sebagaimana kursi atau sopa.
Akan tetapi carilah tempat duduk di bilik tamu dengan memperlihatkan cara duduk
yang sopan. Sikap duduk yang sopan menurut tradisi orang Dayak adalah dengan
duduk bersimpuh bagi perempuan dan duduk bersila untuk laki-laki.
Salam tabik-tabik dan sila ke-lima Pancasila
Dalam
mengalami berbagai gesekan (pengalaman) dengan alam, manusia akan dituntun kepada suatu
penemuan-penemuan serta pemahaman-pemaham baik secara individu maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat,
yang melalui proses tertentu telah terkonsentrasi menjadi suatu yang kelak akan
melahirkan suatu format pemahaman-pemahaman
bagai mana harus menjalani hidup berkeadilan
dan kehidupan yang harmonis di alam lingkungannya. Disanalah
nilai-nilai pancasila dihadirkan,
bukan lagi dipahami sebagai mitos dari
sesuatu fenomena yang masih mentah, tetapi telah menjadi sesuatu jawaban dari
keinginan-keinginan untuk menemukan jawaban dari berbagai fenomena kehidupan ini.
Jadi seperti yang diungkapkan oleh J Van Baal (1987) sebagaimana dikutip oleh Hans J. Daeng, mitos
adalah sebagai cerita didalam kerangka sistem suatu religi masa lalu dan
kini telah atau sedang berlalu sebagai
kebenaran keagamaan. Sedangkan mitologi adalah suatu cara mengungkapkan,
menghadirkan Yang Kudus, Yang Ilahi melalui konsep serta bahasa simbolik.
Mitologi jugalah yang memungkinkan manusia memberi tempat bermacam-macam,
pengalaman yang diperolehnya selama hidup ( Hans J. Daeng, 2000).
Sebagaimana layaknya makhluk yang disebut
maupun yang menyebut dirinya manusia sementara ini, manusia dayak juga memiliki
integritas kemanusiaan yaitu semacam
lingkaran fungsional (fungtionskreis),
atau mungkin juga semacam kemampuan naluriah untuk bersatu dan selaras dengan
lingkungannya. Dimana manusia dayak yang kebetulan secara historis-geografis
pernah, bahkan masih hidup di pedalaman
(sekarang sisa) hutan kalimantan, yang telah melewati entah berapa ribu kali
fase evo-(atau bahkan) revolusi, tentunya telah melakukan adaptasi-adaptasi
ekologis tertentu yang membentuk suatu kristalisasi format nilai kosmologi
tertentu pula. Inilah yang kemudian sangat mempengaruhi kerangka sistem
berfikir maupun bertingkah laku manusia dayak pada akhirnya.
Biasanya
kita dapat melihat visualisasinya dalam tradisi lisan baik yang berupa cerita
mitos, dalam upacara-upacara ritual, pantangan atau “kearifan-kearifan” hidup
lainnya yang terkadang secara logika sangat sulit diterangkan. Oleh sebab itu
manusia dayak dalam menghadapi berbagai fenomena alam dan kehidupan memiliki kecendrungan untuk
mengembangkan cara berfikir yang sangat
kompleks citra semesta (bandingkan dengan YB. Mangun wijaya, 1999),
Atau semacam percampuran yang merupakan senyawa padat pekat antara logika,
mitologi dan naluri, Extranes Wissen
(pengetahuan luar kesadaran). Jadi akan sangat sulit untuk menarik suatu batas yang jelas, mana yang logika, mitologi atau naluri. Untungnya hal ini dibantu oleh nilai-nilai pancasila yang
sudah terumuskan.
Lihat
saja keseharian mereka yang melompat dari upacara ke upacara, hidup, legenda, mitos yang telah menjadi
suatu sistem budaya, termasuklah penungkapan salam
tabik-tabik ini tadi yang bertumpu kepada hukum keseimbangan jagat
(alam) dan usaha-usaha kearah pemeliharaannya, tentu. Misalnya melalui metanonia (pertobatan dan bersih diri)
yang bisa berwujud sesajian, upacara-upacara (adat) tertentu atau melalui sikap
hidup pada upacara syukuran.
Upacara
syukur ini bisa saja dibuat bersama dengan upacara syukur yang disebut “Gawai
Nyelapat Tahun” tadi. Tujuannya adalah bersyukur atas berkat dan rezeki yang
telah diterima sepanjang tahun itu. Upacaranya bisa saja dibuat dengan Misa
Syukur dan pemberkatan alat-alat pertanian dan benih padi itu.
Sangat
disayangkan, praktik upacara Gawai Suku Linoh ini yang merupakan ucapan syukur dan penghormatan
terhadap Roh para leluhur telah banyak kehilangan makna dan fungsinya. Rumah
adat (Betang) yang merupakan simbol persatuan dan kebersamaan secara adat sudah
tidak ada lagi. Penyelenggaraan adat Gawai ini pada umumnya di gedung pertemuan
atau di rumah penduduk. Kegiatan ini sering diisi dengan acara perjudian
seperti sabung ayam dengan dalih sebagai ‘sabung adat’. Jaman dahulu, sabung
adat ini diselenggarakan untuk penyelesaian perkara adat. Demikian pula biaya
yang dikeluarkan sangat besar dan ini merupakan pemborosan yang bersifat
hura-hura dengan makan-minumnya. Sementara inti dari upacara itu sendiri kurang
dipraktikkan dengan sesungguhnya.
Paham
Suku Linoh mengenai keadilan sosial, adalah terjemahan terhadap
cinta terhadap Tuhan, sejak jaman nenek-moyang
mereka telah mengakui adanya Tuhan, baik yang berkuasa pada alam atas, alam
bawah, dan alam air. Suku Linoh memahami para penguasa itu yang dipahami
sebagai Tuhan dalam berbagai kehadiran dengan realitasnya. Dalam praktik hidup
sehari-harinya selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan para penguasa itu
supaya selamat dan sejahtera dalam perlindungannya dengan memberikan sesajian.
Falsafah
hidup atau pandangan hidup Suku Linoh sebagaimana diungkapkan dalam pribahasa
berikut : “Aik sama dituba’k, babas sama
dipehuma, buah sama dipantoh”, artinya adalah air sama dituba untuk mencari
ikan bersama, tanah (babas) sama digarap untuk ladang, dan buah-buanan
sama-sama diambil untuk dimakan bersama. Makna dari falsafah hidup ini
menyatakan bahwa dalam hidup harus diamalkan
keadilan sosial (sila ke-lima). Nilai-nilai ini mencerminkan saling memperhatikan, saling membantu dan
tolong-menolong. Pandangan hidup seperti ini sangat cocok dikembangkan dalam
persekutuan hidup. Jika mau berladang
pada tanah orang lain harus memberitahu dan meminta ijin pada pemiliknya.
Demikian pula buah-buahan boleh sama mengambil dan memakan tetapi harus pula
meminta pada pemiliknya supaya tidak dituduh mencuri dan kena sanksi adat.
Di
dalam kebudayaan manusia banyak terdapat
unsur-unsur yang saling bersentuhan dan berinteraksi baik langsung
maupun tidak langsung dengan nilai-nilai
Pancasila. Ada banyak unsur dalam kebudayaan yang memang
mempunyai hubungan dengan kehidupan berbangsa.
Unsur-unsur yang terkandung dalam kebudayaan tersebut, sebagian di antaranya
dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan berbangsa
melalui
suatu proses pendidikan dan agama Katolik.
Ritual
Sengkolan, Ritual Mubuh Mampah, Ritual Tolak Bala, dan Ritual Bebukung pada
upacara kematian yang terjadi pada Suku Linoh itu banyak sekali unsur-unsur dan
nilai-nilai budayanya. Tentu saja
unsur-unsur dan nilai-nilai itu ada yang bermakna positif dan bermakna negatif.
Sudah barang tentu pula unsur dan nilai yang bermakna positif tersebut dapat
diakulturasi ke dalam Gereja Katolik.
Istilah
akulturasi dapat dipahami sebagai perpaduan dua budaya dimana kedua unsur
kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak
menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaaan tersebut. Menyimak
defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak
budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu
menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat
kebudayaan aslinya. Pengertian mengenai dua kebudayaan berbeda menunjukkan
bahwa ada kebudayaan lokal (asli) dan kebudayaan yang datang dari luar. Tak
dapat dipungkiri bahwa Gereja yang hadir ditengah-tengah kita sekarang adalah
sebuah kebudayaan yang datang dari luar, dari barat (Eropa). Ketika Gereja
hadir ke suatu tempat atau daerah tertentu maka akan berhadapan dengan
masyarakat, suku, atau kelompok yang sudah mempunyai kebudayaan lokal. Pertemuan
keduanya akan menghasilkan sesuatu yang baru dan tidak menghilangkan
unsur-unsur yang pokok dari keduanya.
Salam
adat Tabik-tabik... Dan kosmologi Pancasila
Mungkin perlu juga untuk
dikemukakan disini apakah yang dimaksudkan dengan kosmologi. Kosmologi, bahasa
Inggrisnya adalah cosmology yang berasal dari bahasa yunani kosmos (dunia, semesta alam) dan logos (ilmu tentang, alasan pokok bagi,
suatu pertimbangan). Beberapa pengertian kosmologi, yang pertama adalah ilmu tentang alam semesta sebagai suatu sistem
rasional yang teratur. Yang kedua
adalah sering digunakan untuk menunjuk cabang ilmu pengetahuan, khususnya
astronomi, yang berupaya membuat hipotesis mengenai asal struktur, ciri khas
dan perkembangan alam fikiran berdasarkan pengamatan dan metodologi ilmiah. Yang ketiga adalah ilmu yang memandang
alam semesta sebagai suatu keseluruhan yang integralis dan bagian dari alam
semesta berdasarkan pengamatan astronomi, merupakan suatu bagian dari
keseluruhan tersebut. Sedangkan yang keempat adalah, secara
tradisional, dianggap sebagai cabang
metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertannyaan mengenai asal dan
susunan alam raya, penciptaan dan kekekalan, fitalisme, kodrat hukum, waktu
ruang dan kausalitas. Analisis kosmologi
mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini…..(Lorens Bagus, 1996).
Nah, dari sini tampaklah bahwa
ide-ide kosmologi yang diyakini Dayak Linoh ini adalah nilai nilai yang juga terkandung alam
Pancasila. Manusia
dayak yang pada saat itu secara tradisional telah mencoba merumuskan ide-idenya
tentang fenomena kehidupan, hidup bermasyarakat, enerji kehidupan ke dalam
suatu bentuk pemahaman (tertentu) yang terakumulasi kedalam
berbagai aktifitas kebudayaan
manusia dayak dan itu adalah Pancasila.
Salam adat Tabik-tabik... disini bukanlah sekedar ungkapan yang kebetulan
memiliki citra rasa seni sastra semata-mata tetapi ia juga harus dilihat sebagai hierofani (yang kudus menampakan diri,
atau manifestasi dari yang ilahi), sebagai satu kesatuan jagat ini dengan
manusia dayak secara utuh-keseluruhan. Sebab pernyataan salam ini juga merupakan ekspresi
kosmologi yang sakral, manipestasi spiritualitas kultural kompleks yang
sekaligus juga merupakan bahasa antar pengkosmos yang kaya akan ikon-ikon (tanda), isyarat-isyarat
perlambangan
atau entah apa pun namanya.
Selain itu salam adat tabik-tabik...merupakan
pengetahuan tentang sketsa ingatan yang terselubung tentang berbagai fenomena
kehidupan pada alam semesta raya atau kristalisasi, filsafat,
moral, adat-istiadat dan sebagainya yang terfiksasikan. Dan ini hanya
akan dapat dipahami apabila kita bersedia terjun dan menyelam langsung di
kedalaman sungai keseharian hidup
mereka. Disana kita akan menemukan suatu kosmogoni,
proses terciptanya alam semesta secara kosmis .
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka
sampailah kita kepada suatu kesimpulan bahwa hubungan antara salam adat tabik-tabik... dengan
pancasila itu sangatlah dekat. Ada nilai-nilai sila kedua, dan kelima disana.
Maka dalam memahami ini, kita tak boleh
lepas dari konsep pemikiran Dayak Linoh di atas tadi. Kita harus mampu
melihatnya sebagai suatu keseluruhan sistem yang hidup, sebagai suatu rantai
kosmos yang saling berkaitan dan saling tergantung serta ada hubungan timbal
balik antara bagian dan keseluruhan.
Jadi manusia Dayak Linoh memang sudah
sejak dari awal mulanya telah memiliki suatu penghormatan terhadap hubungan
yang suci antar manusia yang tercermin dalam pancasila. Pada akhirnya dapatlah
kita simpulkan bahwa salam adat tabik-tabik telah menjelma dari dan menjadi
suatu ekspresi kosmologi manusia dayak yang pernah hidup di zamannya. Apabila
falsafah kehidupan yang tampaknya sederhana ini dianggap sepele saja, maka
sudah dapat dipastikan bahwa sistem pengetahuan Dayak Linoh akan tersisih dan tidak
akan ada lagi para penutur bijak yang
mempraktekannya, seperti generasi di rumah betang
tempo dulu. Maka tinggalah nonstalgia getir yang teramat kelat (antara rasa pahit, masam, manis, bercampur dengan obat sariawan untuk dikenang. Di depan layar
komputer, generasi manusia dayak mencoba mencari dirinya sendiri, mencari
penggalan-penggalan kisah masa lalu, tentang cawat, tentang tato (celingai) di tubuhnya, tentang dirinya sendiri yang perlahan-lahan
tengah bergerak, ngigal-menari,
menghilang, mengelepar-gelepar di antara kabel-kabel, tombol-tombol dan layar
televisi..
Pontianak,
7 Juli
2015
Referensi :
Andreas, Jemari,
2015 : Kehidupan Menggereja Suku Dayak Linoh, Tesis
Magister Theologi Katolik, STP
Santo Agustinus Pontianak.
Bagus, Lorens,
1996, Kamus filsafat, Jakarta,
Gramedia utama Pustaka.
Daeng, Hans J.,
2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Hidup,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Dietz, Ton, 1998, Hak Atas Sumberdaya Alam,
Yogyakarta, kerjasama pustaka pelajar, INSIST Pres dan REMDEC.
Johansen,
Poltak, 2014, Arsitektur Rumah Panjang, Balai Kajian Sejarah Pontianak.
Kristianus,
2015, Ungkapan Falsafah Kearifan Lokal di Kalimantan Barat, Makalah pada FGD
Ekspresi budaya Kalimantan, Banjarmasin.
Mangunwijaya,
YB., 1999, manusia Pascamodern, Semesta
Dan Tuhan, Yogyakarta, Kanisius.
Poespowardojo,
Soerjanto, 1989, Strategi Kebudayaan,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
M. Susuf, Era
Kelisanan Baru , artikel Kompas,
jumat, 2 Juni 2000.
Riberu,
J. 1989. Dokumen Konsili Vatikan II.
Tonggak Sejarah-Pedoman Arah. (Terjemahan). Jakarta:
Dokpen MAWI, Obor.
Riyanto,
Armada. 2011. Gereja Kegembiraan &
Harapan (Merayakan 45 Tahun Gaudium et Spes). Yogyakarta: Kanisius.
Seno
Gumira Adjidarma, Indonesia sebagai
pasien Jung, Sejarah Tak terkuburkan, Artikel Kompas, Sabtu, 6 Mei 2000.
Sudjiman,
Panuti dan Van Zoest, Aart, 1992, Serba-Serbi
Semiotika, Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama.